BERITA TERKAIT
Apa yang berlaku di negara maju akan cenderung diikuti oleh negara-negara berkembang, terutama soal ekonomi dan gaya hidup. Dan ketika praktik bertransaksi non tunai telah menjadi hal yang lumrah di negaranegara maju, maka negara berkembang seperti Indonesia pun menirunya.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa lebih banyak manfaat ekonomi yang dirasakan jika masyarakat lebih banyak melakukan transaksi non tunai.
Oleh karena itulah, Bank Indonesia sejak beberapa tahun lalu tak bosanbosannya mendorong masyarakat agar memilih bertransaksi dengan cara non tunai. Tahun ini, BI kembali mendorongnya dengan meluncurkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Agar gerakan ini lebih masif dan efektif, bank sentral menggandeng pemerintah, perbankan dan juga industri telekomunikasi sekaligus.
Gerakan ini tentu bertujuan agar masyarakat mulai mengurangi transaksi dengan menggunakan uang kartal secara langsung. “Sehingga berangsurangsur terbentuk less cash society dalam transaksi kegiatan ekonomi,” kata Gubernur BI, Agus Martowardojo. Alasan BI mendorong transaksi non
tunai antara lain karena lebih aman dan nyaman. Selain itu transaksi juga bisa lebih cepat sehingga perputaran bisnis menjadi semakin kencang. Transaksi non tunai juga menciptakan transaksi lebih transpraran dan akuntabel karena tiap transaksi tercatat dan terlacak.
Selain itu, transaksi dengan uang non tunai akan membuat ekonomi lebih efisien. Bagi keuangan yang dikelola pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dunia usaha akan dapat lebih transparan dan akuntabel. “Transaksi non tunai lebih aman dan nyaman. Bisa membuat tabungan menjadi lebih besar untuk membiayai ekonomi kita. Kalau pakai transaksi tunai mahal, mesti cetak, disimpan, diedarkan dan kadang digunakan untuk hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Agus.
Bank Indonesia juga memperkirakan transaksi non tunai akan berpengaruh positif pada tingkat inflasi Indonesia dalam jangka panjang, karena memungkinkan adanya transparansi dalam arus perputaran uang. Gerakan tersebut akan membuat sedikit bahkan tidak adanya uang beredar sehingga akan mengurangi kebocoran-kebocoran anggaran atau tindakan korupsi lainnya. “Dalam jangka pendek, dampaknya itu pengurangan kebocoran. Tapi kan kebocoran itu yang membuat biaya ekonomi tinggi. Dalam jangka panjang bisa mengurangi inflasi,” ujar Agus.
Transaksi non tunai di Indonesia memang masih rendah bila dibandingkan negara lain di ASEAN. Jumlah transaksi di sektor ritel sudah mencapai Rp7.500 triliun, namun baru 31 persen pembayarannya menggunakan non tunai. Padahal, persentase transaksi non tunai di beberapa negara tetangga sudah di atas 50 persen. Data BI menunjukkan potensi pengembangan uang elektronik untuk sektor transportasi di Jakarta saja sudah bisa mencapai Rp23,4 triliun per tahun. Ini menjadi indikasi potensi transaksi non tunai di Indonesia sangat besar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung berpendapat, bila Indonesia ingin melangkah menjadi negara maju, prasyaratnya Indonesia harus meningkatkan penggunaan uang non tunai. “Kalau kita mau jadi negara maju, transaksi tunai kita harus makin lama semakin kecil. Kalau mau transaksi tunai kita makin kecil, tentu kita ingin makin banyak orang Indonesia yang akses uangnya ke lembaga keuangan yang ada, termasuk bank dan non bank,” kata pria yang akrab disapa CT.
Saat ini jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal baru 20 persen. Tugas pemerintah, BI, dan pemangku kepentingan lainnya adalah meningkatkan jumlah tersebut hingga nantinya seluruh masyarakat Indonesia memiliki akses ke lembaga keuangan formal.
CT juga mengatakan, pengunaan instrumen non-tunai akan membuat laju inflasi lebih baik karena tidak adanya ‘uang gelap’ berarti tidak ada akan ada ‘belanja gelap’ yang memicu adanya gejolak inflasi yang berlebihan.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia Lana Sulistyaningsih mengakui bahwa transaksi non tunai dapat berpengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia. Kendati demikian, di sisi lain, terbersit rasa pesimisitis gerakan ini hanya berjalan di tempat, tidak sesuai dengan ekspektasi. “Pemerintah kan seringkali awalnya menggebu-gebu, lalu lama-kelamaan mengendur. Saya berpendapat, jangan hanya sekadar gerakan, harus ada kelanjutannya jika memang pemerintah berkomitmen,” tuturnya.
