Laporan-laporan lembaga
internasional mencatat
pertumbuhan perbankan
syariah global termasuk
Indonesia tengah
menampilkan prestasi gemilang.
Berdasarkan riset sebuah lembaga
internasional, aset keuangan global
diperkirakan mencapai 208 triliun dollar
AS. Dari jumlah itu aset keuangan syariah
dunia menjadi 1,3 triliun dollar AS.
Khusus untuk Indonesia, total aset
keuangan syariah telah mencapai Rp214
triliun atau sekitar 23,8 miliar dollar
AS. Sebesar 69,5 persen dari jumlah itu
dikontribusikan perbankan syariah, dan
sebesar 18,7 persen dari obligasi syariah
atau sukuk.
Dengan kemampuan mengumpulkan
aset sebanyak itu, Islamic Finance Country
Index, menempatkan Indonesia masuk
ke dalam negara terbesar kelima dalam
industri keuangan syariah (lihat grafik).
Indonesia berada di urutan keempat,
setelah Iran, Malaysia dan Arab Saudi.
Indonesia berada di atas Bahrain dan
Inggris. Bahkan berdasarkan proyeksi
Islamic Financial Intelligence Summit yang
diselenggarakan di Malaysia pada 2011,
sekitar sepuluh tahun lagi tepatnya pada
2023. Indonesia akan menempati posisi
pertama.
Aset yang dimiliki Indonesia pada
tahun itu diperkirakan mencapai 1,6
triliun dollar AS. Sedangkan aset industri
keuangan syariah dunia diprediksi
mencapai 8,6 triliun dolar AS. Industri
keuangan syariah Indonesia digadanggadang
akan mengalahkan Iran dan negaranegara
Timur Tengah.
BERITA TERKAIT
Setelah Indonesia akan ada Mesir
dengan aset industri keuangan syariah
pada 2023 mencapai 624 miliar dolar AS,
disusul Turki dengan aset 581 miliar dolar
AS. Iran yang saat ini masih bertengger di
posisi puncak, 11 tahun lagi akan memiliki
aset industri keuangan syariahnya sebesar
581 miliar dollar AS. Kemudian disusul
Sudan dengan aset 204 miliar dolar AS,
dan Arab Saudi sebesar 198 miliar dolar
AS. Negara yang akan tertinggal dari
Indonesia adalah Inggris, Yaman, Suriah,
dan Uni Emirat Arab (UEA).
Pada 2023 Inggris hanya memiliki aset
sebesar 190 miliar dolar AS. Lalu disusul
Yaman (187 miliar dolar AS), Suriah (163
miliar dolar AS) dan UEA (94 miliar dolar
AS). Malaysia yang saat ini memiliki aset
industri keuangan syariah terbesar nomor
tiga akan jauh tertinggal dari Indonesia.
Menurut Halim Alamsyah, Deputi
Gubernur Bank Indonesia, ada beberapa
indikator yang membuat industri
keuangan syariah Indonesia berkembang.
Di antaranya, karena Indonesia sudah
mempunyai kerangka kerja industri
keuangan syariah, Indonesia sudah
memiliki Dewan Syariah Nasional (DSN)
dan masing-masing perbankan syariah atau
lembaga keuangan syariah memiliki dewan
pengawas syariah. “Hal ini membuat
keseragaman pengaturan dari tingkat
nasional sampai tingkat paling bawah. Di
negara lain hanya ada dewan pengawas
syariah,” kata Halim.
Selain itu, Indonesia memiliki jumlah
bank syariah yang cukup banyak yaitu
11 bank umum syariah, 24 unit syariah
di bank konvensional dan 153 bank
perkreditan rakyat syariah (BPRS).
Indonesia juga punya pengaturan industri
keuangan syariah berstandar internasional.
Dan yang paling penting adalah populasi
penduduk muslim terbesar di dunia.
Satu hal lagi yang patut disyukuri, ujar Halim, pertumbuhan industri
keuangan syariah di Indonesia lebih
mengakar. Ini perbedaan mendasar dengan
perkembangan di Malaysia atau di Inggris.
Meski begitu, perkembangan industri
syariah saat ini masih di bawah bayangbayang
negara jiran. Selain karena titik
awalnya lebih dulu, pemerintah Malaysia
memberikan dukungan total kepada
industri keuangan syariah di sana. Bahkan
semua dana-dana pemerintah wajib
dikelola oleh perbankan syariah. Demikian
pula dari sisi regulasi, Malaysia bahkan
sudah memiliki kerangka regulasi sebelum
bank syariah dilahirkan. Sedangkan
Indonesia baru memiliki Undang-undang
No.21 tentang Perbankan Syariah pada
2008. Kemudian disusul penghapusan
pajak ganda (double tax) melalui Undangundang
No.42 tahun 2009 tentang
Amandemen UU PPN yang efektif berlaku
mulai 1 April 2010.
