Rencana membatasi perbankan asing melalui kebijakan selalu menuai pro dan kontra. Namun sejauh ini belum ada kebijakan yang benar-benar diterbitkan untuk membatasi asing sekaligus melindungi perbankan nasional.
Oleh: Egenius Soda
BERITA TERKAIT
Keinginan yang muncul dari para bankir nasional dan sebagian masyarakat soal pentingnya memperketat operasional bank tampaknya tidak akan terwujud hingga akhir tahun ini.
Padahal sudah sejak tahun lalu kalangan perbankan nasional mendesak Bank Indonesia agar melakukan kebijakan resiprokal kepada bank asing. Artinya, jika di Indonesia bank asing bisa leluasa ekspansi dan membuka kantor cabang, maka bank nasional juga harus mendapatkan perlakuan serupa saat ingin menerapkan hal yang sama di negara mereka. Namun yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan hasil dan asing terus menunjukkan ekspansinya.
Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS) mencoba melakukan kajian mengenai dominasi asing di industri perbankan nasional. Hasilnya menyebutkan bahwa dari 31 bank yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) ada 15 bank yang sahamnya dimiliki investor asing dengan jumlah kepemilikan yang cukup kuat untuk menentukan kebijakan pengelolaan bank. Lebih mencengangkan lagi enam dari 10 bank yang masuk dalam kategori aset terbesar dan menguasai 62,87 persen industri perbankan nasional berada di bawah kendali pihak asing.
Oleh karena itulah, desakan agar BI berbuat sesuatu melihat cengkeraman asing di ranah perbankan yang makin kuat terus disuarakan. Desakan itu beragam, mulai dari membatasi operasional asing, menerapkan azas resiprokal, hingga membatasi kepemilikan asing. Tahun ini, suara yang menggema lebih banyak tentang keinginan untuk membatasi kepemilikan asing pada perbankan. Kepemilikan asing yang terlalu dominan di perbankan lokal akan mengurangi kontribusi industri perbankan pada perekonomian nasional karena hanya memusatkan perhatian pada memperoleh laba secepatnya dan sebesar-besarnya. Ini terlihat dari kecenderungan bank asing yang lebih menyasar ke kredit konsumtif ketimbang ke kredit produkti karena mendatangkan keuntungan yang lebih besar.
Selain itu, dominasi asing atas sektor keuangan terutama perbankan dikhawatirkan akan membuka peluang transfer pricing yakni tindakan yang dilakukan dengan menggeser keuntungan dari negara yang pajak tinggi ke negara yang pajaknya lebih kecil. Akibatnya akan mengurangi setoran pajak dari perusahaan tersebut ke Indonesia, negara tempatnya beroperasi.
Bahkan Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan bahwa kebijakan pembatasan kepemilikan atau saham asing di perbankan akan meminimalisasi kemungkinan moral hazard dari pemilik atau pemegang saham mayoritas. Menurut Ryan upaya pembatasan kepemilikan saham itu penting demi menghindari penyalahgunaan wewenang oleh pemilik saham mayoritas dan memastikan penerapan praktek good governance serta check and balance. “Muara dari semuanya adalah kepentingan nasabah akan lebih terlindungi,” tandas Ryan.
Bank Indonesia pun disebut sebut memiliki kepentingan untuk membatasi kepemilikan saham untuk memitigasi risiko penyalahgunaan wewenang oleh pemegang saham mayoritas. Mekanisme fit and proper test yang selama ini menjadi sarana mitigasi risiko terjadinya fraud tersebut dirasa kurang ampuh karena hanya memberikan jaminan pengelola dan pemilik bank pada saat diuji. Sementara mekanisme pengawasan khusus kepada pemegang saham hanya dilakukan ketika terjadi kesalahan.
BI kelihatannya juga mendukung keinginan para pelaku perbankan nasional. Sebagai regulator perbankan, BI tengah mengkaji rencana pembatasan kepemilikan saham tersebut. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad ketika ditanya mengenai adanya aturan tersebut. “Entah kapan akan diberlakukan belum tahu tetapi yang jelas BI fokus ingin merapikan aturan ini, tunggu saja kalau kajian sudah selesai pasti diumumkan,” tandas Muliaman.
