"We are looking
for the benefits
of investment
including the
ones from
Middle East countries. Islamic banking
is one of the evidences of it.”
Pernyataan Gordon Brown sewaktu masih menjabat
Perdana Menteri Inggris pada 2008 lalu
itu menyiratkan bahwa Inggris tak mau
kehilangan kesempatan untuk menggarap
dana-dana dari Timur Tengah yang saat
itu tengah booming. Bagi dia, industri
keuangan syariah memiliki potensi yang
bisa memberikan keuntungan ekonomi
yang sangat besar untuk Inggris. Betul saja,
saat ini institusi keuangan dan perbankan
Inggris dikenal yang paling banyak
menyerap dana-dana petrodollar itu.
Bagaimana di Indonesia? Sebagai anak
bontot dalam industri keuangan nasional,
perkembangan institusi keuangan dan
perbankan sejatinya cukup pesat. Meski
begitu, banyak kalangan menyimpulkan
bahwa industri keuangan syariah Indonesia
masih ketinggalan jauh dari negara
tetangga, Malaysia.
Dibanding dengan Malaysia, Industri
keuangan syariah Indonesia terbilang
masih anak bawang karena baru muncul
10 tahun setelah Malaysia. Bank syariah
pertama di Indonesia baru berdiri pada
tahun 1992, sementara di Malaysia sudah
lebih dulu yaitu sejak tahun 1983.
Begitu juga dalam hal regulasi.
Indonesia baru memiliki Undang-undang
tentang Perbankan Syariah pada 2008.
Kemudian disusul penghapusan pajak
ganda (double tax) melalui Undangundang
No.42 tahun 2009 tentang
Amandemen UU PPN yang efektif berlaku
mulai 1 April 2010. Sementara Malaysia
sudah melengkapi regulasi sebelum bank
pertama di negeri itu didirikan.
Meskipun dari sisi start awal dan
kapitalisasi aset industri keuangan
syariah, Indonesia tertinggal sekitar 10
tahun dari Malaysia, namun hal ini tak
berarti perbankan dan keuangan syariah
di Indonesia tak bisa melesat melampaui
negara lain.
Buktinya, aset perbankan syariah
Indonesia pada pertengahan 2010 telah
berkembang menyentuh angka Rp78,14
triliun. Padahal menurut catatan pada
tahun 2000, aset perbankan syariah di
Tanah Air hanya berjumlah Rp1,79 triliun.
Artinya dalam kurun waktu 10 tahun
asetnya melesat hampir 40 kali lipat.
Sebuah angka yang cukup fantastis
mengingat banyak pihak mengeluhkan
minimnya dukungan pemerintah. Selama
ini memang terkesan Bank Indonesia
berjuang sendirian dalam mendorong
industri syariah Tanah Air.
Peran pemerintah hanya terlihat saat Dalam
menerbitkan Undang-Undang Perbankan
Syariah dan UU Surat Berharga Syariah
Negara serta menghapuskan pajak ganda.
Untuk yang terakhir, hampir semua pelaku
industri syariah menyayangkan insentif
pemerintah yang hanya menghapus pajak
ganda hanya pada transaksi murabahan
(jual-beli). Padahal jika seluruh transaksi
syariah dihapuskan pajak gandanya
–seperti Malaysia dan Inggris, bukan
mustahil sudah sejak beberapa tahun lalu
indsutri syariah Indonesia meroket.
“Insentif itu kan tidak hanya melulu
dari bank sentral, tapi juga kan dari
regulator-regulator lain,” kata Edi Setiadi,
Direktur Eksekutif Perbankan Syariah
BI. Dia mengatakan bahwa bank sentral
telah memberikan dorongan berarti
buat perbankan syariah dengan sederet
kebijakan.
BI telah memberikan kemudahan
bank yang memiliki unit syariah untuk membuka cabang di kantor layanan
konvensional dengan kebijakan office
channelling. Bi juga mendorong unit-unit
syariah untuk menjadi bank syariah yang
berdiri sendiri terlepas dari induknya yang
konvensional.
Namun demikian, menurut Edi,
pengembangan perbankan syariah bukan
hanya urusan BI, tapi juga jauh lebih
penting dukungan dari pemerintah. Di
Inggris dan Malaysia semua transaksi
syariah dibebaskan pajak dan menjadi
insentif terpenting buat industri.
Sementara di Indonesia baru transaksi
murabahah.