Itulah yang kemudian membuat
transaksi dan pembiayaan syariah di
Malaysia lebih komplet dibanding
Indonesia. Perbankan syariah di Indonesia
lebih banyak menawarkan jasa pembiayaan
berbasis trading seperti murobahah,
mudharabah, dan salam. Sementara di
Malaysia, perbankan syariahnya sudah
banyak yang ‘bermain’ pada instrumen
pasar uang dan derivatif. Misalnya dengan
adopsi akad-akad bai’ al inah yang secara
fiqih tidak boleh dilakukan di Indonesia.
Faktor-faktor itulah yang membuat
investor kakap dari Timur Tengah lebih
senang memarkirkan dana segarnya di
Malaysia ketimbang di Indonesia.
Pengamat ekonomi syariah Adiwarman
Azwar Karim, mengatakan kondisi itu
akan segera berbalik dan mendongkrak
industri syariah Indonesia ke puncak dunia
dan menjadikiblat ekonomi syariah dunia.
Menurut dia, Indonesia mempunyai dua
faktor pendukung utama yakni besarnya
populasi dan kreativitas. “Potensi ini sulit
dihambat karena keuangan syariah di
Indonesia bersifat market driven bukan
government driven seperti yang terjadi di
negara-negara lain,” ujarnya.
Masih menurut Adiwarman, ke
depan, ada empat jenis industri yang akan
berkembang di Indonesia, yakni industri
busana muslim, makanan halal, media
dengan konten Islam, dan keuangan
syariah. “Dan semua jenis industri itu ada
di Indonesia, dan akan berjalan beriringan
serta saling menopang.”
Potensi Indonesia menjadi negara
dengan aset keuangan syariah terbesar
di dunia pada 2023 bukanlah mimpi di
siang bolong. Data Bank Indonesia (BI)
menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir
pertumbuhan rata-rata perbankan syariah
mencapai 50 persen. Jauh lebih cepat dari
perbankan konvensional. Bahkan bisa jadi
termasuk pertumbuhan yang tercepat di
dunia.
Pada 2009, berdasarkan laporan
dikeluarkan The Banker, salah satu unit
media asal Inggris Financial Times,
Indonesia masih berada di posisi ke-17.
Inggris yang penduduknya mayoritas
non-muslim, duduk di posisi 8 besar. Dan
kini Indonesia berada di tempat keempat.
Berarti hanya dalam jangka waktu tiga
tahun terjadi lompatan-lompatan luar biasa
yang membuat Indonesia menembus lima
besar pada 2011.
Rintangan Membentang
Sayangnya, hal itu belum membuat
investor Timur Tengah kepincut. Selama
ini dana-dana petrodollar lebih banyak
mengalir ke Inggris dan Malaysa serta
negara teluk lainnya. Infrastruktur yang
lebih lengkap di tambah produk-produk
yang lebih komplet disebut-sebut sebagai
faktor penarik dari negara-negara itu.
Sedangkan di Indonesia, kemewahan
itu belum terwujud, malahan persoalan
sumber daya manusia masih jadi masalah
yang belum kunjung beroleh solusi hingga
kini. Pertumbuhan perbankan syariah yang pesat, tidak beriringan dengan laju
ketersediaan SDM yang memadai, baik
dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Sejatinya kebutuhan tenaga kerja di
sektor keuangan syariah mencapai 400
ribu orang. Sedangkan Bank Indonesia
mencatat, sampai akhir
2011, jumlah tenaga
kerja perbankan syariah
sebanyak 27.660 orang.
Dari jumlah tersebut,
sebesar 3.773 orang
bekerja di 11 bank umum
syariah, 2.067 orang di
24 unit usaha syariah,
dan 21.820 orang di
155 Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS).
Berarti masih sangat besar
kebutuhan SDI yang belum terpenuhi.
Akhirnya beberapa bank syariah
memutuskan menggunakan pegawai yang
berasal dari perbankan konvensional,
setelah sebelumnya dipoles dan dibekali
dengan pengetahuan syariah. “SDM kita
kebanyakan berasal dari konvensional,
lalu dididik untuk belajar syariah. Untuk
merekrut yang baru, jumlahnya masih
terbatas. Kalau fresh graduate juga masih
sulit,” ujar Direktur Syariah Danamon
Herry Hymanto.
