Tidak seperti ekonomi, politik adalah bidang yang lebih sulit diprediksi. Sejak tahun lalu para pemerhati, pelaku dan otoritas keuangan sudah bisa memprediksi jika tahun ini situasinya akan lebih ketat terutama perihal likuiditas. Akan tetapi tidak ada yang menyangka jika situasi politik bisa sepanas ini.
Pemilihan umum untuk memilih presiden kali ini adalah yang paling spesial sepanjang sejarah politik Indonesia. Dua pasangan calon saling berhadapan, yang membuat pendukungnya pun saling berpolarisasi membentuk dua barisan ekstrem.
Situasi ini memang di luar perkiraan otoritas dan pelaku bisnis terutama di industri jasa keuangan. Biar begitu, Wakil Presiden Boediono sempat memperingatkan kepada pelaku sektor keuangan terutama pasar modal ketika membuka perdagangan di bursa saham awal tahun ini bahwa politik dalam negeri memiliki risiko pada perekonomian Indonesia.
Akan tetapi pada saat itu, dia tidak terlalu menggarisbawahi mengenai risiko politik ini. Sebaliknya Boediono menekankan tiga risiko lain yang juga berpotensi mengganggu perekonomian yaitu likuiditas global, harga minyak dunia, harga bahan pangan.
Namun mantan Gubernur Bank Indonesia itu tetap berharap pesta demokrasi bisa berjalan lancar, aman dan akhirnya menghasilkan pemerintahan baru seperti pemilu di 2004 dan 2009. Menurutnya, pemilu 2014 akan memperlihatkan kematangan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Karena pada tahun inilah wajah demokrasi menjadi semakin terlihat. “Saya kira, itulah impian kita semua, demokrasi semakin baik dan berfungsi,” kata Boediono.
Meski begitu, teropong pebisnis global tampaknya lebih tajam melihat kondisi politik Indonesia. Menurut sebuah survei yang dilakukan raksasa keuangan dunia Aon, Indonesia termasuk dalam lima negara emerging market yang risiko politiknya cukup panas, meski tak sampai mendidih. Selain Indonesia, negara yang masuk dalam kelompok yang disebut dengan istilah The Fragile Five ini adalah India, Brasil, Afrika Selatan, dan Turki. Kesemua negara itu juga tengah menghelat pemilihan umum.
Menurut Direktur Pelaksana Spiro Sovereign Strategy, Nicholas Spiro seperti dikutip dari CNBC, pemilu yang digelar di suatu negara dapat berdampak negatif pada perekonomian nasionalnya. Terlebih lagi, risiko politik dalam negeri itu muncul di tengah ancaman ekonomi global lewat program penarikan dana stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Berbeda dengan Indonesia dan India, kata Spiro, Afrika Selatan akan mengalami pemilihan presiden yang ketat. Sementara di Turki, pembenahan politik lewat presiden terpilih dianggap dapat secara perlahan-lahan mengakhiri gangguan ekonomi yang muncul di sana. Sayangnya, negara dengan perekonomian terbesar di Amerika Latin, Brazil masih menghadapi ketidakpastian politik meghadapi pemilu tahun ini. Hal itu karena, bursa saham Brazil masih menderita gangguan stabilitas setelah The Fed menarik program stimulusnya. Bahkan bank sentral Brazil tercatat secara agresif menaikkan suku bunga acuannya hingga 325 basis poin sejak April tahun lalu guna mengendalikan tingkat inflasi.
Otoritas moneter nasional bukannya tidak melihat risiko itu. Karenanya sudah sejak jauh hari, Bank Indonesia memperkirakan laju pertumbuhan perekonomian nasioanl di tahun politik ini tidak akan setinggi prediksi. Gonjang-ganjing politik daam pemilihan presiden tentu menjadi faktor utama kondisi yang terjadi di dalam negeri. Hal itu dikatakan Asisten Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Muslimin Anwar, beban anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam anggaran negara 2014 merupakan risiko terbesar perekonomian nasional. “Memang beban anggaran subsidi BBM dalam APBN masih menjadi risiko terbesar perekonomian nasional. Jika bisa ditekan, ini akan menjadi momentum untuk memaksimalkan porsi anggaran kita,” jelas Muslimin.
