SERPONG, Stabilitas.id – Perusahaan energi asal Finlandia Wärtsilä mendukung target emisi net zero Indonesia pada tahun 2060. Hal itu ditegaskan Presiden Wärtsilä Energi, Anders Lindberg saat memaparkan peran ketenagalistrikan dalam upaya dekarbonisasi saat konferensi pers di Enlit Aslia, ICE BSD (15/11).
Anders menekankan pentingnya visi 100% energi terbarukan yang dirangkum dalam kampanye “Setiap Detik Berharga”. “Di Wärtsilä kami percaya bahwa net zero dapat terlaksana secara ekonomi, semua teknologi yang kita perlukan untuk mencapai net zero sudah ada, dan fleksibilitas adalah kunci untuk mewujudkan tujuan iklim yang telah dicanangkan,” papar Anders.
Dia menyebutkan, jalan menuju net zero merupakan sebuah pendakian yang menanjak, yang membutuhkan penggunaan kapasitas energi terbarukan sebesar 1.100 GW di seluruh Asia Tenggara dalam 30 tahun mendatang.
“Sebagai gambaran, kita perlu menambahkan lebih dari 25 GW kapasitas tenaga surya dan angin setiap tahunnya hingga tahun 2050. Meskipun jumlah ini setara dengan seluruh kapasitas yang ada saat ini di kawasan ini, namun hal ini dapat dilakukan,” jelasnya
Menurut Anders, dengan berinvestasi pada energi terbarukan, tidak hanya dapat mengurangi emisi CO2, namun juga mengurangi biaya listrik secara keseluruhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Menambahkan energi terbarukan saja, tanpa menambahkan fleksibilitas, adalah jalan buntu menuju net zero,” katanya.
Namun, Anders mengingatkan bahwa energi terbarukan memiliki tantangan tersendiri karena produksi energinya bersifat intermiten dan sangat bervariasi. Oleh karena itu, energi tersebut perlu diimbangi dengan kapasitas yang fleksibel seperti mesin penyeimbang jaringan dan penyimpanan energi untuk memastikan daya yang stabil dan andal.
“Tahun lalu, Wärtsilä membuat model sistem ketenagalistrikan net zero di Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa sistem tenaga listrik yang fleksibel dapat mendukung integrasi lebih banyak energi terbarukan. Dan ketika mempertimbangkan kemungkinan pajak karbon di masa depan, bauran energi yang hemat biaya dapat menurunkan tingkat biaya listrik sebesar lebih dari 20%,” sebutnya.
“Fleksibilitas dapat ditingkatkan dengan memilih teknologi yang tepat dan tahan masa depan serta merancang pasar energi yang fleksibel,” demikan Anders.
Di tempat yang sama, Direktur Energy Business New Build Indonesia, Wartsila Energy Febron Siregar mengatakan, sistem ketenagalistrikan yang tidak fleksibel saat ini membatasi jumlah energi terbarukan yang dapat diintegrasikan. Sistem ini kesulitan beradaptasi dengan variabilitas energi terbarukan, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan jaringan listrik, pemadaman listrik, pembatasan energi terbarukan, dan biaya sistem yang lebih tinggi.
Jika aset pembangkit listrik tenaga panas yang tidak fleksibel diprioritaskan dibandingkan energi terbarukan berbiaya rendah, konsumen pada akhirnya harus membayar harga listrik yang lebih tinggi. Pada akhirnya, ketidakfleksibelan ini dapat menimbulkan risiko aset-aset pembangkit tertentu menjadi tidak ekonomis dan karenanya terbengkalai. Oleh karena itu, pilihlah teknologi yang tepat untuk melengkapi energi terbarukan, yang fleksibel, dapat disalurkan, dan tahan masa depan. ***