Oleh Romualdus San Udika
Dalam hal praktik Tata Kelola Perusahaan yang Baik, bank-bank dari kelompok perusahaan negara sejatinya memperoleh perhatian ekstra. Sebagai perusahaan pelat merah, kekhawatiran akan adanya bad governance muncul dari potensi adanya campur tangan penguasa pada pengelolaan bisnisnya.
Akan tetapi, dalam riset yang dilakukan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), praktik good corporate governance yang dilakukan bank milik negara justru terlihat mendapatkan nilai terbaik. Kajian praktik GCG industri perbankan 2007-2018 yang diterbitkan jelang akhir tahun lalu itu menyebut bahwa nilai komposit rata-rata GCG bank BUMN adalah 1,46, lebih baik dari rata-rata industri yang berada di angka 2,02.
Dengan kalimat lain, bank BUMN mengungguli kelompok bank lainnya yang dilihat dari faktor kepemilikan yaitu bank swasta, bank asing, bank daerah dan bank syariah. Sehingga boleh dibilang, bencana governance yang tengah menimpa perusahaan negara di sektor lain tidak terjadi di sektor perbankan.
Sebagaimana diketahui, perusahaan-perusahaan negara kerap kali dicitrakan sebagai tempat yang mudah untuk kongkalikong antara pejabat negara dengan pengelolanya. Hal itu tidak terlepas dari perannya sebagai perusahaan yang melayani kepentingan publik dan juga pencari keuntungan.
Untuk itu, menurut Pandhu Yuanjaya, Pengamat Administrasi Publik dari Universitas Negeri Yogyakarta mengingatkan kembali para pemangku kepentingan BUMN untuk memahami Undang-Undang No 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Di situ disebutkan bahwa BUMN sebagai perusahaan bertujuan menyediakan barang dan jasa publik untuk memberikan layanan sekaligus mendapatkan keuntungan.
“Dua tujuan ini tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Kondisi BUMN saat ini alih-alih mengejar keuntungan, dalam memberikan layanan sering terseok-seok sesuai kompleksitas masalah yang dijelaskan tadi. BUMN harus didorong sekuat tenaga untuk sebenar-benarnya menjadi perusahaan, bukan instansi pemerintah yang sedang berbisnis,” kata Pandhu.
Pandu juga menggarisbawai kembali enam prinsip GCG yang harus diterapkan di seluruh BUMN, yaitu transparansi, akuntabiitas, responsibilitas, kemandirian, kewajaran, dan kepentingan. Keenam prinsip GCG tersebut tidak hanya perlu ditanamkan pada seluruh stakeholder BUMN, namun juga harus menjadi aturan formal perusahaan.
Memang, kata Pandu, di hampir semua BUMN terdapat aturan tertulis yang diklaim mencerminkan pedoman dalam penerapan GCG. Namun ketika melihat pelaku korupsi adalah pejabat BUMN, maka penerapan aturan tersebut perlu ditinjau ulang. “Tidak ada pilihan, GCG harus dimulai dengan penegakan aturan perusahaan yang mengikat seluruh pegawai,” ujar dia.
Akan tetapi, tidak mudah melakukan hal itu di BUMN karena adanya birokrasi kerja yang kadang tak tertulis dan membuat banyak pihak tidak bisa berbuat banyak. Tantangan penerapan GCG di BUMN, lanjut Pandu, tidak hanya dari internal yang sebagian masih mengikuti alur kerja birokratis, namun juga berasal dari pemerintah sebagai pemilik.
“Namun kita tetap harus memastikan bahwa negara berkomitmen untuk memaksa BUMN menerapkan GCG secara transparan dan akuntabel, dengan tingkat profesionalisme dan efektivitas yang tinggi,” tambah dia.
Untuk itu, menurut Pandu, terdapat dua hal penting yang perlu ditekankan oleh pemerintah terhadap BUMN. Pertama, pemerintah harus menyederhanakan dan menstandarkan peraturan hukum operasional BUMN yang juga mengikuti dan diterima sesuai norma perusahaan. Kedua, pemerintah harus merelakan BUMN memiliki otonomi dalam mencapai tujuan dan menahan diri dari usaha intervensi.
“Kasus di Indonesia yang sering terjadi, intervensi sesuai agenda politik kelompok yang sedang berkuasa. Oleh karenanya, agenda ini tidak hanya tantangan bagi BUMN, namun juga pemegang kekuasaan di Indonesia,” kata Pandu.
