Manusia tetaplah manusia, apapun kedudukan sosialnya. Berbagai perbedaan yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia menjadi tidak setara. Demikianlah yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) yang disahkan Majelis Umum PBB pada 1948.
Salah satu prinsip dalam deklarasi tersebut adalah equal pay for equal work (job), yang diartikan sebagai hak yang sama atas pekerjaan yang sama. Dalam bukunya “Hukum Hak Asasi Manusia”, Rhona K.M. Smith menegaskan kesetaraan hak mensyaratkan adanya perlakuan yang sebanding. Pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, pada situasi yang berbeda perlakuannya pun berbeda.
Meminjam pandangan Smith di atas, perdebatan mengenai tingginya remunerasi bankir di Indonesia mestinya bisa diredam. Semua orang tentu sepakat bahwa setiap pekerja patut mendapatkan imbalan yang layak. Namun setiap jenis pekerjaan tentu berbeda. Tingkat kesulitannya tidak sama. Bahkan dalam satu profesi kerja yang sama, tingkat kesulitan berbeda tergantung posisinya dalam level manajerial. Beban kerja dan besarnya tanggung jawab yang diemban tiap level tentu berbeda. Karena itu, imbalan yang diberikan sudah semestinya tak sama untuk tiap pekerja, namun sebanding dengan kontribusinya terhadap kinerja perusahaan.
“Dengan prinsip seperti ini, maka seorang profesional di bank merasa layak mendapat remunerasi dan bonus yang tinggi ketika mampu membuktikan diri berkualitas dan berkontribusi signifikan terhadap kinerja perusahaan,” ungkap Ryan Kiryanto, Vice President Investor & Public Relation Bank BNI menanggapi polemik tingginya gaji bankir yang dinilai tidak efisien.
Salah satu yang menjadi sorotan publik dan otoritas adalah remunerasi pejabat eksekutif bank yang dipandang terlalu tinggi. Dalam komponen beban tenaga kerja, remunerasi pejabat eksekutif terutama Dewan Komisaris dan Dewan Direksi mengambil porsi yang signifikan. Remunerasi tersebut mencakup gaji, tunjangan, tantiem, dan fasilitas lain dalam bentuk natura seperti rumah dan kendaraan. Tantiem (bonus) merupakan pembagian keuntungan untuk direksi dan komisaris yang diberikan berdasarkan persentase atau jumlah tertentu dari laba bersih. Selain tantiem, beberapa bank juga masih memberikan opsi saham.
Survei Bank Indonesia menunjukan rata-rata remunerasi eksekutif di industri perbankan Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Besarnya mencapai Rp12 miliar pertahun. Dibandingkan Malaysia, jumlah tersebut lebih tinggi 2 kali lipat, sementara dengan Filipina hampir 12 kali lipat. Rata-rata remunerasi eksekutif bank di Malaysia adalah Rp 5,6 miliar dan di Filipina Rp 1,1 miliar. Bahkan dibandingkan dengan Thailand yang tingkat kesejahteraan bankirnya terbaik di ASEAN, remunerasi direksi bank di Indonesia masih lebih tinggi.
Ironisnya kesenjangan imbalan yang dikantungi eksekutif perbankan dengan anak buahnya masih besar. Rata-rata gaji karyawan bank di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Rata-rata gaji karyawan bank di Thailand mencapai Rp300 juta pertahun (Rp 25 juta perbulan) dan Malaysia Rp 236 juta pertahun (Rp19,67 juta). Sedangkan rata-rata di Indonesia sebesar Rp193 juta pertahun (Rp16,08 juta perbulan). Filipina menjadi yang terendah dengan Rp 93 juta pertahun (Rp 7,75 juta).
Bagi Ryan, perbedaan gaji dan remunerasi tersebut sejatinya tidak menjadi persoalan jika memang hal itu sudah menjadi kesepakatan antara pemilik dan para profesional yang mengelola bank. Apalagi semua target yang diberikan tercapai dengan tidak melupakan praktik good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik.
Bahkan, dalam pandangannya sebagai pelaku di industri perbankan, sistem paket remunerasi bankir di Indonesia sudah mendekati tingkat sempurna dan sudah mengikuti pasar. “Sejauh ini sudah sesuai dengan kompetensi dan kontribusi mereka terhadap company masing-masing,” ujar Ryan.
Menurut dia, jika ada pandangan yang mengatakan bankir di Indonesia digaji terlalu tinggi, seharusnya mencermati terlebih dahulu beban kerja para bankir, kemudian mengukur parameter remunerasi sesuai strandar profesional yang berlaku. Karena, kata dia, seorang profesional di bank merasa layak digaji tinggi karena dia mampu membuktikan diri dan berkontribusi secara signifikan terhadap perusahaan.
