Hati-hati, abu-abu, tidak tegas, mungkin itulah kesan yang terlihat dari bank sentral di berbagai belahan dunia menyikapi fenomena bitcoin. Kehati-hatian otoritas moneter ini wajar. Pasalnya, mata uang virtual yang lagi naik daun ini potensial sebagai alat transaksi baru, tetapi risiko yang menyelimutinya juga tidak bisa diabaikan.
Kondisi itulah yang membuat regulator tidak mau tergesa-gesa melarang atau melegalkan bitcoin. Larangan yang terlalu cepat berpotensi melayukan bitcoin sebelum berkembang. Namun melegalkannya tanpa mitigasi yang tepat berisiko jadi bumerang bagi sistem keuangan.
Sikap abu-abu ini, misalnya, dikemukakan Malaysia. Pihak otoritas moneter negara Jiran ini memang tidak melegalkan bitcoin sebagai alat pembayaran resmi di Malaysia. Akan tetapi Bank Negara Malaysia (BNM) juga tidak melarang transaksi bitcoin dan hanya sebatas menghimbau masyarakat agar berhati-hati.
“Bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Malaysia. Bank sentral juga tidak mengatur operasi dari bitcoin. Oleh karena itu, publik disarankan berhati-hati dari risiko yang terkait dengan penggunaan mata uang digital tersebut,” demikian bunyi rilis resmi BNM.
BNM tampaknya mengikuti langkah bank sentral Singapura yang telah lebih dahulu memutuskan tidak akan mengintervensi bisnis yang memilih menggunakan bitcoin sebagai alat pembayaran. “Sikap BNM mirip dengan sikap yang diambil otoritas moneter Singapura sebelumnya,” kata pendiri Bitcoin Malaysia Colbert Lau seperti dikutip dari The Guardian.
Larangan Transaksi
Sikap yang sedikit lebih tegas ditunjukkan China. Pada tanggal 5 Desember 2013, Bank sentral (People Bank of China) bersama-sama dengan otoritas keuangan lain dan juga Kementerian Teknologi, mengumumkan larangan bagi lembaga keuangan termasuk bank untuk menggunakan bitcoin sebagai mata uang karena berpotensi digunakan dalam kegiatan pencucian uang dan mengganggu kestabilan keuangan.
Dalam pengumuman tersebut disebutkan bahwa bitcoin adalah komoditas virtual yang tidak memiliki status legal seperti mata uang sehingga tidak dapat diedarkan dan digunakan secara luas di pasar seperti mata uang resmi. Meski demikian, China masih membebaskan investor individu yang ingin memanfaatkan bitcoin dengan catatan risiko ditanggung sendiri oleh pelaku.
Sementara itu, bursa online bitcoin diwajibkan untuk melaporkan data perdagangannya dan melakukan upaya-upaya untuk mencegah tindak pencucian uang. Lebih lanjut dinyatakan bahwa oleh karena tidak ada lembaga keuangan China yang terlibat dalam transaksi dan investasi bitcoin, maka mata uang virtual ini tidak akan mengganggu kestabilan keuangan China. PBOC juga akan memantau perkembangan dan risiko bitcoin serta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai isu-isu yang terkait bitcoin.
“Jadi, pada intinya China tidak melarang bitcoin bagi individu. Kalau ada satu warga negara China yang bertransaksi bitcoin dengan warga lain itu diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan itu adalah perbankan dan perusahaan finansial untuk menggunakan bitcoin,” ungkap CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan.
Menurut Oscar, di China dampak dari aturan tersebut memang membawa risiko tersendiri bagi pengguna bitcoin. Sebab pemerintah China tidak memberikan jaminan jika terjadi kerugian. Berbeda dengan tabungan di perbankan yang dijamin. “China adalah negara yang kuat dalam regulasinya, jadi kalau ada warga negara yang menggunakan bitcoin maka risiko ditanggung sendiri. Negara tidak akan menjamin,” papar Oscar.
Transaksi Ilegal
Faktor risiko memang jadi alasan utama otoritas moneter dunia belum melegalkan bitcoin. Apalagi skema transaksi yang memungkinkan pelaku menyembunyikan identitasnya sangat rawan digunakan untuk tindakan kejahatan.
Fakta ini bukan isapan jempol. Pada awal Oktober, Federal Bureau of Investigation (FBI) menangkap pendiri situs Silk Road yang memperdagangkan barang-barang ilegal seperti obat terlarang, senjata, dokumen palsu dan pornografi. Pada saat penangkapan dan penutupan situs, FBI menyita bitcoin senilai 3,6 juta dollar yang merupakan satu-satunya alat pembayaran pada situs tersebut.
Walaupun terbukti digunakan sebagai alat pembayaran untuk transaksi ilegal, pemerintah Amerika Serikat memilih tidak akan melarang penggunaan bitcoin. Bahkan para pakar dan regulator yang memberikan pendapat pada dengar pendapat di depan Komite Senat AS pada 18-19 November secara umum memberikan pandangan yang positif atas bitcoin.
Para pakar menilai wajar jika suatu inovasi pada sistem keuangan pada awalnya akan disalahgunakan oleh pelaku kriminal seperti yang terjadi pada kartu kredit dan sistem pembayaran online, namun hal itu tidak menjadi alasan untuk menghentikan inovasi.
“Walaupun mata uang virtual berpeluang untuk digunakan dalam tindak pencucian uang dan ilegal lainnya, tapi juga memiliki potensi untuk memberikan manfaat bagi sistem keuangan dalam jangka panjang,” kata Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke.
