Krisis AS dan Eropa yang menjadi bahasan utama pertemuan Davos kali ini telah menjurus pada kesimpulan bahwa ada yang salah dengan sistem ekonomi yang digunakan selama ini. Banyak pihak yang berharap bahwa Forum Ekonomi Dunia kali ini menghasilkan perubahan penting.
Oleh : Ainur Rahman
BERITA TERKAIT
Angin yang bertiup di Davos mungkin masih seperti dulu, saat Sir Arthur Conan Doyle, pengarang cerita detektif Sherlock Holmes menulis artikel tahun 1899. Setelah itu, kota di Swiss bagian timur itu mulai ramai dikunjungi pelancong terutama asal Inggris Raya dan Belanda yang berolahraga musim dingin. Setelah mulai meredup pada era 1970-an, kota tertinggi di Swiss itu mulai mendapatkan pamornya lagi setelah Forum Ekonomi Dunia berdiri dan rutin mengadakan pertemuan tahunan di sana.
Dan tahun ini, angin yang sama tetap menemani pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 2.600 tokoh ekonomi dunia itu. Akan tetapi bisa jadi angin tersebut tidak bisa menghilangkan ‘hawa panas’ yang tengah menyelimuti kawasan Eropa bahkan ancamannya dikhawatirkan bisa menyebar ke seluruh dunia.
Pertemuan Davos tahun ini juga dipanaskan oleh munculnya kekhawatiran terhadap tatanan global yang semrawut. Sebut saja, krisis AS dan Zona Euro yang belum ada perbaikan, memanasnya krisis di Selat Hormuz, Revolusi musim semi di Arab atau ancaman lain seperti makin lebarnya ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Sesaat sebelum pertemuan yang dimulai pada 26 Januari waktu setempat itu berlangsung, forum tersebut menerbitkan laporan yang berisi dua risiko terbesar yang berpotensi berdampak paling besar dalam satu dasawarsa ke depan. Ancaman ekonomi tersebut adalah ketimpangan fiskal serta disparitas pendapatan yang kronis.
Laporan World Economic Forum (WEF) bertajuk Global Risk 2012, menyebutkan dua risiko ini dihadapi oleh negara maju maupun berkembang. Kemiskinan, kerusuhan, dan beberapa persoalan serta fenomena sosial lain juga disebut-sebut berpeluang mengancam perekonomian global. “Kita menghadapi defisit struktural dan beban pembiayaan pensiun yang besar. Kita berpeluang dihadang isu seperti ini untuk jangka panjang jika tidak bertindak,” kata Steve Wilson, Ekonom Financial Services AG. Dunia juga masih dihadang isu besar berkepanjangan yakni krisis utang Eropa.
Menurut laporan itu, risiko-risiko itu bisa terjadi ketika angkatan muda yang jumlahnya besar dihadapkan pada tingkat pengangguran yang tinggi. Sementara itu, angkatan lanjut usia yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah menjadi beban bagi pemerintahan di negara maju yang sudah banyak menanggung utang. Baik angkatan muda maupun angkatan tua bisa menghadapi ketimpangan ekonomi dan sosial yang sangat lebar sehingga mengancam stabilitas sosial dan politik.
Ketika negara-negara maju mengalami tantangan besarnya beban dari kelompok usia lanjut, sebaliknya negara-negara berkembang mempunyai keuntungan demografi (demographic dividend) berupa angkatan muda yang besar. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, Meksiko, Peru, dan kelompok BRIRIC (Brazil, Rusia, India ,dan China) akan berlomba-lomba memanfaatkan keuntungan ini sebelum angkatan muda mereka memasuki usia lanjut.
Namun, negara berkembang menghadapi tantangan yang berbeda karena pertumbuhan pesat di negara berkembang tidak langsung memuaskan seluruh lapisan masyarakat, sehingga potensi terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial tetap besar. Kegagalan menanggulangi ketimpangan ini membawa konsekuensi yang membahayakan.
“Fakta-fakta ini adalah seruan untuk bertindak bagi komunitas internasional dalam upaya berkoordinasi dan berkolaborasi karena risiko global dalam laporan itu bersifat lintas batas negara,” kata Klaus Schwab, Pendiri dan Kepala Eksekutif World Economic Forum dalam laporan itu.
Selain dua risiko besar di atas, volatilitas harga energi dan agribisnis yang ekstrem serta kegagalan sistem keuangan juga bisa berdampak buruk. WEF menyarankan pemerintah negara-negara di dunia aktif melibatkan peran pengusaha dan otoritas penyusun kebijakan.
