Bank Indonesia tampaknya mulai menghitung mundur menuju penyesuaian suku bunga acuan. Dengan memperlebar koridor suku bung pasar uang, bank sentral sedang menyiapkan kondisi sebelum benar-benar menurunkan BI Rate.
Oleh : Syarif Fadilah
Jika bukan untuk menangkal situasi yang ada, sebuah kebijakan yang dikeluarkan bank sentral pastilah ditujukan untuk mengantisipasi kondisi yang akan datang, atau minimal demi melempangkan kebijakan selanjutnya.
Oleh karena itu saat Bank Indonesia memutuskan untuk memperlebar secara asimetris batas bawah koridor suku bunga operasi moneternya, banyak yang mengatakan bank sentral tengah bermain “easy money”.
Kebijakan pelebaran batas bawah suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) menjadi 150 basis poin (bps) dari sebelumnya 100 bps, juga bisa dimaknai sebagai cara otoritas untuk mempersiapkan kondisi sebelum penurunan BI Rate.
BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6,75 persen –tujuh bulan berturut-turut, namun mengumumkan pelebaran batas bawah suku bunga PUAB. Hal itu dilakukan dalam rangka mendorong kegiatan PUAB di tengah besarnya ekses likuiditas selama ini. “Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas perekonomian di tengah meningkatnya ketidakpastian sistem keuangan global yang dipicu masalah utang AS dan Eropa,” demikian kata BI dalam pernyataan resminya
Suku bunga pinjaman PUAB selama tiga bulan terakhir dinilai mulai bergerak turun. Selama tujuh bulan belakangan dengan BI Rate berada di posisi 6,75 persen maka batas bawah suku bunga PUAB adalah 5,75 persen, sementara batas atas adalah 7,75 persen. “Sekarang memang cenderung mulai ke batas bawah, ke 5,75 persen, maka kita lebarkan koridornya 150 bps, menjadi 5,25 persen. Sehingga tingkat bunga PUAB-nya bisa terdorong cukup rendah,” kata Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.
Sejak pertama kali suku bunga PUAB digunakan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter pada Juni 2008, baru kali ini bank sentral melebarkan suku bunga hanya pada batas bawahnya.
BI lazimnya selalu menjaga agar suku bunga PUAB overnight tidak terlalu melebar dari BI Rate sehingga dengan memperlebar koridor lantai bawahnya otoritas mengarahkan agar bunga yang dikenakan bank turun. Hal itu dikarenakan penetapan bunga tabungan atau kredit bank mengacu pada PUAB.
Bagi Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetyantono, langkah bank sentral itu merupakan sebuah kebijakan pelonggaran kepada bank-bank. Sektor perbankan juga keuangan saat ini dinilai tengah memiliki kelebihan likuiditas di saat kondisi ekonomi AS masih mengkhawatirkan.
“Dengan kata lain, bank diberi relaksasi sehingga likuiditas menjadi lebih banyak. Ini kebijakan ‘easy money’ atau memperlonggar likuiditas. Nantinya jika aman, maka BI rate akan diturunkan menjadi 6,5 persen,” kata Tony.
Otoritas perbankan bisa saja menurunkan suku bunga acuan mengingat situasi ekonomi dinilai sudah relatif terkendali dibandingkan awal tahun. Meski aliran likuiditas global terus memasuki saluran investasi portofolio namun tingkat inflasi masih bisa terkontrol.
Inflasi bulan Agustus memang nyaris menyentuh 1 persen, namun secara keseluruhan, inflasi tahun kalender selama Januari-Agustus 2011 baru mencapai 2,69 persen. Sedangkan, inflasi year on year mencapai 4,79 persen.
Meski demikian, BI tampaknya tidak mau mengambil risiko terlalu besar dengan menurunkan BI Rate pada September karena mengkhawatirkan penarikan dana asing secara tiba-tiba (sudden reversal) terkait situasi ekonomi dunia yang belum stabil.
Tetapi jika nanti AS melalui bank sentralnya kembali memberikan stimulus moneter melalui quantitative easing ketiga, maka BI dinilai akan segera memangkas bunga acuannya. “(Jika AS memberi stimulus) Maka BI perlu meresponsnya dengan penurunan BI rate menjadi 6,5 persen pada awal Oktober. Jadi, BI sekarang mau main aman dan wait and see dulu,” jelas Tony.