Angka anggaran subsidi BBM dalam APBN 2014 masih cukup tinggi. Bahkan, pemerintah telah menambah anggaran belanja subsidi BBM pada R-APBNP 2014 menjadi Rp285 triliun dari semula Rp210,7 triliun. Risiko lainnya datang dari terus meningkatnya angka utang luar negeri swasta dan pemerintah yang membebani APBN 2014. Menurut data BI, utang luar negeri Indonesia per Maret 2014 sebesar 276,4 miliar dollar AS atau sejumlah Rp3.041 triliun (kurs Rp11.000 per dolar AS).
Sementara faktor kondisi global, juga tak kalah mengancam perekonomian nasional. Salah satunya adalah rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan menjadi 2 persen di tahun 2015 mendatang. Risiko juga datang dari belahan Tiongkok yang ekonominya masih berjalan lambat. “Kebijakan The Fed akan berpengaruh terhadap mengalirnya dana dari negara-negara berkembang. Jangan lupa juga perlambatan ekonomi di Tiongkok yang merupakan negara tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia,” kata Muslimin.
Rupiah dan Neraca Perdagangan
Kondisi lain yang terjadi di tengah hiruk pikuk politik adalah melemahnya nilai tukar rupiah. Rupiah sudahberada pada kisaran Rp12.000 per dolar AS. Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan kompetisi politik yang ketat menjelang pemilihan umum presiden pada 9 Juli 2014, merupakan salah satu penyebab nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp12.000 per dollar AS. “Banyak yang agak khawatir melihat kompetisi politik ketat dan melihat ketidakpastiannya. Ini salah satu penyebab rupiah melemah,” kata Chatib.
Namun situasi politik dalam negeri tidak menjadi penyebab tunggal rupiah lunglai. Melemahnya rupiah juga didorong faktor defisit perdagangan serta kondisi geopolitik di Irak yang telah terjadi dalam beberapa minggu terakhir. “Ketidakpastian itu membuat rupiah melemah dari Rp11.300 ke Rp11.600. Kemudian trade defisit membuat rupiah melemah ke Rp11.800. Yang terakhir situasi di Irak yang membuat harga minyak naik, itu yang buat melemah sampai Rp12 ribu,” jelas Chatib.
Meski kondisi rupiah memprihatinkan, dia yakin rupiah akan kembali menguat dalam waktu dekat. Asalkan neraca perdagangan kembali mengalami surplus, kondisi Irak membaik dan pemilihan umum presiden berakhir. “Kondisi rupiah ini sifatnya temporer. Setelah pemilu berakhir, ketegangan politik pun hilang. Kemudian terjadi surplus neraca perdagangan meskipun masih tipis. Faktor geopolitik Irak juga sifatnya sementara,” kata Chatib.
Rupiah yang melemah memang bisa dibilang sebagai cermin kekhawatiran yang terjadi pada para pelaku pasar ketika melihat situasi politik menjelang pemilihan presiden yang begitut ketat. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara yakin, situasi akan kembali normal stelah pemilihan umum presiden usai. “Melihat hasil survei yang ketat, mungkin ada kekhawatiran. Tapi menurut saya, kita sudah mengalami pemilu 2004 dan 2009, dan semua lancar. Pemilu legislatif kemarin pun berjalan lancar, seharusnya stabilitas politik dan keamanan tetap terjaga,” katanya.
Mirza mengakui pelemahan rupiah yang mencapai level Rp12.000 per dollar AS memang sudah mengalami gejolak yang lebih besar dari fundamental yang seharusnya (overshoot), namun situasi tersebut merupakan cerminan kondisi perekonomian saat ini dan belum ada upaya apapun dilakukan Bank Indonesia terkait depresiasi kurs ini. “Bank Indonesia berfungsi menjaga stabilitas di pasar keuangan moneter, bila kondisi (rupiah) tinggi, kami ada di pasar agar pelemahan tidak semakin dalam,” katanya.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo juga mengakui, suhu politik tahun ini sudah naik dan kemungkinan akan berpengaruh negatif terhadap ekonomi, namun BI akan tetap konsisten menjaga stabilitas perekonomian, stabilitas sistem keuangan termasuk menjaga likuiditas perbankan. “Di tahun politik 2014, Bank Indonesia akan konsisten menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan. Stabilitas tetap perlu dikedepankan agar struktur ekonomi menjadi lebih seimbang dan sehat, sehingga menjadi pondasi kuat bagi tranformasi ekonomi ke depan. Juga akan diarahkan pada pengelolaan risiko sistemik, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan penguatan struktur permodalan, di tahun 2014,” kata Agus.