Indonesia Tahap Merintis
Akhir tahun lalu, MasterCard Advisors mengeluarkan laporan global terbaru berjudul The Cashless Journey. Laporan tersebut melacak bagaimana 33 negara utama bergerak dari masyarakat dengan basis pembayaran tunai menuju masyarakat non tunai. Laporan yang diterbitkan oleh MasterCard Advisors juga mengidentifikasi teknologi-teknologi terbaru, program-program pemerintah, dan pilihan konsumen sebagai faktor-faktor kunci yang mendorong pergeseran ini.
Berdasarkan studi tersebut, pembayaran non tunai di Indonesia terhitung sebesar 31 persen dari total pembayaran. Hasil nilai ini menempatkan Indonesia masuk ke dalam kategori negara-negara yang berada dalam tahap awal (inception) bersama dengan negara lain, seperti Nigeria, Rusia, dan Kolombia. Negara-negara tersebut baru saja mulai untuk beralih dari pembayaran tunai.
Laporan itu juga menyebutkan, Belgia (sekitar 93 persen pengeluaran konsumen dilakukan melalui pembayaran non tunai), Perancis (92 persen), Kanada (90 persen), Inggris (89 persen), Swedia (89 persen), Australia (86 persen), dan Belanda (85 persen) menjadi negara-negara di mana pembayaran non tunai hampir dilakukan dimana pun. Kemudian negara-negara seperti Amerika Serikat (sekitar 80 persen total pengeluaran konsumen dilakukan secara nontunai) dan Singapura (69 persen) sedang mendekati ’titik penting’ untuk menjadi masyarakat non tunai seutuhnya.
Sementara itu, negara-negara dengan ekonomi berkembang seperti Indonesia (31 persen), Rusia (31 persen), dan Mesir (7 persen) baru saja memulai perjalanan menjadi masyarakat non tunai. Dalam banyak kasus, perubahan bentuk pembayaran tunai di negara-negara tersebut bisa lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara maju tertentu. Dengan catatan, seluruh elemen dari infrastruktur pembayaran konsumen modern telah tersedia. Kondisi ini pernah terjadi pada Brasil (57 persen), Polandia (41 persen), dan Afrika Selatan (43 persen) yang saat ini sudah berada dalam tahap transisi dan menuju masyarakat non tunai seutuhnya.
Pergeseran tercepat terjadi di China, di mana nilai pembayaran secara tunai diprediksi menurun sebanyak 20 persen antara 2006 dan 2011. Sekitar 55 persen belanja konsumen China dilakukan dengan pembayaran non tunai, sementara di Uni Emirat Arab sebesar 26 persen. Dua negara itu berada di antara kelompok negara di mana pemerintahnya telah mengambil peran dalam mendorong pembayaran elektronik untuk mendukung tujuan-tujuan sosial dan ekonomi mereka.
Riset dari MasterCard Advisors mengindikasikan, bagaimana semestinya sebuah negara mempersiapkan peralihan menuju masyarakat non tunai. Dan itu ditentukan oleh berbagai faktor, seperti akses dan kemampuan layanan finansial, skala dan pangsa pasar dari penjual, tingkat teknologi yang tersedia, dan partisipasi konsumen dalam ekonomi formal. Namun, di beberapa negara seperti Jerman (sekitar 76 persen pengeluaran konsumen dicapai melalui pembayaran nontunai), Jepang (62 persen), Spanyol (54 persen), dan Taiwan (43 persen), perilaku budaya yang lebih banyak menyarankan penggunaan uang tunai dibandingkan kondisi pasar juga sangat berpengaruh.
Kevin Stanton, President MasterCard Advisors, menyimpulkan, walaupun masing-masing negara memiliki kisah yang unik dan memerlukan pemahaman realitas lokal, manfaat yang diperoleh dengan lebih banyaknya masyarakat non tunai bersifat universal. “Lebih banyak kenyamanan yang diperoleh konsumen, efisiensi yang lebih baik bagi pemerintah, produktivitas bisnis yang lebih tinggi, dan partisipasi masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian, secara keseluruhan akan melibatkan lebih banyak masyarakat ke dalam pusaran arus ekonomi,” kata Stanton.
