Malang tak dapat ditolak tapi untung masih bisa diraih. Mungkin itu gambaran yang ada pada industri pembiayaan pasca ekonomi yang melemah akibat gonjang-ganjing di pasar modal. Untuk itu, bertahan adalah strategi yang akan dilakukan oleh para pebisnis sektor multifinance di sisa tahun ini.
Setelah ekonomi sempat sempoyongan karena ditinggal oleh investor asing secara berjamaah, pemerintah memutuskan untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan dan di sisi lain bank sentral menaikkan suku bunga acuan.
Kondisi itu jelas membuat jalan industri pembiayaan makin terjal untuk mempertahankan target bisnis yang disusun awal tahun. Tantangan paling berat tentu datang akibat dikereknya BI Rate menjadi 7,25 persen, naik 150 basis poin sejak Mei. Kenaikan itu tentu akan mendongkrak suku bunga perbankan, dan ujung-ujungnya akan membuat biaya dana multifinance naik lantaran sebagian besar modal mereka bersumber dari perbankan. Dan tak ada jalan lain bagi perusahaan pembiayaan selain menaikkan suku bunga juga.
“Karena kami dapat dananya daribank, terus bunganya dinaikkan sama bank, ya pasti (suku bunga multifinance) naik,” kata Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Hingga paro pertama tahun ini, dana perbankan masih menguasai lebih dari 65 persen permodalan di multifinance, bahkan beberapa perusahaan menggantungkan seluruh modalnya dari kredit bank. Sumber lainnya berasal dari penerbitan obligasi dan modal sendiri. Karena itu, tak mengherankan jika kenaikkan BI Rate akan membuat kenaikkan suku bunga pembiayaan lebih besar lagi.
Beberapa perusahaan pembiayaan pun mengaku sudah menaikkan suku bunga pembiayaan yang dikenakan ke nasabahnya. Salah satunya adalah Astra Credit Company (ACC).
Jodjana Jody, direktur perseroan itu mengatakan, pihaknya mengerek bunga pembiayaan mulai 1 September 2013 sebesar 0,5 persen. “Karena pendanaan kami berasal dari bank, ketika mereka menaikkan bunga kredit, kami terpaksa menaikkan bunga kredit kami,” paparnya.
Sebelumnya, pada Agustus, perusahaan yang fokus pada pembiayaan mobil ini juga telah menaikkan bunga sebesar 0,25 persen menjadi 13,5 persen.
Namun demikian, besaran bunga yang dibebankan kepada debitur itu akan dipengaruhi banyak faktor, termasuk pilihan unit mobil, lokasi dan dealer.
Perusahaan lain juga mengayunkan langkah serupa. Adira Dinamika Multi Finance, seperti yang diakui oleh Presiden Direktur, Willy Suwandi Dharma, juga terpaksa harus menaikkan bunga pembiayaan karena BI Rate sudah naik beberapa kali. Meski tidak secara terang-terangan menyebut besaran kenaikan bunga tersebut, namun Willy pernah mengatakan, pihaknya mempertimbangkan kenaikan bunga pembiayaan sebesar 0,5 persen-1 persen.
Andalan Finance, salah perusahaan yang menggantungkan 100 persen sumber dana dari perbankan juga tak bisa menghindari pilihan itu. “Itu tergantung dari perbankan. Kalau bunga kredit mereka naik, kami akan ikut naik,” ujar Sebastian Budi, Presiden Direktur Andalan Finance.
Jika bunga kredit perbankan naik 1 persen, kemungkinan Andalan akan menaikkan bunga pembiayaan 50 bps lebih tinggi dari perbankan. Sebelumnya, Andalan sudah mengerek bunga pembiayaan sebesar 1 persen untuk produk mobil bekas beberapa waktu lalu.
Andalkan Motor dan Mobil
Meski risiko pasar tengah meningkat, pelaku industri multifinance tetap percaya diri sektor ini tidak akan terjerembap karena andalan mereka yaitu pembiayaan otomotif masih berprospek tumbuh. Optimisme itu didasarkan kenyataan bahwa pendapatan dari penduduk kelas menengah meningkat terus. Selain itu tak bisa dikesampingkan juga peluang dari proyek pemerintah yang menggeber produk mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/ LCGC).
“Optimis lah karena tahun lalu saja pertumbuhan aset mencapai Rp310 triliun. Ke depannya, potensi pasar pembiayaan khususnya sepeda motor dan mobil pasti masih ada. Apalagi penduduk kita besar, sekitar 50 juta masuk golongan mampu. Dengan demikian pasti akan terus tumbuh,” Suwandi, bos APPI.
Saat ini sebanyak 63 persen perusahaan pembiayaan bergerak di pembiayaan mobil dan motor. Sementara 35 persen perusahaan bergerak di pembiayaan sewa guna usaha dan 2 persen sisanya di factoring.
APPI juga tak mengkhawatikan kondisi industri multifinance di tahun 2014. “Untuk melihat tahun depan, menjelang Pemilu dan segalanya, kami tidak terlalu khawatir terhadap ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang dirilis Bank Indonesia (BI) di situsnya, outstanding pembiayaan konsumen yang disalurkan perusahaan pembiayaan pada Juni 2013 telah mencapai Rp209,85 triliun atau tumbuh 2,16 persen dibandingkan pada Mei 2013 sebesar Rp205,47 triliun. Total pembiayaan yang disalurkan perusahaan multifinance pada semester dua tahun ini mencapai Rp320,82 triliun.
