Indonesia sudah sering mengalami euforia di sektor keuangan dan investasi. Masih ingat ingar bingar fenomena investasi berantai, atau ramai-ramai investasi tanaman hias gelombang cinta (anthurium), atau yang paling dekat adalah bisnis ikan lohan.
Pada masa jayanya, banyak orang tertarik masuk atau menggeluti bisnis tersebut karena hasil investasi yang sangat menjanjikan. Namun lambat laun bisnis-bisnis tersebut redup dengan sendirinya, bahkan ada yang sampai berurusan dengan penegak hukum.
Kini ingar bingar itu muncul kembali dalam bentuk investasi uang digital yang disebut bitcoin. Mata uang virtual yang dikenal di kalangan peselancar dunia maya atau para kutu internet itu, tiba-tiba ramai diperbincangan berbarengan dengan terpuruknya mata uang rupiah akibat hantaman krisis mini medio tahun lalu. Pangkal penyebab naiknya pamor bitcoin tak lain karena meroketnya nilai mata uang itu terhadap mata uang utama seperti dollar AS.
Tak pelak, mata uang yang dikembangkan pertama kali oleh seseorang dengan nama samaran Satoshi Nakamoto pada 2009, mulai diburu banyak orang di seantero dunia –terutama yang biasa bergelut di dunia maya dan sektor keuangan. Pernah satu waktu di tahun lalu, nilai tukar bitcoin melonjak dan menyentuh harga 1.000 dollar AS atau mencapai Rp11 juta per satu keping. Padahal di awal Nakamoto mengembangkannya, harga satu bitcoin
hanya bernilai 6 sen dollar AS.
Lalu apa itu bitcoin sesungguhnya? Siapa itu Satoshi Nakamoto. Dua nama itu memang tak bisa dipisahkan. Nakamoto, yang diyakini bukanlah nama sesungguhnya, adalah yang pertama kali memperkenalkan nama bitcoin melalui penelitian yang dipublikasikan lima tahun lalu dengan judul: Bitcoin: A Peerto- Peer Electronic Cash System.
Setelah publikasi itu, pseudoname Satoshi Nakamoto aktif memperkenalkannya kepada kalangan publik terutama mereka yang selalu bersinggungan dengan dunia Internet dan pelaku di sektor keuangan. Pada awalnya tidak banyak yang menaruh perhatian pada publikasi Satoshi. Namun, rupanya Satoshi sangat serius ingin membuat bitcoin mendunia dengan mendirikan sebuah forum dan lantas memulai proses ‘menambang’ blok bitcoin pertamanya pada 2009. Sepanjang tahun itu, Satoshi disebut-sebut sukses me-mining 1,6 juta bitcoin. Angka tersebut jika dikurskan pada nilai sekarang setara dengan Rp14 triliun.
Sama seperti kedatangannya yang misterius, kepergiannya juga demikian. Tiba-tiba, setelah cukup intens menyosialisasikan bitcoin sepanjang dua tahun, Satoshi menghilang begitu saja pada tahun 2011. Hingga kini, tak ada lagi yang pernah membaca atau mendengar kabar dari sang penemu bitcoin ini meski namanya kembali disebut-sebut bersamaan dengan melonjaknya kurs mata uang digital tersebut.
Namun begitu uang ciptaannya makin berkibar dan membuat pihak lain mencoba membuat hal serupa, yaitu dengan memperkenalkan uang yang didapatkan dengan metode kriptografi. Sampai akhir tahun lalu, demam cryptocurrency telah melahirkan lebih dari 80 mata uang, dari peercoin dan namecoin, hingga worldcoin dan hobonickels. Selain itu muncul pula gridcoin, fireflycoin, dan zeuscoin. Yang terbaru muncul litecoin, yang dirilis pada 2012 dan kini menjadi alternatif terkuat setelah bitcoin.
Seperti bitcoin, cara mendapatkan semua mata uang digital tersebut relatif sama. Dengan menggunakan komputer canggih dan memecahkan kode atas formula matematika yang rumit yang terbentuk secara otomatis di jaringan Internet, orang dapat memperoleh koin-koin tersebut. Kegiatan itulah yang disebut ‘menambang’ (mining).
Para miner (sebutan untuk pencari bitcoin) harus menguraikan kode matematika yang kompleks untuk menemukan blok baru bitcoin, sebagai hadiahnya si penemu akan dihadiahi sejumlah bitcoin. Untuk mereka yang tak biasa dan tak mau berhubungan dengan kerumitan kode itu bisa membeli dan menjual koin melalui bursa online yang kini sudah marak, hingga di Indonesia.
Bagi para pegiat bitcoin, mata uang ini dianggap bisa menjadi currency baru yang dapat menggantikan mata uang utama yang selama ini kita kenal. Menurut mereka cryptocurrency seperti bitcoin bisa menghindari masalah-masalah yang biasa ada pada transaksi biasa.
Salah satunya adalah double spending. Ketika kita bertransaksi lewat kartu prabayar atau e-money ada risiko pengeluaran ganda jika ada gangguan pada sistem. Misalnya saat kartu digesek di kasir dan transaksi sudah dikonfirmasi akan tetapi kemudian sistem gagal. Saat itu muncul kegagalan perpindahan saldo.