BI tentu tidak tinggal diam melihat
kondisi itu. Salah satu upaya BI mengatasi
masalah tersebut adalah dengan
menetapkan aturan di mana bank harus
mengalokasikan 5 persen dari keuntungan
untuk pengembangan SDM. Selain itu,
bank sentral juga berupaya meningkatkan
kerjasama dengan lembaga pendidikan,
yakni universitas atau perguruan tinggi
untuk menyiapkan SDI lembaga keuangan
syariah. “Kita mendorong perbankan
syariah bekerjasama dengan perguruan
tinggi tertentu untuk merekrut, jadi tidak
melulu merekrut dari konvensional,” kata
Direktur Eksekutif Perbankan Syariah
Bank Indonesia (BI) Edy Setiadi.
Selain itu, tantangan lain industri
syariah adalah produk syariah yang
masih minim. Data dari Bank Indonesia
menunjukkan, produk syariah yang ada
baru sekitar 16 – 18 produk. Jumlah
tersebut relatif lebih
sedikit bila dibandingkan
dengan produk syariah
di Timur Tengah dan
Malaysia. Di kedua negara
tersebut,produk syariah
sudah sudah mencapai 40
produk.
Halim Alamsyah,
Deputi Gubernur Bank
Indonesia di dalam
ceramahnya pada Milad Ke-8
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
mengatakan, inovasi pengembangan
produk dan layanan perbankan syariah
yang kompetitif dan berbasis kebutuhan
khusus masyarakat menjadi sesuatu yang
penting. “Kompetisi industri perbankan
sudah sangat ketat sehingga bank syariah
tidak dapat lagi sekedar mengandalkan
produk-produk standar untuk menarik
nasabah”.
Ketua Umum terpilih PKES (Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah) periode
2012 – 2014 itu juga mengingatkan,
pengembangan produk dan layanan
perbankan syariah tidak boleh lagi hanya
sekedar ‘mengimitasi’ produk perbankan
konvensional. Bank syariah harus
berinovasi untuk menciptakan produk dan
layanan yang mengedepankan uniqueness
dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata
dari masyarakat. “Memang life cycle suatu
inovasi produk dan layanan perbankan
syariah sangat pendek karena sebuah
produk atau layanan akan dengan mudah
dan ditiru oleh bank-bank lain sehingga
mengurangi minat bank untuk berinovasi,”
jelas Halim.
Untuk mendorong inovasi produk
dan layanan serta menghindari terjadinya
duplikasi, Halim mengusulkan agar bank
syariah mematenkan produknya agar tidak
mudah ditiru bank lain.
Selain kedua persoalan di atas,
ada juga tantangan lain yang harus
diagendakan untuk diselesaikan, yaitu
mengenai kerangka hukum. Indonesia
memerlukan kerangka hukum yang
mampu menyelesaikan permasalahan
keuangan syariah secara komprehensif.
Karena sistem keuangan syariah secara
karakteristik berbeda dengan sistem
keuangan konvensional.
Salah satunya adalah mengenai
mekanisme penyelesaian perselisihan
transaksi syariah. Meskipun dapat
menggunakan jalur pengadilan agama,
namun tatanan peradilan agama
dirasa belum memadai untuk dapat
menyelesaikan transaksi keuangan. Begitu
juga dengan penyelesaian perselisihan
transaksi keuangan syariah menggunakan
hukum fiqih yang berpotensi menimbulkan
perbedaan interpretasi. “Untuk itu, perlu
semacam kompilasi hukum ekonomi atau
keuangan Islam yang disepakati bersama
untuk dijadikan rujukan yang kemudian
disahkan oleh negara,” kata Halim.
Selain itu, perlu adanya semacam
kodifikasi produk dan standar regulasi
yang bersifat nasional dan global
untuk menjembatani perbedaan dalam
fiqh muamalah. Jika diperhatikan, di
beberapa negara, terdapat perbedaan
yang kasat mata memahami kerangka
‘fiqh mua’malah’. Di satu sisi ada negara
yang terlalu berhati-hati (konservatif)
menerapkan kaidah-kaidah mu’amalah,
namun pada saat yang bersamaan terdapat
pula negara yang terlalu longgar (liberal).
Lalu mana yang akan dipilih supaya
industri syariah Indonesia bisa melesat
dan dampaknya meluas ke seluruh
masyarakat?