Menjadi payung di waktu hujan, menjadi tameng di kala musibah datang,menjadi solusi di saat risiko menghampiri adalah cita-cita asuransi. Namun apa jadinya jika asuransilah yang kini tengah terkena hujan, terbebat musibah dan terekspos risiko?
Tak bisa dipungkiri, pelemahan ekonomi akibat hantaman ‘krisis kecil’ sepanjang Mei-Agustus lalu telah menyebabkan sektor keuangan terguncang. Hengkangnya dana-dana asing dari pasar keuangan nasional jelas membuat luka, tidak hanya bagi perbankan dan pasar modal, tetapi juga buat asuransi.
Pemburukan ekonomi yang diikuti dengan diturunkannya targettarget ekonomi tentunya mengancam bisnis asuransi terutama dari dalam perusahaan. Dalam kondisi pelemahan ekonomi yang paling berpotensi terhantam adalah rasio permodalan asuransi yang terpampang dalam riskbased capital (RBC).
Rasio itu sejatinya berisi perbandingan antara nilai kekayaan bersih sebuah perusahaan asuransi yang dihitung berdasarkan standar akuntansi dengan nilai kekayaan bersih, yang dihitung kembali dengan mengikutsertakan risiko-risiko pemburukan yang mungkin terjadi.
Pengikutsertaan risiko-risiko pemburukan yang mungkin terjadi tersebut merefleksikan adanya ketidakpastian yang dihadapi oleh perusahaan dalam aktivitas sehariharinya. Misalnya kemungkinan jatuhnya nilai aset secara jangka pendek akibat investasi pada instrumen yang lebih berisiko, atau kemungkinan naiknya tingkat utang akibat perkembangan yang tidak menguntungkan di masa depan dalam hal tingkat suku bunga, tingkat kematian, tingkat putus kontrak, dan lain sebagainya.
Dengan mengacu pada pengertian itu maka tak pelak asuransi tengah menghadapi risiko turunnya rasio permodalan. Pasalnya selama ini asuransi menginvestasikan sebagian besar dananya pada instrumen-instrumen pasar modal, seperti saham dan obligasi, di samping juga ditempatkan dalam bentuk deposito. Maka ketika pasar modal terpukul oleh guncangan ekonomi, secara langsung hal itu akan membawa dampak buruk bagi asuransi. Akan tetapi, asuransi masih tertolong dengan langkah BI menaikkan suku bunga karena akan mendongkrak suku bunga deposito dan mempertahankan pendapatan investasinya di perbankan.
Bisa jadi itulah yang membuat tingkat kesehatan bisnis asuransi masih relatif stabil. Jika melihat catatan otoritas, saat ini belum ada yang perlu dikhawatirkan dari industri pasca guncangan sektor keuangan beberapa bulan lalu. “Sementara ini masih kondusif, solvabilitas asuransi masih bagus. Jika ada kondisi mendesak, kami akan melakukan relaksasi sejumlah aturan,” kata Firdaus Djaelani, Komisioner dan Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK.
Selain itu, langkah otoritas sejak jauh-jauh hari juga berperan menyelamatkan kinerja bisnis asuransi meski guncangan telah melemahkan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan. Regulator sudah menetapkan modal minimum bagi perusahaan asuransi sebesar Rp40 miliar pada 2008, Rp70 miliar pada 2009, dan Rp100 miliar pada 2010.
Bahkan untuk memperkuat fundamental asuransi OJK telah mewajibkan semua perusahaan asuransi memiliki risk-based capital sebesar 120 persen. Jika RBC di bawah 120 persen, OJK akan mengategorikan sebagai perusahaan asuransi bermasalah.
Hampir seluruh pelaku asuransi juga optimistis dengan kinerja industri tahun ini, kendati bekas-bekas guncangan di sektor keuangan masih terlihat. Pasalnya pengalaman krisis 2008, sudah membuktikan bahwa industri proteksi dalam negeri bisa tetap tumbuh meski sempat terhuyung-huyung.
Saat itu, asuransi jiwa mengalami koreksi yang cukup dalam pada sisi pendapatan. Kinerja asuransi jiwa nasional masih mengalami pertumbuhan sebesar 5,2 persen di tahun 2008, namun demikian angka tersebut adalah yang terendah pasca krisis 1997. Faktor utama tipisnya pertumbuhan premi ini disebabkan terkoreksinya pendapatan premi baru yang hanya tumbuh 1,4 persen. Saat itu, total investasi industri asuransi jiwa hanya tumbuh 2,6 persen. Pada 2008, pertumbuhan ekonomi juga turun dari rencana awal sebesar 6,8 persen menjadi 6,1 persen.
