Oleh: Prayogo P. Harto*
William Gates III, pendiri Microsoft Corp, ditaksir memiliki kekayaan senilai 53 miliar dollar AS. Kalau kita asumsikan 1 dollar AS sama dengan Rp8.600 maka total kekayaan Bill Gates mencapai sekitar Rp460 triliun. Jikalau Anda jadi Bill Gates, kira-kira apa yang Anda lakukan dengan aset mega triliun itu, apakah akan mewariskan semua kepada anak-anak Anda atau menyumbangkannya untuk sosial?
Bill Gates ternyata memilih yang terakhir. Mantan orang terkaya di dunia ini, memutuskan akan mewariskan hampir seluruh kekayaannya untuk tujuan sosial ketika ia meninggal dunia kelak. Sementara ketiga anak Bill dan Melinda Gates –Jennifer, Rory, dan Phoebe — harus puas dengan masing-masing mewarisi 10 juta dollar AS atau hanya sekitar 0,01 persen dari total kekayaan sang ayah.
BERITA TERKAIT
Pilihan mewariskan sebagian kekayaannya kepada masyarakat juga dilakukan Warren Edward Buffett. Pendiri Berkshire Hathaway Inc., lembaga investasi keuangan dunia, ini telah mendermakan 30 miliar dollar AS atau sekitar Rp258 triliun kepada Bill & Melinda Gates Foundation pada 2005. Jumlah ini merupakan 62 persen dari total kekayaan Buffett yang diperkirakan mencapai 48 miliar dollar AS. Setahun kemudian, Buffett malah berkomitmen memberikan 99 persen hartanya untuk Yayasan milik Bill Gates itu.
Tapi ‘kegilaan’ itu ternyata tak dihanya milik Bill Gates dan Buffett. Paling tidak, sudah ada 69 mega miliuner lain yang bergabung dengan Bill untuk menyumbangkan minimal 50 persen kekayaannya sebagai bagian dari kampanye ‘The Giving Pledge’ atau ‘Komitmen Memberi’. Di antara para triliuner dermawan itu adalah Paul G Allern (pendiri Microsoft), Mark Zuckerberg (pendiri Facebook), Steve Case (pendiri AOL), dan Carl Icahn (pemilik Yahoo).
Sepintas apa yang dilakukan Bill Gates dan teman-temannya itu bagi orang awam terdengar ‘gila’. Tetapi sesungguhnya, berabad lalu, para sahabat Nabi Muhammad Saw juga telah berbuat yang relatif sama. Khalifah Usman bin Affan, misalnya, menyerahkan sepertiga hartanya untuk amal. Sementara Khalifah Umar bin Khathab menyumbang separuh hartanya. Khalifah Abu Bakar malah mendermakan seluruh hartanya.
Pertanyaannya sekarang, mengapa para sahabat Rasulullah, juga orang-orang super kaya abad ini mau menyerahkan sebagian bahkan seluruh hartanya untuk tujuan sosial? Jawabannya, karena para Sahabat dan triliuner tadi sudah memahami, ‘derma’ merupakan kunci untuk membuka belenggu diri menuju pintu gerbang ‘kebebasan’.
The Power of Giving
Sebelum melangkah lebih jauh soal kunci menuju ‘kebebasan’, izinkan saya bertanya, sebenarnya apa sih yang Anda cari dalam hidup ini? Boleh jadi, sebagian besar Anda akan dengan cepat menjawab: kebahagiaan. Izinkan saya bertanya lagi, apa sih kebahagiaan itu? Kali ini mungkin banyak dari Anda yang mulai agak bingung dan memberi jawaban berbeda-beda. Ada yang mengatakan, kebahagiaan itu adalah memiliki banyak harta. Yang lain mengatakan, kebahagiaan adalah perasaan yang gembira. Mungkin ada yang bilang, kebahagiaan jika apa yang kita inginkan terpenuhi.
