JAKARTA, Stabiltas.id — Menjadi salah satu dari delapan orang terdakwa dalam perkara tindak pidana perbankan dengan dakwaan tunggal berdasarkan Surat Dakwaan Pasal 49 Ayat 2b juncto 55 KUHP ayat pasal 64 ayat 1 KUHP, Ardi Sedaka, mantan Client Relationship Head Bank Permata, melaui kuasa hukumnya merasa keberatan. Apalagi sejak Juni 2020 dirinya bersama delapan orang sejawatnya berada dalam tahanan Rutan Bareskrim Mabes Polri.
“Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat ini sedang menggelar sidang perkara tindak pidana perbankan dimaksud namun ternyata terdapat banyak kejanggalan pada berkas perkara penyidikan yang terungkap di persidangan dan cacat formil dari Surat Dakwaan,” ungkap Didit Wijayanto Wijaya, Tim Kuasa Hukum Ardi Sedaka dalam konferensi pers di Rumah Makan Sederhana, Ampera Raya, Selasa (22/7/2020).
Dia mengungkapkan beberapa kejanggalan tersebut. Pertama adalah kejanggalan Berkas Perkara Penyidikan. Disebutkan bahwa Saksi Pelapor yakni AKP Karta adalah penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) dengan membuat Laporan Model A, yang artinya laporan tersebut dibuat berdasarkan temuan dari anggota Polri sendiri.
Didit menjelaskan, Laporan Model A tersebut ternyata hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) dengan plafon kredit senilai Rp1,6 triliun dan menyisahkan outstanding kredit sebesar kurang lebih Rp750 miliar.
Namun, lanjut Didit, dalam laporan tersebut tidak tercantumkan siapa Terlapor, dan pasal yang dilaporkan adalah Pasal 49 Ayat 1 dan 2 UU Perbankan, serta Pasal 3,4 dan 5 UU Pencucian Uang, serta hanya berdasarkan asumsi atau indikasi terjadinya tindak pidana.
“Padahal Pasal 49 Ayat 1 (a/b/c) dan Ayat 2b merupakan delik formil atau hanya merupakan suatu perbuatan dari pejabat bank saja yang tidak ada dan tidak mungkin dilakukan pencucian uang, yang menunjukkan sudah sangat jelas laporan yang dibuat adalah dipaksakan, rekayasa, dan sangat tidak masuk akal,” tegasnya.
Dia menambahkan, AKP Karta selain jadi Saksi Pelapor ternyata juga menjadi Penyidik perkara pidana ini. Mengutip Ahli Arbijoto hal itu adalah “abuse of power” dalam persidangan perkara pidana yang berbeda beberapa tahun silam. Bahkan dalam perkara pidana lainnya, Mahkamah Agung membebaskan terdakwa karena saksi yang ada hanyalah saksi penangkap dari kepolisian. “Karena saksi penangkap juga merupakan bagian dari penyidik yang mempunyai benturan kepentingan dan tidak memiliki kualitas sebagai saksi sesuai Hukum Acara Pidana,” jelas Digit.
Selain itu, mengutip hasil persidangan sebelumnya, saksi Adief Razali dari OJK menerangkan bahwa indikasi yang terjadi berdasarkan hasil pemeriksaan tahunan terhadap Bank Permata atas rekening debitur MJPL ini hanya ditemukan indikasi double financing di bank BCA. “Kita peroleh kabar juga di Bank Mandiri, namun pada kedua bank tersebut tidak menjadi permasalahan hukum, muggkin direstrukturisasi. Tetapi mengapa di Permata jadi masalah?”
Didit pun menyayangkan perlakuan berbeda dengan yang terjadi di Bank Permata, dimana para mantan karyawannya menjadi pesakitan, tanpa ada rekomendasi dan atau audit investigatif yang dilakukan oleh OJK terhadap Bank Permata khususnya atas rekening debitur MJPL.
“Harusnya sesuai Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan itu terlebih dahulu diberi Surat Pembinaan, Surat Teguran, dan apabila bank tidak menetapkan langkah-langkah perbaikan maka OJK melakukan pemeriksaan terlebih dahulu yang terhadap Bank Permata untuk menentukan siapa pejabat bank yang melakukan pelanggaran tindak pidana Pasal 49 Ayat 2b tersebut,” tukas Didit.
Didit mengaku heran ketika ada pihak ketiga malah yang membuat membuat laporan atas dugaan pelanggaran Pasal 49 Ayat 2b, bukan OJK atau pihak Bank Permata sendiri. “Berdasarkan apa atau tahu darimana ada pejabat Bank Permata melakukan pelanggaran Pasal 49 A2b UU Perbankan tersebut?”
Fakta Persidangan
Sementara itu, dalam fakta persindangan, sebanyak 14 saksi yang dihadirkan ternyata menyatakan tidak mengetaui perbuatan pidana apa yang dilakukan oleh Ardi Sedaka sehubungan dengan dakwaan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, selain hanya mengetahui adanya pemalsuan yang dilakukan oleh MJPL ketika melakukan pembobolan Bank Permata.
Sementara, Ardi Sedaka didakwa melakukan pelanggaran kebijakan atau aturan internal Bank Permata berupa trade checking dan juga karena tidak adanya Surat Permohonan Kredit yang diajukan oleh debitur. “Padahal ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal Bank Permata berdasarkan SK Direksi Bank Permata yang bisa kapan pun diganti secara internal, dan bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud,” jelas Vidi Galenso Syarief, anggota Tim Kuas Hukum Ardi Sadeka di kesempatan yang sama.
Untuk diketahui, ketentuan mengenai trade checking tersebut tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan OJK manapun.
Di sisi lain, Jaksa penuntut umum di dalam Surat Dakwaannya mencantumkan peraturan Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum (Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tahun 1995), yang ternyata telah digantikan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum.
“Jadi dalam hal ini, apakah bisa mendakwa orang di persidangan peradilan pidana dengan peraturan yang telah daluarsa dan atau diterbitkan peraturan penggantinya,” tanya Vidi.