Bahkan belakangan pemerintah
mengeluarkan kebijakan kontraproduktif
yang menarik dana-dana haji di perbankan
syariah untuk ditempatkan dalam
sukuk yang diterbitkan Kementerian
Keuangan. Padahal sudah sejak lama para
pelaku di perbankan syariah meminta
pemerintah untuk mendorong dana-dana
haji ditempatkan di bank syariah tanpa
terkecuali. Selain itu, pelaku meminta
juga sebagian dana milik kementerian
ditempatkan di bank syariah seperti yang
diterapkan di Malaysia.
“Jika terwujud, itu akan berpengaruh
besar. Tidak hanya dana haji. Termasuk
juga dana majelis taklim, dana Kantor
Urusan Agama, dana-dana organisasi
Islam, dana-dana pesantren, dana-dana
lembaga-lembaga zakat, dan sebagainya,”
kata Edi.
Minimnya keberpihakan pemerintah
pada industri syariah juga diakui oleh
Sekjen Asosiasi Emiten Indonesia (AEI),
Yan Partawidjaja. Dia mengatakan bank
syariah di Indonesia masih tertinggal jauh
dibanding negara lain, seperti Malaysia
karena di negara itu industri syariah
sangat didukung penuh pemerintahnya.
Sementara itu di Indonesia, Pemerintah
melepas begitu saja tanpa melakukan
intervensi.
Di Malaysia, kata Yan, sebagian
dari dana perusahaan milik pemerintah
Malaysia disimpan di bank syariah.
Akibatnya, dengan giro yang dimasukkan
ke bank syariah, bank punya dana murah
yang bisa dilempar ke masyarakat dengan
biaya yang murah juga. Maka dananya bisa
bergulir. “Sedangkan untuk Indonesia,
dana haji saja tidak diharuskan untuk
disimpan di bank syariah. Padahal dana
haji kan bagusnya disimpan di bank
syariah,” katanya.
Regulasi Khusus
Meskipun demikian, BI tidak mau
terus meratapi kondisi itu. BI menyiapkan
enam kebijakan khusus perbankan syariah
di 2012. Pertama adalah penguatan
intermediasi perbankan syariah kepada
sektor ekonomi produktif. Kedua,
pengembangan dan pengayaan produk
lebih terarah. Ketiga, peningkatan
sinergi dengan bank induk dengan
tetap mengembangkan infrastruktur
kelembagaan bisnis syariah.
Keempat peningkatan edukasi dan
komunikasi dengan fokus pada parity
and distinctiveness merupakan. Kelima,
peningkatan good governance dan
pengelolaan risiko. Keenam, penguatan
sistem pengawasan.
BI juga melakukan penyempurnaan
aturan pasar uang antar bank syariah
(PUAS). BI menilai peranan PUAS
belum memuaskan sebagaimana namanya,
untuk itu bank sentral melakukan
penyempurnaan aturan main. Pada 4
Januari 2012 lalu, bank juga sentral
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 14/1/PBI/2012 tentang
Perubahan Atas PBI Nomor 9/5/
PBI/2007 Tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Sementara untuk teknis
pelaksanaannya kemudian diatur dalam
SE (Surat Edaran) Nomor 14/1/
DPM tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah. Ada dua
hal utama yang disempurnakan bank
sentral untuk meningkatkan gairah
perbankan syariah dalam memanfaatkan
PUAS sebagai alat memeroleh tambahan
likuiditas.
Pertama, dalam ketentuan penggunaan
SIMA (Sertifikat Investasi Mudarabah
Antarbank) untuk melancarkan
proses transaksi di PUAS, BI memberi
kelonggaran untuk penggunaan underlying
portofolio yang berpendapatan tetap
(fix rate) sehingga akan mempercepat
penghitungan return.
Kedua, bank sentral juga menyiapkan
instrumen baru berbasis komoditas yang
nantinya bisa digunakan sebagai instrumen
dalam melakukan transaksi di PUAS.
Saat ini underlying komoditas yang bisa
digunakan masih terbatas pada kakao, mete
dan kopi, sesuai dengan izin otoritas bursa
komoditas.
Meski begitu, ibarat burung, dukungan
dari BI itu hanyalah satu sisi sayap yang
membantu syariah terbang. Diperlukan
sayap lainnya agar industri syariah bisa
melesat lebih tinggi lagi.