PT PLN (Persero) mengakselerasi transisi menuju energi hijau melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT), elektrifikasi lintas sektor, serta integrasi teknologi pintar di seluruh sistem kelistrikan. Langkah ini menjadi strategi kunci mewujudkan Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat, sekaligus menjawab tantangan global menuju masa depan rendah emisi dan berkelanjutan.
Oleh Romualdus San Udika
Ketika matahari pagi menembus atap-atap panel surya di Nusa Tenggara, deru turbin air di Bengkulu, hingga hembusan angin pemutar kincir angin di Sidrap, di baliknya berjalan sebuah agenda besar: mengubah wajah sistem ketenagalistrikan nasional menjadi rendah emisi. Agenda itu bukan semata tuntutan iklim global, melainkan bagian dari tekad Indonesia menuju energi berdaulat — mandiri, bersih, dan berkelanjutan.
Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kini memposisikan transisi energi hijau sebagai inti dari kebijakan energi nasional. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, PLN menargetkan penambahan kapasitas pembangkit hingga 69,5 gigawatt (GW), dengan 42,6 GW di antaranya berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Angka ini menjadi tonggak baru: untuk pertama kalinya, porsi EBT menyalip pembangkit fosil dalam rencana jangka panjang kelistrikan nasional.
BERITA TERKAIT
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebut RUPTL kali ini sebagai “yang paling hijau dalam sejarah PLN”. “Kita sedang membangun masa depan energi yang bersih, rendah karbon, dan mandiri. Ini bukan sekadar transisi teknologi, melainkan transformasi ekosistem,” ujarnya dalam peluncuran dokumen RUPTL di Jakarta, Juni lalu. PLN, katanya, sedang bergerak “dari batu bara ke baterai”, dari emisi ke efisiensi.
Pemerintah menegaskan, transisi ini tidak akan mematikan industri lama secara tiba-tiba, tetapi akan menumbuhkan sektor baru yang mampu menggantikan sumber fosil dengan energi yang lebih bersih dan efisien. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menilai, bauran EBT yang naik menjadi 34,3 persen pada 2034 akan mengurangi ketergantungan pada impor energi, sekaligus menekan emisi karbon sektor energi hingga separuh dari level 2020. “Kita ingin menumbuhkan ekonomi sekaligus menurunkan emisi. Kedaulatan energi berarti kemandirian dan tanggung jawab,” katanya.
Namun jalan ke sana tidak mudah. Infrastruktur belum merata, pendanaan masih menumpuk di sektor fosil, dan kesiapan teknologi menjadi tantangan tersendiri. Karena itu, akselerasi energi hijau dilakukan lewat tiga jalur utama: pemanfaatan EBT, elektrifikasi lintas sektor, dan integrasi teknologi pintar. Tiga poros inilah yang kini menjadi fondasi sistem energi Indonesia ke depan.
Sistem Kelistrikan Rendah Emisi
Pembangunan sistem kelistrikan rendah emisi menjadi jantung dari transisi energi nasional. Dalam RUPTL 2025–2034, PLTS menjadi kontributor terbesar dengan 17,1 GW, disusul PLTA 11,7 GW, PLTB 7,2 GW, dan PLTP 5,2 GW. Bahkan untuk pertama kalinya, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebesar 0,5 GW masuk dalam perencanaan PLN. Kehadiran PLTN ini menandai babak baru diversifikasi energi nasional.
Selain pembangkit, PLN juga menyiapkan 10,3 GW sistem penyimpanan energi (storage) yang terdiri atas 6 GW pumped storage PLTA dan 4,3 GW BESS (Battery Energy Storage System). Teknologi penyimpanan ini dirancang untuk menjaga kestabilan pasokan saat pembangkit surya dan angin berhenti menghasilkan listrik, misalnya pada malam hari atau saat cuaca buruk. “Storage adalah game changer untuk energi terbarukan,” ujar Darmawan.
Data PLN menunjukkan, bauran EBT nasional kini sudah mencapai sekitar 15,9 persen pada 2025, naik signifikan dari 12 persen lima tahun lalu. Target berikutnya, 21 persen pada 2030 dan 34,3 persen pada 2034. Bila terealisasi, sistem kelistrikan Indonesia akan menghindari emisi lebih dari 200 juta ton CO₂ per tahun — setara dengan emisi total seluruh kendaraan bermotor di Jawa-Bali saat ini.