Sayangnya, harta, perasaan gembira, atau keinginan yang terpenuhi, bukanlah kebahagiaan sejati. Ia hanya kebahagiaan semu. Harta, memang bisa memberi perasaan bahagia. Tetapi cuma sesaat. Ketika harta itu hilang maka sirna pula perasaan bahagia kita.
Perasaan gembira pun demikian. Mungkin kita bahagia ketika baru lulus ujian, mendapat kenaikan pangkat, diberi bonus besar pada akhir tahun, dsb. Tetapi itu juga segera berlalu. Setelah lulus ujian dan dihadapkan pada ujian berikutnya, rasa bahagia itu menyusut tergantikan stress. Naik pangkat atau dapat bonus memang membuat senang, namun ketika beban kerja meningkat dan target di depan mata bakal tak tercapai, kebahagiaan pun berganti rasa was-was.
Lantas, keinginan yang tercapai sudah tentu akan memberikan kebahagiaan. Kala Anda sangat ingin punya mobil dan dapat membeli kendaraan impian itu, saya yakin perasaan bahagia Anda akan membumbung setinggi langit. Namun, sayangnya ini hanya sebentar. Lambat laun, saat mobil impian sudah ditangan, akan muncul keinginan-keinginan baru yang membuat mobil idaman tadi tak lagi cukup membuat Anda bahagia.
Jadi, apa kebahagiaan itu? Saya berkesimpulan, kebahagiaan baru tercapai tatkala kita mampu terbebas dari belenggu ‘penjajahan’. Lho, bukankah kita sudah merdeka dari penjajahan. Benar, jika yang dimaksud penjajahan kolonialisme oleh negara lain itu, seperti Portugis, Belanda atau Jepang. Tetapi masih banyak dari kita yang terikat oleh hegemoni penjajah model baru.
Harta adalah salah satu bentuk penjajahan modern. Perbudakan harta membuat kita berlomba-lomba mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Segala cara kita gunakan untuk melipatgandakan harta, kalau perlu dengan menjegal teman atau menyikut rekan. Tetapi tatkala harta telah melimpah ruah, ternyata bahagia tak jua membungah.
Sebaliknya kita malah kian tersiksa, takut harta yang telah terkumpul susah payah bakal lenyap tak berbekas. Maka, kita pun kembali membanting tulang, peras keringat, sikut kiri kanan, sogok sana sini, kalau perlu pakai kekerasan, agar harta makin menimbun. Ketika harta tabah menggunung seiring usia yang menjelang, sakit kronis menyerang kita. Sementara anak dan istri yang kita abaikan demi memburu harta sudah memilih pergi meninggalkan kita. Tiba-tiba, kita pun tersentak, lalu untuk apa semua tumpukan harta itu? Nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tak ada guna.
Sebelum makin terjerat, sebaiknya kita cepat-cepat sadar bahwa harta tak akan bisa membeli kebebasan. Namun bukan berarti harta tak penting. Hanya saja harta seharusnya tidak menjadi tujuan. Harta pada hakikatnya hanya alat. Ia tak lebih dari salah satu sarana yang dapat kita gunakan untuk meniti tangga-tangga kebahagiaan.
Bagaimana caranya? Kalau Anda cermat, sejatinya Usman bin Affan, Umar bin Khathab, Abu Bakar, Bill Gates, Warren Buffett, dll sudah menunjukkan metodenya, yaitu mendermakan hartanya bagi kemaslahatan umat. Sebab, mereka tahu harta bukanlah benda abadi yang akan dibawa sampai mati. Sebaliknya, harta hanya alat untuk mendekatkan diri pada Ilahi. Keyakinan akan ridha Tuhan inilah sejatinya yang membuat kita dapat mendaki puncak kebahagiaan hakiki.