Hasil Kajian
Akan tetapi, hasil kajian LPPI mengenai penerapan GCG perbankan sepanjang 2007-2018 seolah menepis semua anggapan di atas. Bank-bank BUMN yang dicitrakan buruk dalam hal tata kelola ternyata tidak demikian dalam hasil kajian itu.
Berdasarkan riset terlihat ada perbaikan dalam tiga tahun terakhir periode riset. Pada 2016 skor rata-rata nilai komposit dari 108 bank yang diteliti adalah 2,12, dan pada 2017 membaik menjadi 2,07, dan pada 2018 berada di level 2,02. Makin kecil nilai rata-rata komposit berarti praktik GCG yang di perbankan makin baik.
Menariknya lagi, dari keseluruhan bank, bank-bank yang dimiliki pemerintah memiliki skor rata-rata terendah dari seluruh bank yang diteliti. Dengan kalimat lain, praktik GCG di bank-bank BUMN lebih baik dibandingkan kelompok bank lainnya.
Bank-bank pelat merah memiliki peringkat komposit SANGAT BAIK dengan nilai komposit 1,46. Dari empat bank yang menghuni kelompok itu, dua bank berada di bawah rata-rata dan sisanya di atas rata-rata.
Menurut Chusnul Maarif, pelaku di industri penjaminan kredit, saat ini penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik oleh bank BUMN sudah bisa diandalkan. Pasalnya kesadaran bahwa BUMN memiliki fungsi sebagai penggerak ekonomi sudah mulai menguat di bank-bank pelat merah tersebut. “Menurut pengamatan saya selama ini, bank-bank BUMN memang makin bagus GCG-nya. Saya tidak memiliki datanya tapi saya lihat bank-bank BUMN lebih baik,” kata Direktur Utama Jamkrida Jakarta itu.
Meski begitu, untuk lebih memberikan pengaruh kepada perekonomian, dia meminta agar praktik GCG di bank-bank lain juga harus ditingkatkan karena lembaga keuangan sangat terkait dengan kepercayaan nasabah. “Iya seyogyanya GCG harus diterapkan dengan baik di sektor industri jasa keuangan dan ini harga mati, hal itu akan dapat menjaga kepercayaan nasabah kepada industri jasa keuangan,” ujar Chusnul. “Kalau terjadi sebaliknya maka akan membahayakan industri jasa keuangan dan untuk memulihkan kembali kepercayaan nasabah bukan pekerjaan yang mudah dan memerlukan waktu yang panjang.”
Jika menoleh ke belakang, pada 2018, ada kasus yang cukup menghebohkan industri perbankan ketika salah satu perusahaan pembiayaan, PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) ‘menggasak’ uang bank.
Kasus ini berawal saat PT SNP mengajukan pinjaman fasilitas kredit modal kerja dan kredit rekening koran kepada sebuah bank swasta periode Mei 2016-September 2017. Plafon kredit yang diajukan Rp 425 miliar dengan jaminan daftar piutang pembiayaan konsumen Columbia yang ternyata fiktif. Pada Mei 2018, terjadi kredit macet dan menyeret 13 bank lainnya termasuk bank-bank BUMN.
Sementara sepanjang tahun 2019 lalu, boleh dibilang bank-bank BUMN tidak mengalami peristiwa besar yang disebabkan tidak dijalankannya Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Tercatat hanya ada kasus besar yang menimpa Bank BNI di Ambon, Maluku ketika oknum pegawai bank membobol dana nasabah di cabang Ambon, Maluku, dan dana yang digasak sekitar Rp58,95 miliar, Oktober lalu.
Juga kasus yang menimpa Bank Mandiri ketika sistem teknologi informasinya sempat eror dan membuat banyak dana nasabah berpindah tempat. Adapun error tersebut terjadi karena perpindahan proses dari core system ke back up system yang rutin dilaksanakan di akhir hari pada data 10 persen nasabah. Error system itu membuat saldo rekening sekitar 10 persen nasabah Bank Mandiri mengalami perubahan, ada yang berkurang, namun ada juga yang bertambah.
Disebutkan setidaknya ada 2.600 rekening nasabah yang mengalami kelebihan saldo. Akibat kelebihan pencatatan saldo tersebut Bank Mandiri berpotensi mengalami kerugian kurang dari Rp 10 miliar.