Namun sepertinya rencananya pembatasan kepemilikan saham tidak hanya berlaku untuk pihak asing karena yang akan dibatasi adalah kepemilikan dari individu. Sementara untuk korporasi masih diperkenankan memiliki saham mayoritas 51 persen sementara pribadi atau keluarga diperbolehkan dibawah 50 persen. “Kita tidak melihat apakah itu asing atau tidak tetapi pembatasan kepemilikan per pihak yang akan kita atur,” jelas dia.
Demi merealisasikan rencana tersebut BI telah berkonsultasi dengan Pemerintah dengan tujuan mengharmonisasikannya dengan Peraturan Pemerintah No 29/1999 terkait kepemilikan saham bank lokal oleh asing. Sayangnya sampai sekarang pun belum diketahui sudah sampai di mana pembahasan terkait hal ini.
Selain itu BI juga disebut-sebut menyediakan beberapa alternatif jika usulan tersebut tidak diterima. Salah satunya adalah menaikan ketentuan modal minimum sebut saja ke Rp 300 miliar hingga Rp 500 miliar. Tetapi persoalannya apakah yang kemudian menjadi investor bank tersebut adalah orang Indonesia atau pihak asing. Kalau pihak asing tentu akan menambah porsi asing.
PRO DAN KONTRA
Rencana BI itu mendapat tanggapan beragam, salah satunya datang dari Krisna Wijaya. Mantan Direktur BRI yang kini menjadi Komisaris Bank Mandiri ini, mengatakan bahwa aturan tersebut akan menimbulkan pro dan kontra karena kepemilikan saham mayoritas dalam industri perbankan dianggap sangat penting. “Kalau banyak memegang saham ketika terjadi konflik masih ada yang mengambil alih,” tandas Krisna.
Persoalan lain kata Krisna, adalah terkait apakah aturan itu berlaku buat bank milik negara. Jika harus dibatasi tentu akan memaksa pemerintah melepas sahamnya di bank miliknya sendiri. Sebaliknya jika tidak, tentunya aturan itu harus memberi argumen yang bisa diterima.
Hal yang paling mungkin menurut, pria yang pernah mencalonkan diri menjadi Deputi Gubernur BI ini adalah membatasi operasi bank-bank asing. “Sebut saja bank asing hanya boleh beroperasi di kota-kota besar,” jelas Krisna.
Sementara soal resiprokal, Krisna mengatakan memang harus dilakukan secepatnya karena beberapa bank nasional sampai sekarang masih sulit ekspansi ke luar negeri. “Misalnya ketika Bank Mandiri hendak membuka cabang di Malaysia dikenakan aturan hanya boleh mendirikan ATM di kantornya saja, itu juga yang harus diterapkan ke bank-bank asing asal Malaysia,” ujar dia.
Bagi Krisna, hal-hal itulah yang paling mungkin dilakukan dalam waktu dekat, karena jika hendak mengatur kepemilikan saham tentu harus mengamendemen salah satu Peraturan Pemerintah. Tentu butuh waktu yang cukup panjang. “Jadi yang paling rasional untuk saat ini adalah memberi perlindungan yang lebih kepada bank-bank nasional lewat pembatasan operasional bank asing,” tandas Krisna.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Direktur Utama BNI Gatot M Soewondo. Baginya membatasi kepemilikan saham sepertinya sudah terlambat karena kalau un nanti dijual atau didivestasikan, harganya pasti sudah sangat mahal. “Sekarang sudah terlambat yang penting saat ini adalah adanya perlakuan yang sama di negara asal bank tersebut,” ujar Gatot.
Namun demikian, aturan tersebut berpotensi melanggar klausul grandfathering yang berlaku secara internasional. Demikian dikatakan ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ikhsan. Klausul grandfatliering merupakan Istilah hukum yang menggambarkan aturan lama tetap berlaku untuk perusahaan yang sudah ada. Sementara aturan baru berlaku untuk situasi pada masa depan.
Dengan klausul tersebut, lanjutnya, terbuka kemungkinan terjadi sengketa setelah aturan pembatasan kepemilikan dikeluarkan. “Bahkan dispute bisa terjadi G to G (government to government) karena bank asing bisa melobi pemerintah negara asalnya untuk melakukan protes,” ujar Fauzi. SP