Suwandi memperkirakan, tahun ini perusahaan multifinance tetap berpatok pada masing-masing target yang ditetapkan. Target pertumbuhan penyaluran pembiayaan secara industri tahun ini, mencapai 10 persen. “Sampai dengan September, saya rasa semua perusahaan pembiayaan tidak akan merevisi target tersebut,” jelas Suwandi yang juga Direktur Utama PT Chandra Utama Leasing.
Namun begitu, di tengah kecenderungan kenaikan suku bunga ada satu bahaya yang berpotensi menyandung kinerja multifinance: kredit macet atau NPL. Menurut catatan APPI, pada Juni 2013 rasio NPL perusahaan pembiayaan berada di kisaran 1,3 -1,4 persen. Sementara pada Desember 2012 lalu, NPL mencapai sekitar 1,6 persen.
Peluang LCGC
Sementara itu, Penasihat APPI Wiwie Kurnia, mengatakan pengetatan moneter juga berdampak bagi Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM). Beberapa ATPM terpaksa menaikkan harga jual produk. Bagi yang belum menaikkan, biasanya karena produk yang dijual adalah stok periode sebelumnya. Kenaikan lebih besar berpotensi terjadi lagi kalau kondisi moneter kian memburuk.
“Sebetulnya, pelemahan rupiah pada September lalu belum terlalu berdampak terhadap harga mobil atau motor. Masih banyak ATPM yang memberikan promosi tapi sudah ada beberapa lainnya yang menaikkan harga,” papar Wiwie.
BERITA TERKAIT
Kenaikan harga jual kendaraan roda empat juga diakui PT Nissan Motor Indonesia (NMI). Produsen asal Jepang ini sudah menaikkan harga jual kendaraan sejak awal Oktober 2013. Ini diberlakukan pada beberapa model merek mobil yang bernaung di bawah bendera PT NMI.
“Kami tidak bisa sebutkan nilai penaikkannya. Kami menaikkan harga jual untuk menekan potensi kerugian, yang bisa kami lakukan hanya meminimalisir potensi akibat pelemahan rupiah itu,” ujar Wakil Presiden Direktur, Penjualan dan Pemasaran PT NMI Yoshiya Horigome.
Kendati demikian para produsen tetap memasang optimisme tinggi industri otomotif Indonesia akan tetap tumbuh di masa sulit ini. Hal tersebut bisa dilihat dalam ajang pameran otomotif, Indonesia Motor Show 2013 yang baru berakhir beberapa waktu lalu.
Dalam pameran tersebut, beberapa lembaga penyalur kredit konsumen berlomba-lomba memasang skema pembayaran yang memudahkan pangsa pasar menyerap penjualan kendaraan bermotor roda empat, khususnya program mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC).
BCA Finance misalnya, menerapkan down payment atau uang muka balloon payment. Menurut Presdir BCA Finance Roni Taslim, dengan paket tersebut konsumen membayar uang muka sebesar 30 persen, dan selama tiga tahun hanya mengangsur 20 persen dari harga mobil. Sehingga, pada akhir tahun ketiga, konsumen hanya tinggal membayar 50 persen.
Pihaknya optimistis bahwa skema pembiayaan tersebut akan meringankan konsumen. “Namun kami tidak set target tertentu untuk paket balloon ini. Karena LGCC masih baru,” jelas Roni.
Namun Roni mengaku penyaluran kredit LCGC bukan tanpa tantangan. Ia menerangkan, cukup hati-hati terhadap pemilihan pangsa pasar pembiayaan LCGC, mengingat LCGC dilempar pada konsumen yang memiliki penghasilan rendah. Dikhawatirkan, jika tidak selektif akan memicu rasio kredit macet yang tinggi.
Menurut Suwandi dari APPI, upaya yang dilakukan perusahaan dinilai dapat menambah penguasaan pangsa pasar (market share) korporasi dalam pembiayaan roda empat. “Asalkan tidak melanggar regulasi tentang batas minimum down payment,” tegasnya.
Seperti diketahui, pasca penerapan beleid minimum down payment kendaraan bermotor oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), performa industri perusahaan pembiayaan melambat. Merujuk konsolidasi data OJK, laba bersih multifinance hanya tumbuh 17 persen pada kuartal pertama 2013. Angka tersebut melambat dibandingkan periode yang sama pada 2012 (year on year) yang mencapai 20 persen.
Akselerasi penyaluran pembiayaan juga tertekan. Pada periode awal 2013, pembiayaan tumbuh 16 persen, atau lebih rendah ketimbang periode awal 2012 sebesar 35 persen.
OJK sendiri, menurut Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank, Dumoly F. Pardede, memberi dukungan penuh terhadap perusahaan pembiayaan yang akan menyalurkan kredit LCGC. “Kemana mereka (multifinance) mengalokasikan pembiayaan dan portofolionya, terserah strategi bisnis masing-masing. Yang terpenting tetap sesuai regulasi,” ujarnya.
Bagaimana dengan strategi industri multifinance yang bergerak di sewa guna usaha? Herman Lesmana, Marketing Director PT Buana Finance Tbk mengatakan, pihaknya tetap optimistis mencapai terget penyaluran pembiayaan tahun 2013 ini sebesar Rp3 triliun. Dari angka tersebut, 70 persen untuk leasing (sewa guna usaha) dan sisanya 30 persen adalah pembiayaan konsumen.
PT Buana Finance Tbk menyalurkan pembiayaan antara lain untuk alat berat, mesin cetak komersial hingga kapal kargo dan kapal tongkang melalu sewa guna usaha. Sementara untuk pembiayaan konsumen, perusahaan menyalurkan pembiayaan antara lain untuk mobil bekas dan KPR.