Ibarat buah simalakama, dimakan atau tidak, tetap ada ekses negatif bagi pelakunya. Itulah yang tengah dihadapi Indonesia ketika otoritas moneter negeri ini memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 7,25 persen pada Septemberlalu.
Pilihan menaikkan BI Rate terpaksa dilakukan BI. Kondisi perlambatan ekonomi dunia dan ketidakpastian keuangan global mulai terasa menyesakkan nafas. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan melemah.
“BI merevisi ke bawah perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 menjadi 5,5 – 5,9 persen, dari semula 5,8 – 6,2 persen,” ungkap Juru Bicara BI Difi Johansyah dalam siaran persnya.
BERITA TERKAIT
Sementara Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menganalogikan kebijakan tersebut sebagai menelan pil pahit agar badan kembali sehat.
“Sekarang kita minum pil pahit dulu agar badan kita menjadi sehat pada tahun 2014, yaitu perekonomian menjadi stabil,” kata Mirza.
Namanya ‘pil pahit’ tentu saja rasanya tidak manis seperti sirup. Meski dipercaya akan berkhasiat mengobati ekonomi nasional dalam jangka panjang, efek rasa pahit dari kenaikan BI Rate lebih cepat dirasakan. Industri pasar modal adalah salah satu yang ikut menerima getahnya.
Sebelum imbas gonjang-ganjing keuangan global menekan perekonomian nasional, Bursa Efek Indonesia (BEI) masih terlihat begitu perkasa. Bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI mampu mencetak rekor tertinggi dalam sejarah. Pada 20 Mei 2013, IHSGtercatat berada di level 5.200.
Melesatnya IHSG BEI tidak lepas dari kondisi perekonomian yang kala itunampak menjanjikan. Dengan catatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23 persen selama 2012, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan terbaik kedua setelah China yang tumbuh 7,8persen.
Namun, meski lebih kecil, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik dari China. Pasalnya, ekonomi Negeri Tirai Bambu ini tumbuh 9,3 persen pada 2011. Namun angka itu melemah atau lebih rendah 1,5 persen dari tahun sebelumnya. Dengan kata lain, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan pada kisaran yang sama, saat ekonomi negara lain rontok.
Sayangnya prestasi emas itu sepertinya sulit terulang pada tahun ini. Pemburukan ekonomi global pun ditunding sebagai penyebab. Bank Dunia memang telah memangkas proyeksi ekonomi global menjadi 2,2 persen tahun ini dari perkiraan awal 2,4 persen. Artinya, pertumbuhan tahun ini bakal lebih rendah dari tahun lalu yang sebesar 2,3 persen.
Imbas proyeksi perlambatan ekonomi global langsung berdampak pada bursa dunia, termasuk Indonesia. Pasca membukukan rekor tertinggi, IHSG BEI mulai meluncur turun. Pada bulan Juni, IHSG terpangkas sangat dalam menjadi 4.600-an. Sebulan kemudian, IHSG makin merosot, tinggal 4.400-an. Belakangan IHSG membaik dan berada di level 4.500-an yang terus bertahan hingga saat ini.
Sentimen Pasar
Kondisi bearish yang terjadi di pasar saham tersebut jelas membuat investor khawatir. Namun otoritas bursa menghimbau investor agar tidak panik menghadapi pelemahan bursa. Sebaliknya, BEI menyarankan investor lebih bijak dalam berinvestasi. Artinya, tidak mengambil keputusan jual secara tergesa-gesa, tanpa pertimbangan matang.
Berinvestasi di pasar saham memang idealnya dilakukan dengan horizon jangka panjang. Dengan demikian, investor seharusnya tidak risau dengan fluktuasi pasar dalam jangka pendek. Apalagi pelemahan pasar saham yang terjadi saat ini dinilai bukan karena faktor fundamental pasar. “Dari sisi indeks, penurunan yang terjadi sejak akhir Mei lebih disebabkan karena faktor sentimen bukan faktor fundamental,” ujar Direktur Utama BEI Ito Warsito.
Secara teoritis, gerak naik atau turun harga saham merupakan fenomena lazim yang terjadi di bursa efek. Umumnya ada dua faktor yang membuat harga saham berfluktuatif. Pertama, faktor fundamental yang terkait dengan kinerja emiten. Kedua, faktor sentimen yang lebih disebabkan oleh kondisi eksternal.
Nah, menurut Ito, dari sisi fundamental, kinerja emiten di BEI justru mengalami peningkatan. “Faktanya laba bersih emiten kuartal pertama 2013 tumbuh sebesar 20 persen dibanding periode yang sama tahun 2012,” papar Ito yang telah menjabat Dirut BEI selama dua periode ini.
Lebih lanjut, Ito menilai, alih-alih karena sentimen dari luar, sebenarnya yang lebih berdampak terhadap bearish pasar saham nasional adalah sentimen dari dalam negeri. Sentimen tersebut, antara lain, pelambatan pertumbuhan ekonomi 2013, berita defisit neraca perdagangan Indonesia, dan kenaikan harga BBM yang ditakutkan membuat defisit APBN makin lebar.