BI telah menahan BI Rate selama tujuh bulan (terakhir kali disesuaikan pada Februari) dan memberlakukan kebijakan pengetatan likuiditas dengan mewajibkan bank untuk menambah setoran wajib minimumnya (reserve requirement). Jadi pada saat kebijakan pelebaran batas bawah PUAB diberlakukan, maka likuditas akan kembali melonggar.
Namun, Wellian Wiranto, ekonom dari HSBC Singapura mengatakan bahwa kebijakan tersebut dilakukan BI untuk memberi ruang dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. “Meskipun pernyataan BI terdengar seperti bertujuan untuk menjaga inflasi namun secara keseluruhan kebijakan itu lebih untuk mendukung pertumbuhan,” kata dia.
Langkah bank sentral itu juga dinilai akan menjadi dukungan tersendiri pada obligasi pemerintah khususnya yang bertenor jangka pendek. Pelebaran koridor PUAB overnight dilakukan dengan menyesuaikan pinjaman dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI).
Batas atas dari FASBI adalah bunga untuk membayar dana pinjaman rupiah dari bank sentral sedangkan batas bawah FASBI adalah bunga atas simpanan rupiah bank di BI. Dengan menurunkan batas bawah FASBI, bank secara efektif mendapatkan bunga sebesar BI Rate dan 150 bps jika menyetorkan kelebihan likuiditas rupiah, dari sebelumnya BI Rate plus maksimal 100 bps.
FASBI adalah fasilitas yang diberikan BI kepada bank untuk menempatkan dananya di BI. Jangka waktu FASBI maksimum 7 hari dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. FASBI tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
Menurut Wellian, dengan perubahan itu, bank akan kurang mendapatkan kompensasi untuk meminjamkan dana di PUAB. Maka bank akan terinsentif untuk memindahkan kelebihan likuiditas dengan meminjamkan lebih banyak di pasar antar bank atau membeli obligasi pemerintah jangka pendek.
Riset HSBC mengatakan bahwa obligasi pemerintah dipilih karena ketahanan keuangan yang meningkat dalam menurunkan risiko serta kuatnya fundamental ekonomi Indonesia.
PANGKAS BUNGA
Dalam lima tahun terakhir, pemerintah dianggap bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif di tengah krisis global dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas anggarannya. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga akan mencapai 6,6 persen yang ditopang oleh ekspor, konsumsi dan investasi.
Namun keinginan tersebut bisa menemui batu sandungan di saat suku bunga perbankan belum juga mau tunduk terhadap arahan regulator. Di saat likuiditas mulai meningkat berbarengan dengan dana-dana asing yang masuk ke saluran keuangan nasional, suku bunga kredit justru meningkat.
Berlandaskan catatan BI, selama Agustus suku bunga perbankan meningkat. Bunga kredit investasi tercatat naik 17 basis poin (bps) ke level 12,28 persen, bunga kredit konsumtif naik 16 bps menjadi 14,48 dan bunga kredit modal merayap 9 bps menjadi 12,64 persen.
Melihat kondisi itu, penurunan batas bawah suku bunga PUAB jelas ditujukan agar suku bunga kredit bisa turun agar penyaluran kredit bisa didorong lebih kuat. Hingga Agustus pinjaman bank tumbuh sebesar 24,2 persen dengan nominal Rp2.037 triliun.
Meskipun pertumbuhan kredit sudah meningkat hingga dua kali lipat pertumbuhan ekonomi nominal (PDB plus inflasi), namun tampaknya bank sentral tetap ingin memastikan suku bunga bank terus turun. Hal itu untuk memberi peluang lebih besar meningkatkan kredit perbankan agar pertumbuhan bisa terpacu.
Untuk itu, bank sentral diperkirakan akan segera menurunkan suku bunga acuan. Langkah melebarkan koridor bunga PUAB –di samping tentu juga inflasi yang terjaga– dinilai sebagai cara bank sentral untuk meratakan jalan sebelum BI Rate benar-benar diturunkan. “Bila inflasi akhir tahun sesuai dengan perkiraan kami atau bahkan di bawah, ruang untuk menyesuaikan BI Rate terbuka,” ungkap Hartadi Agus Sarwono, Deputi Gubernur BI.
BI menetapkan pencapaian sasaran inflasi tahun ini yaitu 5 persen ± 1 persen dan tahun depan 4,5 persen ±1 persen.
Jika BI Rate dipangkas 0,25 persen pada rapat dewan gubernur bulan ini maka batas bawah PUAB menjadi 6,5 persen minus 1,5 persen alias 5,00 persen. Level tersebut diharapkan bisa menekan suku bunga simpanan bank yang berujung pada penurunan bunga kredit. SP