BERITA TERKAIT
Judul ini harusnya lebih tepat “Inflasi” Pahala dari pada Dosa. Lo kok? Iya, begitu. Bukankah di bulan Ramadhan pahala “diobral”. Bayangkan, mestinya sirkulasi pahala di masyarakat begitu melimpah, saking murahnya. Karena untuk tiap alif, tiap lam, tiap mim, yang dibaca dari ayat suci, yang pada hari biasa cuma dihargai satu, di bulan ini dilipatgandakan jadi 10 kali lipat.
Lantas, kenapa memaksakan dengan judul “inflasi” dosa? Saya sendiri semula juga ragu, apa betul begitu. Di tengah-tengah gemuruh murahnya ampunan dan pahala, kok sempet-sempetnya penguasa sibuk ngurusi kaset ngaji yang katanya bikin sakit telinga. Bukankah mendengar dan membacanya sama-sama berpahala? Ya, kalau buat yang muslim bilang begitu, bagaimana kalau ada tetangga non Muslim yang sakit? Di mana letak penghormatan kepada minoritas?
Saya bisa memahami logika itu. Tetapi dalam hati saya tetap tergelitik, apa betul mereka terganggu? Mungkin ini pertanyaan bodoh. Tapi, ya saya ungkapkan ini karena tetangga saya hanya berjarak satu rumah dari masjid adalah keturunan Tionghoa. Sudah bertahun-tahun di situ, sepertinya tidak pernah berencana pindah. Apa tidak kebisingan? Tidak sakit telinga? Sepertinya tidak. Kenapa? Meskipun tidak secara langsung mendengar dari dirinya sendiri, ia pernah mengatakan, kaset subuh yang disetel di masjid justru membawa berkah.
Ia bisa segera mengawali kegiatan bisnisnya, ketika yang lain masih terlelap. Tidak cuma itu, tiap kali masjid bikin panitia zakat, dia datang duluan “menzakatkan” satu karung beras. Dia tahu zakat bukan kewajibannya. Tapi dia nitip agar berasnya bisa didistribusikan kepada mereka yang berhak menerima.
Sekali dalam seminggu, rumahnya penuh dengan kerabat. Mereka juga menyenandungkan macam lagu-lagu pujian dalam bahasa Hokian. Meskipun tidak pakai loudspeaker, suaranya terdengar jelas saat menuju masjid. Tidak ada satupun dari pengurus masjid atau tetangga yang komplen atau menganggap itu sebagai “kebisingan”. Jadi, saya merasa sangat takjub bin heran, ketika Pemerintah dengan antusias mengurusi bisingnya kaset ngaji ini dengan membuat Tim Pemantau. Sementara, hal-hal yang jauh lebih signifikan, yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan menjadi tugas utama Pemerintah, rasarasanya jauh lebih banyak.
Tengoklah, menjelang lebaran, harga-harga berebut naik. Ini bukan barang baru, memang. Tapi kali ini lain. This time is different, begitu kalau meminjam istilah duo professor Reinhart dan Roggof, penulis buku tentang krisis keuangan. Apanya yang beda? Lihatlah, harga-harga kebutuhan pokok naik, BBM naik, semua tarif listrik, gas, tol, dan komunikasi naik. Sementara daya beli masyarakat terkapar untuk tidak mengatakan pingsan. Kurs rupiah terus tergerus hingga pabrik-pabrik yang bahan baku utamanya dari impor, mulai goyang.
Satu per satu industri mulai merumahkan tenaga kerja. Industri tekstil, seperti produsen sarung yang biasanya sangat bergairah menjelang Ramadhan, pun ikut kelimpungan. Begitupun dengan beberapa industri lainnya seperti alas kaki, perusahaan pertambangan, jasa minyak dan gas, perusahaan semen serta otomotif (Kompas.com, 21 Mei 2015). Menurut data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) sejak Januari 2015, sebanyak 11.000 buruh sepatu sudah di-PHK. Sektor pertambangan dan mineral lebih buruk. Menurut Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) jumlah pekerja di sektor tambang ini tinggal separuh dari sekitar 1 juta orang yang semula berkerja. Sementara di sektor ritel dihantui kecemasan yang sama.
Bila perkembangan ekonomi terus merosot dan daya beli masyarakat terus menurun, menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) tidak menutup kemungkinan gelombang perumahan karyawan juga turut melumat mereka.
Bersamaan dengan himpitan ekonomi yang meninggi yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai, gelombang kriminalitas pun ikut terkerek. Yang memprihatinkan, penjahat semakin tega dalam menjarah harta korban. Seperti yang baru-baru ini dialami sahabat saya, yang jatuh karena benang kenur yang “sengaja” dipasang di jalanan untuk menjarah harta dan motor korban. Meskipun selamat, tak urung lehernya mengalami luka memar serius akibat tersangkut benang. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, selama Mei 2015 Kepolisian mencatat terjadinya 1.447 kasus kejahatan (pencurian dengan pemberatan 253 kasus, pencurian dengan kekerasan 19 kasus, perampasan 27 kasus, perampokan empat kasus, pembajakan satu kasus, pencurian kendaraan sepeda motor 154 kasus, mobil 56 kasus, pembunuhan delapan kasus, penganiayaan berat 146 kasus, pemerasan 38 kasus, pemerkosaan enam kasus, dan narkotika 547 kasus).
Maraknya kriminalitas, tidak serta merta bisa dituding disebabkan pengangguran. Namun, tak bisa ditepis, kondisi ekonomi yang sulit ditambah banyaknya mereka yang kehilangan pekerjaan menambah subur terjadinya kriminalitas. Inilah yang saya maksud dengan terjadinya “Inflasi” dosa. Di saat Ramadhan di mana seseorang diharapkan dalam kondisi paling aman dan menjaga dari perbuatan tercela, nyatanya malah kehilangan kendali.“Hmm.. ngeri gan yang tadinya jujur jadi mulai bohong, yang tadinya bukan maling, jadi maling.. ane udah ngalamin pegawai ane nyolong tv ane.. mau buka toko maleman takut malah di rampok.. ketinggalan barang bukan di kembaliin malah diambil.” Keluhan seorang netter di jejaring Kaskus ini barangkali cukup mewakiliapa yang dirasakan masyarakat.
Kaset ngaji mungkin ada yang bikin bising, tapi rasanya cukup jajaran RT atau RW yang menangani. Kalau mau jujur, sumber “kebisingan” nomor wahid saat ini adalah masalah perut masyarakat yang kedodoran ditangani Pemerintah. Ini hemat saya yang jauh lebih diprioritaskan. Jangan ada kesan publik, yang remeh diurus Pemerintah, yang penting diabaikan. Mari bersama menjaga agar tidak terjadi inflasi dosa. Selamat menjalankan ibadah puasa.