Bergantinya tahun selalu menjadi masa datangnya harap-harap cemas, khususnya bagi mereka yang berkecimpung di pasar modal. Tahun depan, para pelaku di pasar modal sudah bisa memprediksi akan adanya ketidakpastian yang akan makin kentara. Terpilihnya Donald J Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) yang baru menjadi isu utama yang bisa mempengaruhi perekonomian dunia di tahun 2017. Pun juga di Indonesia.
Meski begitu, kalangan pelaku pasar modal nasional rupanya masih berani berharap adanya dinamika positif yang bakal terjadi di tahun depan. Pasar diperkirakan bakal semarak lantaran terdorong oleh beberapa hal. “Satu hal yang pasti menjadi penggerak (pasar) di tahun 2017 tentu dari dana repatriasi. Ia perlahan bakal mengalir masuk (ke Indonesia) di triwulan I. Syaratnya, diversifikasi produk dalam dollar harus diperbanyak,” ujar Direktur PT Mandiri Manajemen Investasi, Muhammad Hanif, di Jakarta.
Hingga memasuki masa-masa akhir tahun 2016 ini, menurut Hanif, pihaknya telah banyak sekali melayani Program Amnesti Pajak yang goal-nya adalah memulangkan dana masyarakat Indonesia yang ditempatkan di luar negeri agar kembali masuk ke dalam negeri. Hal itu seiring dengan dipercayanya PT Mandiri Manajemen Investasi oleh pemerintah sebagai salah satu manajemen investasi (MI) yang berperan sebagai pintu masuk (gateway) dalam Program Amnesti Pajak.
Dari sekian banyak investor yang dilayani PT Mandiri Manajemen Investasi, beberapa di antaranya cukup meminati jenis produk berbentuk Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT). “Salah satunya (yang diminati investor) ya RDPT. Tapi intinya sih produk-produk dalam valas harus diperbanyak. Karena itu kami sekarang gencar mendorong agar perusahaan mau menerbitkan instrumen dalam valas,” tutur Hanif.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperkirakan bahwa bakal ada gelombang besar dana dari Program Amnesti Pajak yang bakal mengguyur pasar modal nasional. Hal itu bakal terjadi meski belum ada rekening dana nasabah (RDN) yang khusus bagi dana repatriasi.
Pada Maret 2017 mendatang, total dana repatriasi yang bakal masuk diperkirakan mencapai Rp100 triliun. Sedangkan melalui instrument obligasi, government bonds (Surat UtangNegara/SUN) hingga surat utang korporasi yang bakal merembes masuk diyakini bakal mencapai Rp300 triliun. “Jadi dengan melihat tren yang ada paling tidak ada sekitar Rp400 triliun yang akan masuk (ke pasar modal Indonesia) dalam dua tahun ke depan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Nurhaida.
Tak hanya di industri pasar modal, Nurhaida meyakini aliran dana repatriasi yang masuk ke Indonesia bakal juga sama derasnya ke industri perbankan dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Karena itu, senada dengan yang disampaikan Hanif, Nurhaida menyebut banyak dan beragamnya jenis produk investasi sangat diperlukan guna dapat menampung kencangnya aliran dana tersebut.
Jika syarat ketersediaan produk penampung tersebut terpenuhi, maka dampak lanjutan yang bakal terjadi menurut Nurhaida adalah terdongkraknya harga saham-saham yang diperdagangkan di lantai bursa Indonesia. Dengan begitu, maka posisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan sendirinya juga bakal melejit ke zona hijau. “Jadi tantangannya tinggal seberapa mampu portofolio saham yang ada menampung (aliran dana masuk). Dan tentu dengan banyaknya permintaan, maka harga (saham) akan naik di luar harga wajar,” tutur Nurhaida.
Penny Stock
Guna memperbesar daya tampung pasar modal nasional terhadap aliran dana repatriasi, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku operator perdagangan pun menempuh beragam cara. Salah satunya adalah dengan bakal direalisasikannya perdagangan untuk saham-saham dengan nominal kecil atau lebih dikenal dengan istilah penny stock. Selama ini, otoritas telah mengatur bahwa saham-saham liliput dengan harga di bawah Rp50 per saham tidak dapat diperdagangkan di pasar reguler dan hanya diperdagangkan di pasar negosiasi.