Dengan penerapan remunerasi yang demikian, Ryan memperkirakan industri perbankan di Indonesia mulai mengarah kepada western system atau American system. Dalam hal ini, gaji atau fixed cost itu relatif lebih rendah, sementara variabel cost-nya (tunjangan, bonus, award, diskresi) akan dinaikan. Sistem tersebut secara tersirat mencerminkan teori equal pay for equal job. Di mana, tidak ada terjadi over pay dan under pay. “Makanya remunerasi diberikan setelah diukur oleh key performance indicators yang nantinya akan disepakati antara si pemberi kerja dengan si pekerja,” kata Ryan.
Sistem seperti ini, lanjut dia, akan menciptakan lingkungan usaha yang dinamis dan sehat karena transparan dengan alat ukur yang sangat terbuka, sehingga setiap profesional dipaksa untuk bersaing secara sehat. Di sisi lain, menurut Ryan, sistem tersebut mendorong munculnya potensi-potensi profesional yang tadinya tidak tergali. Mereka ini dipaksa untuk berkinerja baik. Dalam artian, jika ingin dibayar dengan upah yang tinggi maka harus meningkatkan kinerja dengan tetap memperhatikan praktek bisnis yang sehat.
Karena Terbatas
Secara umum, pasokan sumber daya manusia yang bisa mengisi posisi di berbagai level manajerial bank nasional masih cukup banyak. Hanya saja, yang mempunyai keahlian di bidang tertentu masih mengalami kekurangan. Bidang tersebut antara lain cash managemet, wealt management, risk management, perbankan syariah, bancasurance, dan IT. “Itu memang profesi-profesi yang orang-orangnya masih langka di industri perbankan,” kata Ryan yang juga Kepala Ekonom BNI.
Tidak heran, lanjut dia, remunerasi yang diberikan untuk profesional di bidang tersebut lebih tinggi dibanding profesional di general banking. “Karena orang sedikit maka sering berebut, tak heran ada bajak-membajak antara bank yang satu dengan bank lainnya.”
Untuk mendapatkan level profesional tersebut, bankir perlu sertifikasi/brevet yang harus diperoleh melalui proses pendidikan untuk meraih sertifikasi/brevet. Dengan brevet itulah harga yang diberikan oleh si pemberi kerja kepada para profesional tersebut.
Sebagai contoh, brevet level satu menunjukkan level kerja sebagai manajer, berikut harga remunerasinya. Kemudian dengan brevet level empat adalah posisi VP (vice president) yang tentu dihargai lebih tinggi dari brevet level satu. Demikian juga dengan brevet level lima, yang di untuk posisi direktur, yang sudah tentu harganya lebih tinggi dibanding level-level sebelumnya.
Wakil Direktur Utama Bank BTN, Evy Firmansyah menegaskan, berbagai level sertifikasi tersebut memang sangat dibutuhkan seorang profesional di industri perbankan. Karena dari industri ini sangat dituntut pola kerja yang profesional yang dibarengi dengan integritas yang tinggi guna menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menitipkan uang mereka di bank. “Karena tuntutan inilah, bankir layak digaji tinggi itu. Apalagi memang profesional di bidang ini memang langka,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti. Menurut dia, kurangnya suplai bankir di Indonesia membuat tingkat gaji dan remunerasi di kalangan bankir senior dan para direksi membengkak. Sehingga, perlu ada peran aktif dari pemangku kepentingan dalam pengadaan bankir-bankir profesional. “Karena memang pegawai profesional di kita kurang, apalagi di level direksi butuh yang profesional dan spesial di bidangnya. Karena terbatas, maka harganya tinggi,” ujarnya.
Sementara, dari sisi bisnis, industri perbankan di Tanah Air terus mengalami pertumbuhan sehingga membuat kebutuhan terhadap bankir semakin besar sementara dari sisi suplai atau jumlah bankir yang sudah matang masih kurang. Dia juga menegaskan, hal tersebut membuat pendidikan profesi perbankan perlu untuk diperbanyak dalam memenuhi kebutuhan pasar. Kebutuhan bankir yang profesional, lanjutnya, dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan nasabah pada perbankan.
Bagi Destry, sejauh ini biaya remunerasi dan bonus yang dikeluarkan bank untuk bankirnya dinilai wajar. Pasalnya, bankir ini memiliki tanggung jawab yang besar. “Struktur pegawainya yang kurang, apalagi direksinya kurang, di mana bank lagi growing, yang masalah di suplai dan demand saja,” ujar dia.
Dampak ke Syariah
Sementara, perbankan syariah di Indonesia mempunyai cerita tersendiri. Remunerasinya relatif lebih kecil dan tampak wajar dibandingkan bank konvensional. Hal ini membuat bank syariah lebih efisien dibanding bank konvensional. Sekretaris Jendral Asosiasi Bank-bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad K Permana menduga keengganan bank untuk memberikan gaji atau remunerasi tinggi disebabkan karena bank tersebut belum memiliki pertumbuhan bisnis, apalagi laba yang tinggi.
Selain itu, tidak semua bank syariah mau menggaji karyawannya dengan harga tinggi. Terlebih bila kemampuannya standar atau malah kalah dibanding dengan bank konvensional. “Ini tidak bisa dibandingkan (remunerasi bank syariah dengan bank konvensional),” jelas Direktur Utama Bank Permata Syariah itu.