Asuransi Jiwa Aman
Optimisme pelaku juga bertambah karena adanya kebijakan mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih dalam, yang digulirkan pemerintah. Jika imbasnya positif ke perbankan dan sektor riil, hal itu tentu menjadi tanda bahwa perkembangan asuransi jiwa ke depan tetap prospektif.
Apalagi, berdasarkan catatan asosiasi, hingga paro pertama tahun ini ada kenaikan penetrasi dari pelaku industri yang terlihat dari jumlah tertanggung yang bertambah. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat hingga semester kedua tahun 2013 total tertanggung asuransi jiwa sebanyak 87,19 juta orang. Angka itu meningkat dari posisi 2012 yang baru mencapai 56,42 juta orang.
Adapun Tertanggung Perorangan naik 29,38 persen menjadi 12,79 juta orang dari 9,88 juta tahun lalu. Sementara itu, Tertanggung Kumpulan mengalami kenaikan lebih tinggi, yakni 59,89 persen dari 46,53 juta orang menjadi 74,4 juta orang. “Kenaikan jumlah tertanggung mengindikasikan meningkatnya kesadaran publik akan manfaat memiliki asuransi jiwa,” kata Kepala Departemen Komunikasi AAJI Nini Sumohandoyo.
Bahkan berdasarkan catatan yang sama, turbulensi di pasar modal sejak pertengahan tahun ini tidak berpengaruh secara signifikan ke hasil investasi industri asuransi jiwa. Pelaku industri rupanya sudah belajar dari krisis 2008, ketika pasar saham bergejolak, maka sebagian besar portofolio ivestasinya dialihkan ke portofolio yang lebih aman, misalnya reksadana. “Ke depan memang reksadana akan jadi primadona. Ini sudah terlihat di kuartal kedua tahun ini,” kata Nini.
AAJI memperkirakan hasil investasi hingga akhir tahun 2013 akan tumbuh 63,48 persen, relatif sama dengan tahun lalu. Sementara nilai investasi atau dana kelolaan diperkirakan tumbuh di kisaran 17-20 persen.
Angka itu bisa dicapai industri karena di awal tahun ini saja, seperti kata Ketua AAJI, Hendrisman Rahim, sejumlah perusahaan asuransi jiwa mengaku telah memenuhi target imbal hasil investasi full years pada kuartal pertama 2013. Mengingat saat itu indeks harga saham gabungan sempat menyentuh level 5.000, tertinggi dalam sejarah pasar modal.
Adapun investasi asuransi jiwa hingga kuartal kedua 2013 tumbuh 17,74 persen menjadi Rp245,17 triliun, dari Rp208,24 triliun pada kuartal kedua 2012. Dari angka tersebut, reksadana berada di urutan teratas dengan total sebesar Rp73,61 triliun, diikuti portofolio saham sebesar Rp70,17 triliun, juga portofolio lainya. Padahal, di periode sebelumnya, saham selalu menjadi tujuan investasi nasabah asuransi.
Secara total, AAJI mencatat perolehan premi pada kuartal kedua tahun ini sebesar Rp57,59 triliun, atau tumbuh 14,48 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan tersebut juga didukung oleh premi produksi baru yang tumbuh 7,10 persen menjadi Rp37,4 triliun.
Pertumbuhan tersebut juga mendorong pertumbuhan jumlah aset industri menjadi Rp281,20 triliun, tumbuh 37,65 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Total aset yang tumbuh signifikan mencapai 37,65 persen menunjukkan kekuatan asuransi jiwa dalam membayarkan kewajiban kepada nasabahnya. Pertumbuhan aset ini juga menunjukkan bahwa tingkat atau rasio solvabilitas asuransi jiwa cukup baik,” kata Hendrisman.
Dengan demikian, kendati pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan melambat, tidak begitu mempengaruhi laju perkembangan asuransi jiwa.
Asuransi Umum Terkena
Sebagai pemain yang langsung terkait dengan sektor riil, industri asuransi umum dipastikan akan mengalami perlambatan pertumbuhan pendapatan premi. Ini akibat menurunnya laju pertumbuhan penanaman modal baru dan kemungkinan kebangkrutan banyak perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Karena itu, dengan estimasi pertumbuhan ekonomi 2013 di kisaran sekitar 5,8 persen, maka diperkirakan laju pertumbuhan premi bruto industri asuransi umum sulit melampaui 10 persen di akhir 2013.