Barrier inilah yang bakal dibuka demi menyemarakkan aktivitas perdagangan di trading floor. “Jadi selama perusahaannya masih eksis,bisnisnya masih jalan, akan tetap ada nilainya meski hanya Rp1 per saham,” ujar Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Hamdi Hassyarbini.
Sejauh ini, menurut Hamdi, niatan memperdagangkan saham-saham murah tersebut masih terus dibahas dan dimatangkan di internal BEI. Jika kajian sudah dianggap cukup lengkap dan mendetil hingga ke level teknis, maka usulan tersebut bakal diajukan pada OJK selaku regulator tertinggi industri jasa keuangan nasional. Usulan tersebut bakal diajukan bersama dengan niatan perubahan pengaturan jumlah satuan perdagangan (lot), fraksi harga dan juga biaya administrasi perdagangan.
Dengan begitu, penerapan transaksi saham berharga di bawah Rp50 per saham dapat benar-benar berjalan secara efisien dan sesuai harapan. “Dari seluruh proses itu, kami targetkan penny stock bisa benar-benar dijalankan pada semester pertama tahun depan,” ungkap Hamdi. Dengan juga diperdagangkannya saham-saham murah di pasar reguler, diharapkan ke depan pasar saham bakal semakin likuid dan prospektif.
Dana Pensiun
Tak hanya untuk menampung dana repatriasi, upaya mendongkrak aktifitas transaksi di pasar saham juga dilakukan BEI guna menyambut kebijakan baru investasi di industri dana pensiun (Dapen) untuk portofolio saham. Jika sebelumnya kebijakan industri Dapen hanya membolehkan penempatan dana di saham maksimal sebesar 13 persen, melalui kebijakan baru batasan itu dinaikkan menjadi hingga 30 persen.
Dengan demikian, permintaan pasar atas ketersediaan saham-saham institusi diyakini bakal melonjak signifikan. “Dalam hitungan kami, demam terhadap saham institusi di tahun depan bakal meroket hingga mencapai Rp212 triliun dengan penopangnya diantaranya dari industri Dapen,” ujar Direktur Utama BEI, Tito Sulistio.
Tak hanya mendongkrak transaksi saham secara langsung, kebijakan baru batasan penempatan dana Dapen tersebut juga diyakini bakal berpengaruh pada portofolio reksadana saham. Dengan proyeksi yang sedemikian positif yang terjadi di pasar saham, BEI pun tak ragu memasang target perolehan Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO) di sepanjang tahun 2017 mendatang sebanyak 35 emiten baru.
Tak lupa, Tito juga berharap agar pemerintah dapat mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk turut mencatatkan sahamnya di BEI. Tito pun mengingatkan agar perusahaan-perusahaan milik negara itu jangan sampai ketinggalan dalam memanfaatkan kencangnya aliran dana di pasar modal pada tahun depan. “Presiden Joko Widodo sendiri telah menyatakan bahwa ada kebutuhan dana sampai Rp4.900 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Sedangkan pemerintah hanya sanggup menyediakan Rp1.500 triliun. Jadi pendanaan dari pasar modal memang wajib dimaksimalkan,” tutur Tito.
Langkah mendorong BUMN untuk segera melakukan IPO, lanjut Tito, merupakan solusi yang saling menguntungkan baik bagi pemerintah maupun pengembangan industri pasar modal nasional sendiri. Di satu pihak, pemerintah bakal mendapatkan opsi pendanaan jangka panjang dari masyarakat yang dilibatkan dalam kepemilikan saham BUMN.
Di lain pihak, masuknya BUMN ke pasar modal juga akan semakin meningkatkan kualitas industri pasar modal nasional secara keseluruhan. Simbiosis mutualisme tersebut sudah terbukti pada momen listingnya BUMN-BUMN yang selama ini telah berstatus Terbuka (Tbk). “Kita bisa melihat pada 21 BUMN yang sudah go public. Dividennya naik sampai enam kali sejak IPO. Pendapatan juga naik. Kualitas perusahaan juga membaik karena ada saham publik. Jadi harusnya pemerintah tidak perlu ragu-ragu lagi,” papar Tito.
Dengan sekian banyak proyeksi dan analisis positif yang ada tersebut, Tito pun merasa sangat yakin bahwa kinerja industri pasar modal nasional di tahun 2017 mendatang bakal sangat semarak baik dari sisi permintaan pasar (demand) maupun dari banyaknya ketersediaan (supply) produk investasi yang bisa dipilih.