Pandangan senada disampaikan perwakilan Badan Keamanan Nasional AS Edward Lowery. Menurut Lowery, bitcoin berpotensi untuk mendukung peningkatan efisiensi dan transparansi pada perdagangan global. Namun, oleh karena terdapat kecenderungan penggunaannya untuk kegiatan ilegal, penegak hukum harus meningkatkan teknik dan alat investigasinya untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut. berbagai metode pembayaran baru memberikan manfaat bagi masyarakat, mendorong inovasi produk keuangan, dan memperluas akses pada layanan keuangan. Oleh karena itu FinCEN berencana untuk memasukkan mata uang virtual ke dalam kerangka pengaturan mereka sebagai bentuk dukungan positif terhadap sektor ini.
Setali tiga uang, pandangan positif disampaikan perwakilan Kejaksaan AS Mythili Raman. Menurutnya mata uang virtual sebenarnya tidak anonim dan masih dapat dilacak dengan pengendalian AML (Anti Money Laundering) dan KYC (Know Your Costumer) yang tepat. Khusus untuk bitcoin, pelacakan lebih mudah karena semua transaksi terdaftar di buku besar server pengelola yang dapat dilihat oleh siapa saja (public ledger).
Komentar yang mendukung bitcoin juga diutarakan peneliti senior George Mason University Jerry Brito. Menurutnya bitcoin adalah pencapaian teknis yang revolusioner dan berpotensi memberikan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan manusia. “Memang, seperti penemuan teknologi lainnya, bitcoin dapat digunakan untuk kepentingan baik dan buruk. Tantangan bagi regulator adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bitcoin untuk kepentingan positif dan menekan dampak negatifnya,” ulas Brito.
Lebih jauh, Brito menegaskan sebaiknya bitcoin tidak dilarang. Alasannya, pertama, sebagai teknologi bitcoin itu netral, tidak baik maupun buruk. Uang kertas juga digunakan dalam tindak kejahatan, tetapi tidak pernah dilarang. “Yang dilarang bukan instrumennya, tetapi penggunaannya untuk transaksi ilegal,” papar Brito, “dengan makin luasnya penggunaan Bitcoin, maka pemanfaatannya untuk transaksi ilegal akan menurun,” lanjutnya.
Alasan kedua, upaya untuk melarang teknologi bitcoin akan lebih banyak merugikan penggunaan secara legal dan pemantauan transaksi akan semakin sulit untuk dilakukan. “Sementara penggunaannya secara ilegal akan tetap berjalan, karena bitcoin tidak dapat ditutup,” analisis Brito.
BERITA TERKAIT
Regulasi Indonesia
Lantas, bagaimana sikap bank sentral Indonesia? BI sampai saat ini belum memutuskan dan masih mengkaji bitcoin secara hati-hati. Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah kajian atas transaksi pembayaran dengan menggunakan bitcoin ini dilakukan guna melihat efektivitas penggunaan bitcoin di Indonesia terhadap peredaran rupiah.
Apalagi, selama ini segala bentuk alat maupun sistem pembayaran baik berupa fisik maupun uang elektronik (e-money) harus digunakan dengan izin dari BI. Adapun bitcoin, ujar Difi, belum terdapat permintaan untuk memakai bitcoin sebagai alat pembayaran.
“Prinsipnya, uang itu harus ada memiliki jaminan dan dasar hukum yang jelas untuk melindungi nasabah. Sementara bitcoin sifatnya universal, tidak seperti uang yang secara hukum diatur peredarannya di wilayah tertentu, jadi jika terjadi sesuatu harus jelas siapa penanggung jawabnya dan tentunya pengawasnya juga harus ada,” ujar dia.
Di pihak lain, Deputi Gubernur BI Bidang Sistem Pembayaran Ronald Waas secara tersirat cenderung tidak merestui bitcoin karena bertentangan dengan UU. Dalam UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas disebutkan semua transaksi di wilayah hukum Indonesia wajib menggunakan mata uang rupiah. Dengan kata lain, penggunaan mata uang di luar rupiah otomatis ilegal.
Meski demikian, Ronald mengungkapkan bahwa BI tetap akan berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk membahas bitcoin. Pasalnya, sejumlah karakteristik bitcoin masuk dalam ranah teknologi yang kewenangannya berada di tangan Kemenkominfo.
Ketidakpastian hukum bitcoin ini disayangkan komunitas bitcoin di Tanah Air. Sebab, tanpa adanya pengakuan bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia berpotensi menimbulkan masalah hukum terkait dengan transaksi yang dilakukan.
“Ketika suatu transaksi menggunakan bitcoin maka legalitasnya bisa dipertanyakan. Contohnya, saya menjual telepon seluler kepada Anda dan Anda membayar saya dengan bitcoin, maka saya dapat saja mengklaim pembayaran belum terjadi karena memang tidak menggunakan alat pembayaran yang diakui negara,” jelas perwakilan Indonesian Bitcoin Community (IBC) Aditya Suseno.
“Bitcoin ini nilainya fluktuatif, berubah-ubah, naik dan turun dengan cepat. Dinamika ini yang sedang diteliti BI. Selain itu juga dikaji motif pemakaiannya, landasan hukumnya sebagai alat pembayaran dan berbagai risiko yang menyertai bitcoin,” kata Difi.
Sementara itu Direktur Treasuri Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) Jennifer Shasky melihat bahwa