Jakarta – Tahun ini Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan sejumlah instrumen guna memperdalam pasar uang. Menurut Juru bicara BI Difi A Johansyah, tujuan utamanya adalah stabilitas sistem keuangan yang lebih kokoh.
Pasalnya, jelas Difi, pasar uang sebagai inti dari pasar keuangan menjadi sumber likuiditas komponen pasar keuangan lainnya: pasar saham, pasar obligasi, dan pasar valas. "Kita menyadari bahwa pasar uang merupakan salah satu pilar utama mendorong pasar keuangan secara keseluruhan. Karena, likuiditasnya dari pasar uang sebenarnya," tukas Difi di Jakarta, Jumat (6/1).
Disebutkan Difi, salah satu langkah yang didorong BI, adalah transaksi lindung nilai (hedging) jangka panjang. Sejak bankers dinner awal bulan lalu, BI telah menyatakan keinginannya agar perbankan membuka produk lindung nilai jangka panjang tersebut.
Menurut Difi, belum ada pengajuan produk baru untuk hedging jangka panjang tersebut. Namun, BI tidak khawatir. Pasalnya, hedging valas itu merupakan policy umum yang akan melibatkan Bapepam dan nantinya OJK.
Sementara ini, kata Difi, jika pengusaha ingin hedging dalam negeri agak sulit karena pasar seperti itu belum ada. “Itu yang kita dorong. Pasarnya akan berkembang sendiri kalau sudah ada valas dalam volume besar. Itu yang kita tunggu dari (implementas) PBI DHE (Devisa Hasil Ekspor)," tutur Difi merujuk pada aturan BI mengenai devisa hasil ekspor dan utang luar negeri (ULN) yang wajib parkir di dalam negeri. Aturan yang disebut Difi tersebut memang baru berlaku per 1 Januari 2012 ini.
Selain PBI DHE, hedging valas juga akan terdorong dengan status investment grade. Difi menjelaskan, arus modal masuk akan membuat besarnya permintaan lindung nilai. Ketika permintaan untuk itu besar, perbankan akan terdorong untuk membuat produknya.
"Bank dalam negeri kemudian harus placement valasnya, entah di overnight valas dalam atau luar negeri, atau kredit valas. Selama ini, bank lebih banyak di overnight luar negeri karena di sana ada likuiditas. Di dalam negeri masih ada counterparty risk," tutur Difi. Hal tersebut, lanjut Difi, yang sedang dicoba BI untuk diatasi.
Adapun counterparty risk yang dimaksud merupakan kondisi PUAB di mana bank saling meminjam hanya berdasarkan kepercayaan tanpa jaminan. Karenanya, bank yang dianggap tidak terpercaya limitnya dibatasi atau bunga pinjamannya ditinggikan. "Limit ini bisa distress atau ditutup ketika kepercayaan itu hilang. Makin bagus PUAB, limit itu makin tinggi sehingga pasar uangnya makin likuid," kata Difi.
Karenanya, lanjut Difi, BI kini juga tengah mengembangkan PUAB dengan underlying. Termasuk di dalam pengembangan PUAB konvensional, BI juga mengembangkan pasar uang antarbank syariah (PUAS). Awal bulan ini, BI mengeluarkan sejumlah aturan mendorong PUAS. Sebab, catatan BI memperlihatkan, transaksi PUAS turun 54,54 persen dari 2010 ke 2011, dari volume harian Rp 154 miliar menjadi hanya Rp 70 miliar.
Padahal, transaksi bank syariah dengan BI mencapai Rp 21 triliun, terdiri dari SBSI 9 bulan Rp 3,5 triliun, reverse repo 1 bulan Rp 210 miliar, dan Fasbi syariah Rp 17,4 triliun. Hal tersebut berarti bank syariah masih mengandalkan bank sentral sebagai sumber likuiditas dan tidak mencarinya ke PUAS.
Penurunan volume PUAS, kata Difi, disebabkan bank yang aktif dalam PUAS berkurang dari 8 bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) menjadi hanya 6 saja. Permasalahan lainnya merupakan ketidakpastian bagi hasil dan jaminan pinjaman.
BI kemudian mengeluarkan aturan dalam bentuk surat edaran eksternal untuk Sertifikat Mudharabah Antarbank (Sima) serta Sertifikat Perdagangan Komoditi berdasarkan prinsip syariah antarbank (Sika). Diharapkan, Sika dan Sima dapat mengatasi permasalahan ketidakpastian bagi hasil hingga underlying pembiayaan syariah. BI juga memperkenalkan peran pialang syariah serta memperbolehkan bank asing ikut aktif dalam PUAS.
"Kalau volume harian PUAB itu Rp 11-13 triliun per hari, dengan PUAS Rp 500 miliar, kita quite happy lah," pungkas Difi.