Namun karena sentimen tersebut lebih dominan dari dalam negeri, terutama terkait makro ekonomi Indonesia, Ito yakin pemerintah bisa mengatasinya dengan baik. Salah satu langkah antisipasi yang baik adalah menjaga stabilitas makro, terutama lonjakan inflasi, sebagaimana dilakukan BI dengan menaikan BI Rate ke level 7,5 persen.
Hanya saja langkah BI mengerek level suku bunga acuan (BI Rate) sebanyak dua kali sepanjang Juli – September dinilai akan berdampak negatif terhadap pasar modal Indonesia. Setidaknya dalam jangka pendek. “Secara implisit kenaikan BI Rate tersebut mencerminkan kepanikan dari BI menghadapi tekanan Rupiah dan derasnya penurunan cadangan devisa,” ujar Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang.
Selain itu, kenaikan BI Rate juga akan berdampak negatif terhadap saham-saham sektor tertentu, khususnya perbankan. Pasalnya, kenaikan BI Rate akan memaksa bank menaikkan suku bunga kreditnya. Padahal tanpa kenaikan suku bunga kredit saja relatif sulit bagi bank untuk berekspansi di tengah kondisi ekonomi yang sedang menurun. Jadi logis bila kenaikan BI Rate bakal menurunkan minat investor pada saham perbankan.
“Dampak negatif ke pasar saham, kenaikan BI rate akan membuat persepsi pelaku pasar ke saham-saham sektor perbankan akan berkurang secara signifikan,” jelas Kepala Riset Trust Secuities Reza Priyambada.
Prospek Pasar
Meski perlambatan ekonomi nasional, juga kenaikan BI Rate, memberi tekanan negatif tehadap pasar saham, namun dampak ini diyakini hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, BEI pun yakin pergerakan pasar akan kembali normal dalam tempo tidakterlalu lama.
“Sepanjang pemerintah bisa memperbaiki faktor-faktor domestik itu maka bursa saham Indonesia akan tetap menjanjikan,” ujar Direktur BEI Ito Warsito.
Apalagi sejauh ini BEI melihat, aktivitas transaksi di pasar saham masih berjalan baik. Likuiditas pasar hingga akhir Juni (year to date) masih relatif baik dengan rata-rata nilai transaksi harian mencapai Rp6,9 triliun. Angka ini lebih tinggi dari target yang dipatok BEI dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2013 yang sebesar Rp5,5 triliun.
“Artinya dari sisi aktivitas perdagangan, dari awal tahun sangat positif dan menjanjikan,” kata Ito yang pernah menjabat sebagai eksekutif di Danareksa dan Bahana Sekuritas ini.
Pernyataan senada juga dilontarkan Direktur Pengembangan BEI Friderica Widyasari Dewi. Menurut Kiky, demikian eksekutif wanita ini biasa disapa, pelemahan ekonomi pasti akan berdampak pada IHSG. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan pasar saham dari tahun ke tahun, tercatat ada pertumbuhan sekitar 3 persen.
“Peningkatan juga terlihat dari kapitalisasi pasar mencapai Rp 4,3 triliun naik dibanding tahun lalu. Nilai harian di bursa domestik, rata-rata Rp 6,6 triliun per hari, naik cukup pesat dibanding tahun lalu sekitar Rp 4,5 triliun per hari,” urai Kiky panjang lebar.
Prospek pasar yang cukup baik itu juga tercermin dari maraknya perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) maupun right issue. Hingga tanggal 11 Juli 2013 lalu, jumlah emiten baru yang listing tahun ini mencapai 24 emiten. Sedangkan 21 emiten mengagendakan untuk right issue. Secara total, hingga Juni 2013, peningkatan IPO saham telah mencapai Rp10,10 triliun dan Rp20,71 triliun untuk right issue.
Prospek positif pasar saham nasional juga terlihat dari kinerja reksadana yang terus tumbuh. Hingga semester pertama 2013, Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana naik sebesar 14,36 persen dari Rp187,59 triliun akhir semester lalu menjadi Rp201,64 triliun. Peningkatan kinerja reksadana ini nampaknya tidak lepas dari kepercayaan pasar bahwa dalam jangka panjang, kepemilikan saham sebagai aset investasi masih menguntungkan.
Berdasarkan jenisnya, proporsi jenis reksadana selama semester pertama 2013 masih didominasi Reksadana Saham dengan pangsa 42,16 persen, dan diikuti oleh Reksadana Terproteksi (18,48 persen), Reksadana Pendapatan Tetap (15,46 persen), Reksadana Campuran (12,24 persen), dan Reksadana Pasar Uang (6,02 persen).
Kinerja positif bursa efek juga dapat dilihat dari produktivitas pasar modal sebagai sumber pembiayaan dalam mendukung perekonomian nasional. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kepemilikan efek di pasar modal sampai dengan akhir semester pertama tahun 2013 telah mencapai Rp3.126 triliun, meningkat dibandingkan akhir semester dua tahun 2012 yang sebesar Rp2.742 triliun.