Bank-bank yang sudah melewati usia 50 tahun tak lalu aman dari risiko kolaps dan bangkrut. Terus belajar dari perubahan yang ada adalah kunci yang harus selalu dimiliki oleh bank-bank tersebut.
Oleh : Egenius Soda
BERITA TERKAIT
Salah satu pepatah yang paling terkenal mengenai belajar adalah ’tuntutlah ilmu dari buaian ibu hingga liang lahat’. Pepatah Arab yang berasal dari kata-kata Muhammad, sang Nabi terakhir dalam Islam itu tepat sekali menggambarkan bahwa belajar adalah kegiatan seumur hidup.
Kalimat itu cocok juga jika kita kaitkan dengan bank-bank besar yang tetap bertahan meski sudah berusia lebih dari setengah abad. Apa pasal? Bank-bank yang sudah dianggap ”berumur”, seperti juga manusia tentu sudah banyak mengalami peristiwa-peristiwa penting yang bisa menjadikannya seperti sekarang. Dan satu hal yang pasti –baik manusia maupun bank– mereka belajar.
Situasi bisnis yang selalu berubah-ubah memang harus diimbangi oleh adaptasi yang tepat oleh bank dengan belajar melakukan penyesuaian. Dengan belajar itulah bank bisa bertahan bahkan terus bertumbuh.
Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Subarjo Joyosumarto mengatakan, ada faktor yang menentukan sebuah bank bisa bertahan atau tidak. Pertama adalah faktor perubahan (change/ C) dan kedua adalah faktor kemampuan belajar (learning/ L). ”Jika L sama dengan C maka bank tersebut bisa bertahan. Namun jika ingin tumbuh maka L harus lebih besar dari C. Akan tetapi jika L lebih rendah dari C maka bank tersebut tinggal menunggu saat kolapsnya saja,” jelas dia.
Menurut mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu, kemampuan belajar di setiap perubahan itulah yang membuat sebuah bank bisa terus hidup, bahkan terus tumbuh menjadi bank yang selalu diperhitungkan.
Bank-bank seperti Goldman Sachs, Merrill Lynch, dan Morgan Stanley di luar negeri atau BRI, BTN dan Bank NISP adalah contoh-contoh bank-bank berusia ”tua” namun tetap menunjukkan perannya di industri. Goldman Sachs berdiri 1869, Merryl Lynch sudah ada sejak 1914, Morgan Stanley muncul pertama kali tahun 1935. Ketiganya merupakan bank dengan usia di atas 50 tahun namun tetap eksis.
Sementara itu, di Indonesia BRI berdiri tahun 1895, BTN di tahun 1897 dan NISP muncul 1941. Ketiganya juga tidak bisa dibilang bank ”kemarin sore”, meski NISP belum berusia lewat seabad. ”Kenapa ada bank-bank besar yang terkenal misalnya seperti Merril Lynch di Amerika, atau BRI di Indonesia bisa berumur seratusan tahun? Karena bank-bank tersebut selalu learning,” tukas Subarjo.
Namun bagi dia, usia bukanlah faktor yang terpenting untuk menjamin sebuah bank bisa terus beroperasi dan menjadi bank yang terkemuka. Dan yang membedakan sebuah bank yang maju dengan yang tidak adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Singkatnya, faktor kemampuan belajar dari perubahan itulah yang membuat sebuah bank bisa bertahan dan bahkan terus tumbuh.
Goldman Sachs, Merrill Lynch, dan Morgan Stanley, meski berbeda nasib namun tetap dinilai sebagai bank yang selalu bisa menyesuaikan dengan keadaan. Pasca krisis 2008, saat bank-bank besar lainnya kolaps –seperti Lehman Brothers, Washington Mutual, RBS– ketiganya masih berdiri meski terpuruk.
Merril Lynch diakuisisi oleh Bank of America pada 2009. Sementara dua lainnya berubah menjadi bank komersial dari sebelumnya bank investasi. Dan apa yang dilakukan ketiganya bisa dianggap sebagai tindakan ’belajar dari perubahan’.
Namun demikian, di sisi yang lain ada pula bank yang sudah berumur 50 tahun, tetapi kinerjanya begitu-begitu saja alias tidak ada yang istimewa. ”Umur dalam pengertian di sini adalah yang selalu update dengan perkembangan,” tambah Subarjo.
