Pelaku di industri pasar modal harus mulai terbiasa dengan aturan Tata kelola baru yang lebih ketat. Perubahan mendasar memang dilakukan oleh otoritas, terutama pada peningkatan wewenang regulator untuk mengawasi dan menghukum.
Oleh Syarif Fadilah
Pasar modal memang selalu menjadi spotlight dalam melihat perekonomian suatu negara. Di Indonesia, sayangnya, meski belum bisa setara dengan perbankan dalam menggerakkan ekonomi, industri ini kerap menjadi bulan-bulanan pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan jangka pendek tanpa mengindahkan aturan. Jadilah lampu itu seakan menyoroti hal-hal buruk mengenai Indonesia.
Dalam satu dekade belakangan telah banyak kasus fraud yang mencoreng wajah bursa dan yang paling menyedihkan adalah melenyapkan banyak dana nasabah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk pada 2012 untuk memayungi seluruh pelaku di sektor keuangan, tentu menjadi pihak yang menanggung citra buruk itu.
BERITA TERKAIT
Tidak mau terlalu lama memikul beban itu, otoritas pun melakukan pembenahan. Sejak Maret lalu, regulator telah melansir aturan yang fundamental bagi semua penyelenggara kegiatan di pasar modal. Bahkan aturan POJK No.3 tahun 2021 ini memang dimaksudkan untuk mengganti Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
Selain mengakomodir hal-hal baru dan perkembangan industri sektor jasa keuangan secara global, aturan ini juga jelas terlihat memperkuat peran dan wewenang OJK. Terutama dalam memperkuat Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good Corporate Governance (GCG) bagi semua institusi terkait pasar modal.
“POJK tersebut antara lain diterbitkan dalam rangka penguatan tata kelola lembaga self regulatory organization seperti bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, penyimpanan dan penyelesaian atau BEI, KPEI dan KSEI,” kata Hoesen, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, pada sebuah virtual seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Maret lalu.
Aturan tersebut juga memang terlihat meningkatkan kewenangan OJK dalam menetapkan perintah tertulis. Serta peningkatan ancaman maksimal sanksi denda dalam rangka peningkatan hukum dan efek jera bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran di industri pasar modal.
Isu GCG, sambung Hoesen, sebenarnya sudah jadi bahasan penting di tataran global dan beberapa negara di Asia termasuk Indonesia. Hal ini dipicu dampak krisis moneter yang melanda dunia lebih dari 2 dekade terakhir khususnya 97-98 dan 2007-2008.
Dalam sebuah kajian OECD yang terbit pada 2019 dikatakan bahwa krisis keuangan bisa disebabkan adanya kelemahan dan kegagalan dalam penerapan tata kelola perusahaan. “Kelemahan tersebut terlihat dari gagalnya penerapan model manajemen risiko perusahaan dalam mengantisipasi kedatangan krisis. Juga bisa terjadi karena lemahnya internal kontrol atas penyajian laporan keuangan, pemahaman perusahaan atas inherence risk pada berbagai instrumen portofolio yang kurang memadai serta penerapan remunerasi dan insentif yang kurang transparan,” jelas Hoesen.
Penerapan praktik GCG sangat mendesak karena posisi perusahaan-perusahaan Indonesia yang tercatat di bursa masih kalah jauh dibanding peer-nya di ASEAN. Berdasarkan hasil penilaian ASEAN Corporate Governance Scorecard pada 2019 yang merupakan penilaian tata kelola tingkat ASEAN, dari 100 perusahaan Indonesia listing di bursa yang dinilai, hanya terdapat 10 perusahaan yang masuk dalam daftar ASEAN Aset Class atau memilki skor di atas 97,5. “Akan tetapi dari 10 perusahaan itu belum ada yang masuk dalam top 20 berdasarkan penilaian ASEAN Corporate Governance Scorecard itu,” tambah Hoesen.
Berkaca dari kondisi tersebut maka diperlukan adanya penguatan dalam implementasi GCG di perusahaan. GCG diharapkan membantu perusahaan menjadi standar kualitas atau menjaga standar kualitas produk dan jasa yang tinggi. Beroperasi lebih efisien, meningkatkan akses ke permodalan, berkinerja baik, mengurangi risiko dan melindungi terjadinya mismanagement. Hal ini pada akhirnya akan membuat perusahaan lebih akuntable dan transparan sehingga dapat menarik minat investor untuk berinvestasi. Di samping itu penerapan GCG yang juga memberi perlindungan terhadap investor. Sebab pelaksanaan GCG mengurangi risiko mismanagement baik oleh pengurus maupun pengendali perusahaan
Penerapan GCG yang baik akan memberi kontribusi bagi pembangunan. Karena peningkatan akses terhadap modal tentu akan mendorong adanya investasi baru yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang baru. OJK tentunya terus mendorong penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik, terutama di industri pasar modal Indonesia. Hal itu sudah dimulai otoritas dengan menerbitkan Road Map Tata Kelola Perusahaan Indonesia dan Panduan Tata Kelola Perusahaan Indonesia pada 2014 lalu. Otoritas juga telah menerbitkan serangkaian aturan terkait penerapan GCG bagi emiten dan perusahaan public, perusahaan efek dan manajer investasi.
