Ada ungkapan yang mengatakan kalau hidup identik dengan bekerja. Tak sekedar memenuhi kebutuhan materi, bekerja juga menjadikan hidup tetap dinamis bahkan katanya bekerja pula bisa membuat orang awet muda. Begitu anggapan banyak orang. Faktanya banyak orang yang berhenti bekerja, baik karena di PHK ataupun pensiun, merasa tertekan jiwanya. Post-power syndrome istilahnya. Itu adalah kondisi ketika seseorang setelah tak lagi memiliki pekerjaan dan jabatan yang mana gejalanya antara lain sikap mental cenderung negatif, menurunnya penghormatan terhadap dirinya dan kepercayaan diri. Ke semua itu akhirnya membuat kesehatannya memburuk.
Oleh karena itu, tetap beraktivitas adalah cara paling efektif untuk menghindari tekanan tersebut. Bagi yang memiliki cukup uang hal itu bisa dilakukan dengan terus bersosialita. Menghadiri kegiatan-kegiatan amal misalnya. Aktivitas lain yang seringkali menjadi pilihan adalah tetap bekerja menjadi wirausahawan (entrepreneur), mendirikan dan membangun usaha sendiri.
Menyadari hal itu, tak heran jika beberapa bank sudah mulai membekali karyawannya yang akan memasuki masa purna-bakti. Pembekalan antara lain dilakukan melalui program pelatihan kewirausahaan masa persiapan pensiun. Program ini dirancang untuk membekali karyawannya secara mental dan spiritual antara lain pembekalan kesehatan, penelusuran potensi diri, serta pembekalan bisnis.
Namun pilihan berwirausaha tidak segampang membalikan tangan. Hal itu memerlukan ketekunan dan latihan. Mengutip John C. Maxwell, pakar kepemimpinan dan motivator, bakat saja tidak cukup. IQ juga tidak. Semua itu baru menjadi potensi, dan setiap potensi perlu menemukan pintunya.
Kisah sukses beberapa mantan bankir berikut mungkin bisa menginspirasi. Aswan Nasser, pemilik bisnis perlengkapan bayi La Vindhy Children & Baby Wear misalnya. Sebelum sukses seperti sekarang dirinya mesti jatuh bangun membangun bisnisnya. Aswan memulainya dari nol setelah di-PHK dari pekerjaannya sebagai Asisten Wakil Direktur Bank Exim pada 2004.
Aswan memulainya dengan membeli dan menjualnya kembali ke toko-toko dan departement store. Modalnya Rp 75 juta dari sisa pesangonnya. Namun saat pelanggan mulai berdatangan, produsen yang biasa mensuplai barang menolak melanjutkan kerjasama. Tak ingin mengecewakan pelanggan, Ia memutuskan memproduksi pakaian bayi sendiri. Cobaan tak berhenti sampai disitu, beberapa kali Ia merugi karena pembeli tak mampu membayar pesanan atau membatalkan pesanan karena barang tidak sesuai spesifikasi. Ketegarannya menghadapi berbagai macam cobaan membuahkan hasil kini bisnisnya sudah merambah pasar ekspor hingga ke benua Afrika. Selain itu, Aswan juga mendirikan jaringan waralaba toko perlengkapan bayi.
Ketekunan dan dedikasi juga menjadi kunci sukses dalam berwirausaha. Kisah pioner jaringan waralaba McDonalds di Indonesia Bambang N Rachmadi bisa menjadi teladan. Bambang memilih mengakhiri karier bankirnya yang gemilang di usia 35 tahun. Dia mengundurkan diri dari jabatan Presiden Direktur Panin Bank pada November 1988. Alasanya terkesan sederhana, sudah tak ada tantangan.
Sebelum lepas dari McDonalds, selama 19 tahun Bambang bekerja keras membangun jaringan waralaba McDonalds di Indonesia. Meski berpengalaman memimpin bank besar, Bambang mesti memulai usahanya dari bawah. Saat itu modal saja tidak cukup untuk mendapatkan lisensi waralaba restoran fast-food dunia ini. Bambang “dipaksa” berlatih dalam on the job experience, semacam tes awal. Dirinya melakukan semua hal sebagai pelayan dari mengelap meja, membersihkan toilet, hingga tukang parkir. Bambang berhasil menyingkirkan 39 kandidat, termasuk 13 dari Indonesia untuk melanjutkan pelatihan di McDonalds Corporation Hamburger University selama 1 tahun.