Sebagai lembaga yang sangat bergantung pada kepercayaan (trust) dari masyarakat, bank –terutama yang sudah berusia lebih dari 50 tahun– tentu tidak mau ambil risiko terhadap faktor kepercayaan itu. Jika tidak, maka siap-siap saja menyusul bank-bank yang sebelumnya sudah almarhum.
Oleh karena itu tantangan bagi bank-bank yang sudah melewati usia emas itu dianggap lebih berat. Satu di antaranya yang menjadi tantangan ekstra adalah kemampuan mengelola risiko. ”Kemampuan bank dalam mengelola risiko akan menentukan panjang atau pendeknya usia bank tersebut,” kata pengamat bisnis perbankan dari Vibiz Consulting, Alfred Pakasi.
”Pengalaman krisis di 2008/2009 yang menghempaskan Lehman Brothers yang berusia 158 tahun bisa menjadi pelajaran. Demikian juga Washinton Mutual yang tidak lain bank komersial terbesar di Amerika ditutup pada 2009 dalam usia 120 tahun. Artinya bank harus dikelola dengan cukup pruden,” jelas dia lagi.
Kemampuan Adaptasi
Untuk menjadi bank yang selalu bisa belajar dari perubahan tentunya membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi. Sebagai industri padat modal, SDM di industri perbankan merupakan komponen penting dan dianggap sebagai salah satu modal krusial.
Oleh karena itu, menurut Subarjo dari LPPI, kemampuan pegawai bank harus terus dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya agar mampu membawa bank beradaptasi dengan perkembangan jaman.
Apalagi beberapa tahun ke depan, Indonesia akan masuk ke dalam persaingan bebas dalam masyarakat ekonomi ASEAN, di mana dalam salah satu unsurnya adalah free movement and skill.
Hal itu tentu menjadi tantangan bagi bank untuk mengembangkan sistem pembelajaran di bank, jangan sampai kualitas dan daya saing SDM Indonesia kalah dari negara lain di regional Asia Tenggara.
Menurut Subarjo, bank-bank di Malaysia dan Singapura sudah mempersiapkan dengan baik pegawai-pegawainya agar bisa dikirim ke negara lain, termasuk Indonesia. Dengan pasar yang sangat besar, Indonesia tentu akan menjadi incaran perbankan asing. ”Jadi yang perlu adalah membangun kompetensi agar mampu bersaing dengan orang-orang asing itu. Kemudian berusaha supaya pasar ini kita yang kuasai, jangan sampai jatuh ke tangan orang lain,”ungkap dia lagi.
Setali tiga uang seperti yang dijelaskan Toto Pranoto, Direktur Pelaksana Lembaga Management Fakultas Ekonomi UI. Mengutip pendapat Arie de Geus dalam bukunya ’The Living Company’, Toto menyebutkan empat hal utama agar sebuah perusahaan bisa bertahan yakni adaptasi terhadap perubahan yang ada, kohesivitas atau rasa memiliki terhadap perusahaan, pengelolaan keuangan yang konservatif atau pruden dan toleransi dalam artian menciptakan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan inovasi.
Yang tidak kalah penting bagi bank adalah permodalan. Bank dengan modal yang kuat akan lebih mudah melakukan berbagai perubahan dan inovasi guna memenuhi kebutuhan nasabah. Memang sulit rasanya bagi bank yang tidak memiliki kecukupan modal untuk bersaing dan tumbuh. ”Modal sangat penting karena kalau tidak memiliki equity yang cukup maka bank tersebut akan berkembang lamban,” kata Toto.
Akan tetapi, ujar dosen manajemen itu, semua itu kembali lagi kepada manajemen terutama bagaimana manajemen menjalankan operasional perbankan. Peran manajemen ini diantaranya dalam menumbuhkan kekuatan marketing yang efektif dengan berbagai terobosan atau inovasi.
Selain inovasi dan adaptasi, bank juga diingatkan untuk tidak meninggalkan nilai inti dan juga budaya perusahaan. Perkembangan yang terjadi dalam industri keuangan kerap menggoda bank untuk meninggalkan semangat dan cita-cita awalnya.
“Tentunya corporate culture tidak akan hidup selamanya, ia juga harus ikut menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Cuma nilai inti masih tetap bertahan,” tandas Rudjito, mantan Diretur Utama BRI. SP