Yang terbaru, OJK telah menerbitkan POJK No.3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Aturan tersebut memang merupakan adopsi dan konversi dari Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Pasar Modal.
Sementara itu, Mirza Adityaswara, Direktur Utama LPPI mengatakan bahwa isi aturan dalam POJK NO. 3 tahun 2021 sangat penting untuk penguatan pasar modal. Aturan tersebut juga sangat komprehensih karena terdapat aturan terkait sekuritas, pengelolah investasi, bursa, KPEI dan emiten.
Menurut mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu, keberadaan aturan yang baru dilansir itu sangat penting untuk penguatan pasar modal. “Saya melihat penguatan pasar modal positif bagi ekonomi indonesia. Emiten jadi aman, investor terlindungi dan pendanaan ekonomi jadi semakin besar,” kata dia.
Sementara itu Samsul Hidayat, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia mengatakan bahwa perbaikan GCG pada emiten dari tahun ke tahun ini secara bertahap terus dilakukan. “Karena kalau bicara GCG maka kita bicara soal keberlanjutan dan menjamin keberlanjutan,” kata dia.
Menurut Samsul, implementasi GCG akan membuat emiten punya bisnis yang lebih baik ke depannya, karena GCG adalah proses struktur yang diterapkan dalam perusahaan dan ini terus diterapkan OJK agar emiten bisa meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan lainnya.
Ketika GCG dipandang dari sisi sempit maka dia hanya merupakan hubungan setara antar perusahaan dan pemegang saham saja. Kemudian berkembang bahwa GCG tidak hanya melihat sisi itu tetapi melihat dari sisi lainnya. Karyawan, pelanggan, pemasok, dsb. Dan ini pemikiran terkait GCG terus berkembang.
Perubahan Mendasar
Dalam aturan terbaru itu, terdapat peningkatan wewenang dari regulator yang tentunya berbeda dari aturan sebelumnya. Di antaranya adalah bahwa OJK kini berwenang memerintahkan Perusahaan Terbuka untuk mengubah status dari Perusahaan Terbuka menjadi Perseroan yang tertutup.
Selain itu, di dalam POJK baru ini terdapat jumlah perubahan jumlah modal disetor bagi bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP), dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP). Adapun di dalam POJK baru ini, jumlah modal disetor untuk bursa efek paling sedikit adalah Rp100 miliar, lebih besar jika dibandingkan dengan aturan PP 45/1995 yang hanya Rp7,5 miliar.
Sedangkan untuk LKP dan LPP jumlah modal disetor paling sedikit harus mencapai Rp200 miliar. Sementara pada aturan lama hanya Rp15 miliar. Jadi semuanya dilelang jadi tidak lagi semuanya di beli oleh bursa.
Selanjutnya, di dalam POJK baru ini mengatur mengenai perubahan masa jabatan anggota direksi dan komisaris SRO. Masa jabatan kini diperpanjang menjadi 4 tahun dan dapat diangkat kembali. Sementara di aturan PP 45/1995 masa jabatan hanya berlaku sampai 3 tahun saja.
POJK ini juga memuat aturan baru yakni mengenai kapitalisasi saldo laba ditahan menjadi modal disetor bursa efek. Dalam BAB II pasal 13 dijelaskan, bursa efek dapat melakukan kapitalisasi saldo laba ditahan menjadi modal disetor setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan emegang saham bursa efek dan OJK. Kapitalisasi saldo laba ditahan tersebut dilakukan dengan peningkatan nilai nominal saham bursa efek.
OJK saat ini masih menjadi bulan-bulanan publik khususnya bagi nasabah dan investor yang dirugikan perusahaan efek. Ini terjadi lantaran meledaknya kasus di pasar modal yang awalnya dipelopori kasus Jiwasraya. Kemudian merembet ke berbagai manajer investasi, lalu ke Asuransi. Bahkan juga mulai ada kasus gagal bayar produk reksadana dari perusahaan manajer investasi. Ini tentu tidak terlihat indah ketika sedang ditimpa lampu sorot investor. ***