Memudahkan
Transaksi non tunai memberikan beragam kemudahan bagi pengguna dan bankir. Sistem online yang menjadi basis dari transaksi non tunai dapat diakses melalui internet dari mana dan kapan saja. Pengguna tidak harus datang ke bank untuk melakukan transaksi. Sistem ini juga memberikan kemudahan kepada bankir, karena tidak harus berhadapan langsung dengan nasabah. Tentu transaksi menjadi lebih cepat dan efisen. Tidak hanya itu, karena basisnya adalah serba komputerisasi, tingkat akurasi dari transaksi pun menjadi lebih tinggi.
Chatib Basri, Menteri Keuangan berpendapat, transaksi non tunai lebih aman. Tidak perlu cemas bepergian karena tidak membawa bergepok-gepok uang. “Bayangkan saja, kalau bawa uang Rp 100 miliar, kan harus pakai mobil. Dari sisi keamanan, non tunai, tidak perlu melibatkan banyak satpam,” kata Chatib.
Kemudian lebih efisien. “Mencetak uang itu biayanya mahal,” ujar Chatib. Terakhir, meminimalisir risiko tindak pidana. “Jarang sekali aktivitas menyuap orang itu pakai aktivitas non tunai. Itu yang selalu jadi concern KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),” jelas Chatib.
Transaksi non tunai atau electronic money (e-money) juga akan berdampak pada efisiensi nasional, transparansi dana, akuntabel, dan mengurangi kebocoran dana. “‘Jika diganti dengan e-money maka akan efektif mengurangi penyelewengan dana yang umumnya terjadi selama ini,” ungkapnya.
Secara pribadi Senior Vice President Electronic Banking Bank Mandiri, Rahmat Broto Triaji mengatakan, transaksi menggunakan uang kartal dinilai rumit. “Uang tunai itu musuhnya bank, karena susah ngitungnya. Maka kita terus kurangi peran dari uang tunai,” katanya. Sementara itu, General Manager Credit Card Division BRI, Mohamad Helmi mengatakan, perbankan lebih suka jika masyarakat memilih menggunakan transaksi non-tunai. “Cash-less society ini bukan menyingkirkan uang tunai. Karena kita ingin lebih efisien,” kata Helmi.
Kewajiban non cash transaction pertama kali diterapkan pada rekanan Pemprov DKI Jakarta, setelah September 2013 Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengimbau Pemprov DKI menerapkan non cash transaction. Tak lama setelah imbauan tersebut, Pemprov DKI Jakarta mewajibkan seluruh rekanannya melakukan transaksi non tunai melalui bank. Dengan demikian, DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan e-audit secara penuh, sekaligus kewajiban transaksi non tunai.
Data BI mencatat, potensi pengembangan uang elektronik untuk sektor transportasi di Jakarta bisa mencapai Rp 23,4 triliun per tahun. Dengan adanya GNNT, BI berharap, transaksi non tunai bisa menyumbang 1,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang saat ini sebesar Rp 8.241,86 triliun. Selain meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, penerapan transaksi nontunai mampu berkontribusi terhadap penerimaan pajak. Data dari transaksi nontunai dapat digunakan pemerintah dalam menggali potensi penerimaan.
Namun yang perlu diingat, maraknya penggunaan uang elektronik tidak akan serta merta menghilangkan peran uang kartal. Meski baru-baru ini muncul bitcoin, uang virtual, beberapa ahli meragukan transaksi non tunai akan melenyapkan uang kartal. “Seperti halnya cek, kartu debit, kartu kredit dan bitcoin tidak akan mengakhiri kebutuhan kita akan uang tunai,” kata Jeffery Born, profesor keuangan di Northeastern University D’Amore-McKim School of Business. Born juga mengatakan, kenyamanan transaksi elektronik tidak selalu memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Ketika kita membayar dengan uang tunai, tak seorang pun harus tahu siapa kita. Berbeda dengan transaksi elektronik dimana identitas pengirim dan penerima akan lebih mudah dilacak. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi mereka yang ingin privasi terjaga saat membeli. Inilah alasan mengapa uang tunai tidak akan mati.