Beberapa analis dari sejumlah lembaga riset, seperti Morgan Stanley, bahkan berani memprediksi resesi akan terjadi tahun ini. Sedangkan World Economic Forum menyatakan dampak krisis utang Eropa akan menciptakan berbagai kekacauan baru yang bisa melahirkan revolusi seperti Arab Spring.
Kapitalisme Jadi Penyebab
Dalam pertemuan tersebut muncul pendapat bahwa seharusnya dunia sudah tidak lagi bergantung pada sistem ekonomi kapitalis bahkan sistem itu diprediksi akan punah digantikan dengan system lain. Namun demikian jika ada sistem lain yang dianggap bisa menjadi alternatif, forum itu mengatakan bahwa sistem yang paling pas kemungkinan adalah sistem kapitalisme negara.
Ini merujuk pada sistem mekanisme pasar dengan sentuhan tangan pemerintah yang kuat, sebagaimana dijalankan di China. Dengan kata lain, korporasi dijalankan seperti biasa yang terjadi di Barat, tetapi peran pemerintah yang kuat sangat mendominasi.
”Kapitalisme barangkali merupakan bentuk terburuk dari berbagai sistem,” kata David Rubenstein, salah satu pendiri Carlyle Group, perusahaan pengelola dana investasi global yang bermarkas di Washington.
Gelombang krisis yang terjadi sekarang diakibatkan oleh gurita kapitalisme yang sudah mengglobal dan menyebabkan munculkan berbagai persoalan global. Krisis AS dan Eropa yang saat ini belum pulih telah dinilai banyak pihak akan berdampak pada perlambatan ekonomi global. Ujung-ujungnya, melambatnya pertumbuhan ekonomi, akan mendorong terjadinya kesenjangan ekonomi. “Siklus ‘bom’ dan ‘letusan’ memang merupakan bagian dari struktur capital,” kata Brian Moynihan, pimpinan umum Bank of America.
Beberapa waktu sebelumnya, Kepala Eksekutif Unilever Paul Polman menyatakan memang ada ancaman besar akibat pertumbuhan ekonomi yang melambat saat ini. Karena itu salah solusi yang bisa dilakukan adalah dengan penciptaan lapangan pekerjaan. “Ada risiko yang luar biasa discohesion sosial dengan pertumbuhan yang lambat dalam perekonomian yang saat ini terjadi sehingga penciptaan lapangan kerja bagi perusahaan adalah sangat penting,” kata Paul Polman.
Karena itu, kelompok usaha yang membuat Sup Knorr, Teh Lipton dan sabun Dove ini berharap bisa segera menciptakan 500.000 pekerjaan untuk petani dan berencana untuk membuka 30 pabrik baru di pasar berkembang.
Sementara itu, Vineet Nayar, Chief Executive dari perusahaan perangkat lunak terbesar keempat di India juga mengikuti langkah Paul Polman. Pada pertemuan di Davos, dirinya akan mengumumkan rencana untuk menciptakan 10.000 pekerjaan di Amerika Serikat dan Eropa.
Dan menjelang pertemuan tersebut, Klaus Schwab, pendiri WEF itu mengatakan bahwa kapitalisme memang layak untuk disalahkan dan dia memastikan pertemuan tahun ini akan memfokuskan bagaimana mengembangkan model dunia baru karena kapitalisme dalam bentuknya yang sekarang, tak lagi mendapat tempat di dunia. Sebuah pengakuan bahwa perlunya sebuah perombakan perbaikan total dari kapitalisme. “Kapitalisme dalam bentuknya sekarang, tidak lagi pas dengan dunia sekitar kita. Kita telah gagal mengambil pelajaran dari krisis keuangan tahun 2009,” ujar Schwab.
Schwab menegaskan perlunya sebuah tranformasi global dengan menegaskan kembali tanggungjawab sosial global. Semua pemimpin dunia memiliki tanggung jawab untuk mencari jalan baru terhadap berbagai persoalan yang ada sekarang.
Tampaknya kita memang perlu berharap bahwa pertemuan Davos tahun ini akan menghembuskan angin baru dalam perumusan kembali sistem ekonomi dunia yang lebih bertanggung jawab. Dan ‘angin’ itu diharapkan bisa membersihkan efek-efek buruk dari kapitalisme.
Sementara di Davos, di kawasan lereng pegunungan yang dipenuhi udara bersih, angin yang berhembus tetaplah sama. SP