Untuk mendapatkan lisensi McDonalds tidak mudah. McDonalds menuntut komitmen 100% kepada mitra kerjanya. Faktanya sekitar 13 ribu pelamar dari Indonesia sebelum Bambang gagal memenuhi ekpektasi. Restoran McDonalds pertama pun berhasil berdiri di Sarinah Jakarta pada Februari 1991. Dedikasi sepenuh hatinya selama 19 tahun telah memberikan keuntungan bersih Rp1,2 triliun untuk McD Corp pusat dalam kurun waktu 1991-2007.
Berwirausaha Pasca Pensiun
Lantas bagaimana dengan para bankir yang ingin mengisi masa pensiun dan hari-hari tuanya dengan berwirausaha? Tips dari Arwin Rasyid, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga, Tbk bisa dipertimbangkan. Menurutnya, bankir-bankir papan atas saat ini pada umumnya tidak mempunyai sekolah khusus, alias mempunyai latar belakang berbeda sebelum terjun ke dunia perbankan. Mungkin hanya sedikit yang benar-benar berasal dari lulusan sekolah perbankan.
Namun demikian, dalam perjalanan kariernya di perbankan, para bankir digembleng menjadi professional sejati dengan iklim yang sudah tertata rapi. Dengan demikian, ketika memasuki masa pensiun akan menjadi sulit jika mantan bankir ingin terjun langsung ke dunia usaha dengan berwirausaha yang merupakan alam yang berbeda dengan perbankan.
Maka dari itu, jika seorang bankir di masa pensiunnya ingin tetap berkarya, menurut Arwin sebaiknya cukup mengisi posisi manajerial saja, baik itu komisaris maupun direksi. “Jangan memulai usaha dari nol, sebaiknya memperkuat jajaran yang sudah ada,” tukas Arwin.
Berwirusaha, kata dia, adalah sebuah ketrampilan yang terbentuk secara alami dari pelakunya berusia dini. Contohnya, idealnya seorang pelaku usaha itu sejak SMP sudah mulai menghitung uang, membantu jualan ke pasar, menemani orang tua melakukan negosiasi dengan rekan bisnis, dan sebagainya.
Nah, ketrampilan wirausaha seperti demikian menurut Arwin selalu mengikuti jam terbang. Tak mudah bagi seorang bankir untuk sukses berwirausaha dalam sekejap waktu. Karenanya, Arwin lebih memilih untuk menjadi pendidik saat pensiun nanti. “Apakah nanti menjadi staf pengajar atau dosen tamu, atau filantropi”, ujarnya.
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo yang juga mantan bankir memiliki pendapat yang senada dengan Arwin. Menurutnya menjadi seorang enterpreneur ternyata tidaklah mudah seperti membalikan telapak tangan. Enterpreneur merupakan suatu inisiatif kultur atau aktivitas kerja. Tidak semua orang bisa menjadi enterpreuneur, karena kata kunci untuk berhasil adalah memiliki jiwa kewirausahaan.
“Rata-rata seorang enterpreneur muncul pada orang yang memang benar-benar berasal dari lingkungan wirausahaa jadi dari kecil mereka sudah diajari. Namun, enterpreneur itu bisa di didik,” tukas mantan Dirut Bank Mandiri itu.
Agus Marto memberikan beberapa tips untuk menjadi seorang entrepreneur sejati. Pertama, memanfaatkan kesempatan dalam mengelola sumberdaya bisa menjadi value. Bagi Agus, setiap orang memiliki kesempatan, namun bagaimana mewujudkan kesempatan tersebut masih belum banyak yang bisa.
Kedua, yakni memiliki sifat climber atau tak mudah menyerah meski dihantam masalah apapun, sehingga mudah bangkit kembali dan memulai dari awal. Jiwa seorang enterpreneur itu mudah bangkit. Tidak terus menerus menangisi kegagalan yang terjadi. Kalau memiliki itu dan bisa memanfaatkannya, maka ketika jatuh kita bisa bangkit lagi, jelas Agus.
Ketiga, mau belajar dan bekerja keras. Hal ini mengingat rata-rata seorang enterpreneur berasal dari lingkungan yang memang orang tuanya seorang enterpreneur. Hal ini dilakukan agar merubah pola pikir dari menjadi seorang pekerja menjadi seorang enterpreneur. Jadi tantangannya apakah mau jadi pekerja hingga ke negri orang atau menjadi seorang enterpreneur.