Angka estimasi ini sepintas lalu tampak terkonfirmasi karena pada semester pertama lalu, laju pertumbuhan pendapatan premi asuransi umum sudah mengalami perlambatan, yakni Rp20,8 triliun, hanya tumbuh 10,2 persen posisi yang sama 2012. Padahal pada periode sebelumnya pendapatan premi tumbuh 12,2 persen.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor mengatakan pertumbuhan asuransi umum berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jika perekonomian mengalami gangguan, maka otomatis industri asuransi pun mengalami gangguan. “Pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi Indonesia mengalami koreksi, ini berdampak pada perlambatan pertumbuhan asuransi umum,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Julian Noor.
Dia menjelaskan, ketika pertumbuhan ekonomi dipangkas lebih rendah, perbankan akan menyesuaikan dengan memangkas target kredit mereka. Jika kredit yang dikucurkan bank menurun, maka akan berdampak langsung ke premi asuransi umum. “Karena semua pembiayaan atau kredit yang disalurkan pasti diasuransikan,” jelas Julian.
Sektor asuransi kerugian memang merasakan dampak langsung dari terhentinya proyek-proyek pembangunan, dan melemahnya proses produksi dan distribusi. Tertanggung lebih memilih menunda atau bahkan menghentikan proyek-proyek yang sedang berjalan yang berarti meminta agar pertanggungan dihentikan sementara. Sementara dengan terganggunya proses produksi dan distribusi, maka permintaan akan penutupan atas properti dan pengangkutan merosot. Singkatnya pendapatan premi menurun untuk setiap kelas bisnis.
Pengaruh lain dari krisis ini adalah permodalan industri asuransi nasional. Pengamat ekonomi, Pande Radja Silalahi Semakin mengatakan, lemahnya nilai tukar rupiah, akan semakin mengecilkan permodalan asuransi. “Kita bisa bayangkan berapa penurunan own retention masing-masing perusahaan asuransi, khususnya untuk pertanggungan dengan mata uang asing seperti asuransi rangka kapal, atau asuansi ekspor-impor.”
Oleh karena itu, menurut dia, industri asuransi harus dapat merebut pasar di negerinya sendiri dengan cara peningkatan modal. “Barangkali tidak ada salahnya perusahaan asuransi memikirkan tentang merger atau joint venture, sebagaimana yang dilakukan dunia perbankan,” lanjut Pande.
Di samping itu, pelaku bisnis harus membuat terobosan-terobosan baru dengan mencari peluang pasar pada jenis-jenis usaha yang tidak terpengaruh oleh krisis. Saat ini, pangsa asuransi umum Indonesia didominasi kendaraan bermotor. Jika pembiayaan otomotif berkurang, tentu nilai pertangunanya juga menurun. Namun, untuk otomotif menjadi catatan khusus walaupun penjualan kendaraan bermotor di semester I-2013 agak menurun, ternyata, di semester II 2013, penjualan kendaraan bermotor mengalami kenaikan.
“Di Jawa Tengah, penjualan kendaraan bermotor luar biasa, bahkan bisa saja menyusul DKI. Kami optimistis penjualan kendaraan bermotor yang besar ini membuat target pertumbuhan kami di akhir tahun tercapai,” ucap Kepala Bidang Statistik, Teknologi Informasi, Riset dan Analisa AAUI Budi Herawan. AAUI menargetkan pertumbuhan 15 persen hingga akhir tahun ini.
Untuk mendukung target tersebut, asuransi umum juga mencoba masuk ke sektor pertanian, perikanan, kerajinan rakyat dan sebagainya. Diketahui, pada saat kondisi ekonomi menurun, hanya sektor industri yang berbahan baku lokal tetapi merupakan konsumsi ekspor, yang masih dapat bertahan. “Sudah waktunya pula kita memikirkan asuransi jenis baru yang belum berkembang di Indonesia seperti asuransi panen, asuransi ternak, asuransi tambak dan sebagainya,” lanjut Budi.
Pemerintah sebelumnya telah menggulirkan program asuransi pertanian dengan menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi. Beberapa perusahaan pelat merah yang telah diajak bekerja sama antara lain Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dan Askrindo. Ada juga upaya dari pemerintah dan Bank Indonesia yang bekerja sama dengan empat perusahaan asuransi meluncurkan skema asuransi ternak sapi. Sementara itu, di pihak lain OJK telah merilis program pengembangan asuransi mikro bagi masyarakat berpenghasilan rendah.