Agus menambahkan, BI bekerjasama dengan OJK dan pemerintah, akan terus memantau pengaruh eksternal dan internal terhadap perekonomian dan perbankan. BI juga tetap berjaga-jaga berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. “Kalau dalam kondisi krisis, kehilangan kepercayaan, terjadi segmentasi di industri perbankan itu lazim terjadi. Apalagi untuk perbankan Indonesia, dapat dikatakan 15 sampai 20 bank terbesar menguasai 80 persen daripada total aset perbankan,” kata Agus. Dalam situasi seperti ini biasanya, bank besar cuma mau bertransaksi dengan yang besar, sedangkan yang kecil nanti mungkin tersegmentasi. “Hal seperti ini perlu juga diawasi untuk meyakinkan keterkaitan antar bank dan dampak likuiditas terhadap stabilitas sistem keuangan,” tambah Agus.
Bisnis Positif
Meski politik dan ekonomi tengah bergejolak. Kondisi itu tidak terlalu berpengaruh terhadap bisnis. Malah, kata pebisnis, dalam tahun politik biasanya banyak uang yang dibelanjakan dan mengucur kepada masyarakat. Dengan uang yang banyak mengucur untuk belanja politik, maka akan membuat bisnis semakin dinamis.
Direktur Utama RNI Group Ismed Hasan Putro mengatakan, secara umum dalam 10 tahun terakhir, tahun politik tidak berpengaruh signifikan dalam dunia usaha. Bahkan, dalam gelaran terakhir, tahun pemilu sudah menjadi ‘zona nyaman’ bagi para pengusaha. “Pada 2004 dan 2009 pemilu seperti festival. Dunia usaha dalam 5 tahun terakhir sudah nyaman dengan suhu politik karena seperti apa pun politik tidak akan mempengaruhi dunia usaha, kita akan terus tumbuh,” kata Ismed.
Menurutnya, kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini sudah mulai matang. Adanya hiruk-pikuk politik menjadi hal yang lumrah. Yang perlu diwaspadai adalah tingginya angka korupsi di Indonesia. Hal ini bisa menggerogoti tumbuhnya perekonomian di Indonesia. “Demokrasi politik mulai matang. Kayak di Jepang pemilu tidak berpengaruh. Kita optimistis kedewasaan demokrasi akan akan membuat ekonomi tumbuh,” kata Ismed.
Apa yang dikatakan Ismed mendapat konfirmasi dari Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini berpendapat, untuk memahami bagaimana ekonomi di tahun politik ada baiknya melihat apa yang terjadi periode Pemilu sebelumnya yaitu 1999, 2004 dan 2009. “Sejumlah data ekonomi menunjukkan kinerja ekonomi nasional cenderung tumbuh positif di tahun pergantian kepemimpinan nasional,” ucap dia.
Pada pemilu langsung pertama kali 1999, investor dinilai masih khawatir, meski setelah prosesnya berjalan lancar, investor ramai-ramai ke Indonesia. Dan secara umum, sepanjang tahun catatan ekonomi juga menunjukan perbaikan pasca krisis 1998.
Kata Firmanzah lagi, pada 2004, indeks saham tumbuh hingga 87 persen, PDB tumbuh di angka 5,13 persen dan PDB perkapita 10,4 juta per tahun. Kemudian cadangan devisa sudah bisa dibukukan sebesar 36 miliar dollar AS.
Tren pertumbuhan juga berlanjut di tahun pemilu 2009. Saat itu indeks saham bisa tumbh 46 persen, PDB juga tumbuh 4,6 persen, PDB perkapita melonjak jadi 23,6 juta per tahun, dan cadangan devisa naik menjadi 66,1 miliar dollar AS.