Jadi, alih-alih menumpuk dan diperbudak kekayaan, kita seharusnya berani dan secara sadar melepaskan diri ikatan harta. Indikator sederhananya, makin besar persentase kekayaan yang kita sumbangkan sesungguhnya makin bebaslah kita dari belenggu penjajahan harta. Makin terbebas dari penjajahan maka (seharusnya) makin dekatlah kita pada pintu kebahagiaan.
More Than Just Giving
Hanya saja bukan perkara gampang untuk mampu membebaskan diri dari belenggu penjajahan harta ini. Sebagai gambaran saja, jangankan untuk menyerahkan sebagian harta bagi sosial, realitanya masih banyak kalangan muslim yang enggan sekadar membayar zakat 2,5 persen yang jelas-jelas hukumnya wajib, bukan sunnah layaknya sumbangan sosial. Tak heran jika dalam setahun paling banter, menurut perhitungan Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), total zakat yang mampu dikumpulkan hanya sekitar Rp1 triliun per tahun.
Padahal andai semua kaum muslim di Indonesia mau berzakat, berdasarkan perkiraan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), potensi zakat di Indonesia bisa menembus Rp80 triliun per tahun atau 12 kali dana bailout Bank Century yang menghebohkan itu. Itu baru zakat harta, belum termasuk zakat pertanian yang besarnya 8-10 persen atau zakat rikaz (barang temuan) yang sebesar 20 persen.
Andai jumlah zakat ini ditambah dengan sedekah dari konversi uang yang dipakai untuk kegiatan tidak produktif, angkanya bisa mencapai di atas Rp300. Ambil saja angka konservatif dari Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) yang melansir jumlah pemilik HP di Indonesia sebesar 180 juta orang (Juli, 2011). Katakan saja rata-rata pemilik HP menghabiskan Rp2.000 pulsa per hari untuk kegiatan iseng. Jika angka ini dikonversikan menjadi dana sedekah sosial maka setiap tahun kita bisa mengumpulkan uang Rp360 triliun. Ditambah dengan potensi dana zakat, berarti bakal terkumpul Rp440 triliun per tahun yang niscaya bisa kita gunakan untuk mengentaskan negeri ini dari penjajahan kemiskinan.
Tetapi tentu saja itu semua hanya hitung-hitungan di atas kertas. Sebab, praktik di lapangan, sama-sama sudah kita lihat, jauh panggang dari api. Keterjajahan harta saja masih membelenggu hampir kita semua. Celakanya lagi, kita sendiri yang sengaja menyerahkan diri untuk diperbudak harta dengan memberi 1001 alasan supaya terhindar dari bersedekah. Misalnya, kita mengajukan dalih, "saya akan berderma jika saya sudah menjadi kaya".
Benarkah begitu? Sayangnya tidak. Kekikiran kita untuk bersedekah bukan hanya menjauhkan kita dari meraih pintu-pintu kebahagiaan, tetapi juga membuat kita merasa ‘miskin’ meski kaya. Fakta yang sebenarnya adalah untuk menjadi ‘kaya’, kita harus lebih dahulu bersedekah. Prinsip ini berlaku universal, terlepas dari apa keyakinan Anda, muslim atau nonmuslim.
Tak heran, semua motivator pengembangan diri kelas dunia yang saya kenal meyakini prinsip ini, bahwa untuk menerima (jadi kaya), Anda harus terlebih dahulu memberi (bersedekah). Sebab, ‘memberi’ membuat kita merasa ‘berkelimpahan’. Perasaan ‘berkelimpahan’ inilah sejatinya inti hakiki dari ‘kaya’. Maka makin banyak yang kita berikan sesungguhnya makin berkelimpahanlah kita. Perasaan ‘Kelimpahan’ ini adalah harta yang jauh lebih berharga dari seluruh harta benda para triliuner yang enggan berderma.
Nah, Anda ingin ‘kaya’? Sekarang Anda pasti tahu yang harus Anda lakukan.
*Jurnalis, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Stabilitas Perbankan, Dosen SEBI Economic Islamic School, & Fellowship Paramadina Indika