Lalu bagaimana bitcoin mencegah double spending? Dalam konsepnya, bitcoin menggunakan public ledger yang mencatat seluruh transaksi yang pernah ada dan disebar luaskan kepada publik secara terdistribusi. Artinya, ketika Anda melakukan transaksi dengan seseorang misalnya sebesar Rp50 ribu, maka publik akan tahu bahwa saldo Anda telah berkurang Rp50 ribu, dan artinya juga publik tahu total kekayaan Anda saat ini. Dengan begitu kelebihan bitcoin yang lain, menurut para pendukungnya, adalah transparansi.
Risiko di Balik Keunggulan
Apa yang diungkapkan oleh pihak yang pro bitcoin itu sejatinya tidaklah berlebihan, bank sentral sendiri bahkan mengakuinya. Menurut Bank Indonesia, mata uang yang kini masih diburu investor dan mulai diterima untuk beberapa transaksi di masyarakat itu memiliki daya pikat yang cukup besar.
Berdasarkan hasil riset BI, penyebabnya adalah pertama, mata uang ini bersifat independen karena tidak ada otoritas yang mengatur dan mengawasinya. Kedua, transaksi sangat fleksibel karena dapat dilakukan setiap saat oleh siapa saja secara langsung ke tujuan dalam waktu yang sangat cepat dengan biaya yang sangat murah (beban biaya hanya dari biaya koneksi internet) dan tanpa nilai minimum transfer.
Ketiga, transaksi sangat aman karena sulit diretas dan tidak terlacak. Semakin banyak pemakai yang jujur maka semakin sulit untuk meretas sistem ini. Keempat, bagi merchant risiko transaksi dengan Bitcoin lebih rendah karena transaksi bersifat final. Kelima, dengan keberadaan agen dan bursa maka bitcoin dapat dikonversikan ke berbagai mata uang resmi.
Namun keunggulan itu tidak lantas membuat regulator memberi lampu hijau pada peredaran uang digital itu, seperti yang dilakukan pada uang keluaran bank-bank nasional. Menurut riset yang sama faktor tidak adanya otoritas yang mengendalikannya membuat nilai bitcoin cenderung berfluktuasi tinggi. “Tidak ada yang menjamin jika nilai bitcoin jatuh,” kata BI.
Selanjutnya, sifat transaksi yang anonymous sehingga sulit dilacak menyebabkan bitcoin berpotensi tinggi untuk digunakan pada transaksi ilegal, seperti yang terjadi pada situs perdagangan yang ada di Amerika Serikat. Risiko lainnya terkait sifat sistem yang open source dan dalam tahap pengembangan sehingga kerentanan keamanannya masih cukup tinggi.
Untuk yang satu itu, risiko yang paling laten adalah menjadikan bitcoin sebagai alat pencucian uang dan juga menyembunyikan kekayaan untuk menghindari pajak. Beberapa kasus yang terjadi tampaknya sudah mengarah ke sana. Bulan lalu, sebuah situs bernama Sheep Marketplace dikabarkan kehilangan ratusan dollar AS dalam bitcoin akibat diretas oleh para hacker sistem komputer. Situs itu diketahui dimiliki oleh sebuah usaha ilegal jual beli obat terlarang di AS.
Kemudian yang baru saja terjadi adalah kasus pencucian uang di awal tahun ini.
Wakil Presiden Bitcoin Foundation, Charlie Shrem, didakwa telah melakukan konspirasi pencucian uang karena menyalurkan uang tunai secara online dengan mata uang bitcoin. Bitcoin Foundation adalah kelompok perdagangan yang mengadopsi mata uang digital.
Seperti dilansir Kantor Berita Reuters, pengusaha muda berusia 24 tahun ini hidup dan tinggal di sebuah bar di Manhattan menerima bitcoin sebagai alat pembayaran. Shrem dulunya merupakan CEO BitInstan, sebuah perusahaan penukaran bitcoin yang tutup beberapa bulan sebelum penangkapan.
Oleh karena itu sejak awal mencuat, Bank Indonesia sangat concern mencermati perkembangan mata uang virtual itu, lalu menilainya sangat berisiko. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A Johansyah, mengatakan bahwa penggunaan bitcoin sebagai alat transaksi, rawan menjadi sarana pencucian uang (money laundering). “Itu rawan untuk money laundering,” ujar Difi.
Jadi, untuk kasus di Indonesia tampaknya ingar bingar bitcoin hanya terbatas dalam lingkaran komunitas-komunitas tertentu saja. Gaungnya diperkirakan tidak akan melewati batas antara mereka yang paham IT serta keuangan dengan yang tidak. Apalagi BI sampai saat ini tak pernah memberikan izin, dan menyebutnya bukan alat pembayaran yang sah dalam aturan yang baru dirilis, meski tak pernah secara tegas melarang penggunaannya.
Dan mengingat yang sudah-sudah, eforia bitcoin tampaknya juga akan hilang begitu saja.