Namun pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengingatkan bahwa realisasi proyek EBT selama ini masih menghadapi hambatan serius. “Banyak proyek EBT yang tertunda akibat lelang lambat dan proses PPA berbelit. Target boleh ambisius, tapi tanpa reformasi kebijakan dan percepatan investasi, hasilnya tidak akan signifikan,” ujarnya.
Selain itu, sebagian proyek EBT berlokasi di wilayah terpencil yang jauh dari pusat beban listrik. Artinya, transmisi hijau bertegangan tinggi harus dibangun untuk menyalurkan daya. PLN memperkirakan investasi untuk transmisi hijau mencapai lebih dari Rp500 triliun dalam sepuluh tahun ke depan — proyek besar yang membutuhkan kolaborasi swasta dan dukungan internasional.
Mengalir Dari Kota Hingga Desa
Akselerasi energi hijau juga bergerak melalui elektrifikasi lintas sektor. Data PLN menunjukkan penjualan listrik nasional pada semester I 2025 mencapai 155,62 TWh, naik 4,36 persen dibanding tahun sebelumnya. Sektor rumah tangga menyumbang 43 persen konsumsi, diikuti industri 31 persen, bisnis 17 persen, dan sektor lainnya 9 persen. Kenaikan terbesar justru datang dari pelanggan industri yang mulai beralih ke listrik bersih.
Pertumbuhan itu didorong oleh meningkatnya minat industri terhadap Renewable Energy Certificate (REC), instrumen legal yang menjamin penggunaan listrik dari pembangkit EBT. Sejak diluncurkan pada 2020, penjualan REC sudah menembus 13,68 TWh hingga pertengahan 2025, dengan pelanggan korporasi besar seperti Unilever, Pertamina, dan Danone menjadi pembeli utama. Harga satu unit REC setara dengan Rp 35.000 per 1 MWh, dan hasil penjualannya digunakan untuk memperluas proyek EBT baru.
Elektrifikasi juga menyentuh sektor transportasi. PLN mencatat pertumbuhan titik charging station kendaraan listrik mencapai lebih dari 1.200 unit di 150 kota pada 2025, meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Program Electric Vehicle Ecosystem yang diusung pemerintah mulai mendorong penggunaan mobil dan motor listrik, menghemat konsumsi BBM hingga 35 juta liter per tahun dan menurunkan emisi karbon lebih dari 90.000 ton CO₂.
Sementara di pedesaan, elektrifikasi dilakukan lewat program Listrik Desa (Lisdes) yang kini lebih banyak mengandalkan energi terbarukan. Di NTT dan Papua, misalnya, PLN membangun microgrid PLTS untuk melistriki 600 desa terpencil tanpa jaringan utama. Dampaknya nyata: kegiatan ekonomi meningkat, jam belajar anak bertambah, dan biaya bahan bakar diesel menurun drastis.
Namun tantangannya masih besar. Banyak sistem distribusi di daerah belum siap menampung peningkatan beban akibat elektrifikasi cepat. “Kita harus memperkuat jaringan di sisi hilir agar listrik tidak hanya tersedia, tetapi juga stabil,” kata Darmawan. Di sisi lain, masyarakat perlu diedukasi soal efisiensi dan keselamatan penggunaan listrik, terutama di sektor pertanian dan perikanan yang mulai beralih ke peralatan listrik.
Intergrasi Teknologi Pintar
Jika EBT adalah jantung sistem energi hijau, maka teknologi pintar adalah otaknya. PLN kini tengah mengintegrasikan teknologi smart grid dan smart meter di sejumlah wilayah. Sistem ini memungkinkan pemantauan beban listrik secara real-time dan penyesuaian otomatis sesuai kebutuhan, mengurangi kehilangan energi (losses) dan meningkatkan efisiensi hingga 10 persen.
Proyek percontohan Battery Energy Storage System (BESS) juga tengah berjalan di Bali, Lombok, dan Batam. BESS berkapasitas 50 MWh di Bali akan menjadi yang pertama terhubung langsung dengan jaringan nasional. Teknologi ini memungkinkan listrik dari PLTS disimpan di siang hari dan digunakan pada malam hari tanpa gangguan kestabilan jaringan.
Selain itu, PLN mengembangkan Green Transmission Supergrid, jaringan interkoneksi lintas pulau untuk menghubungkan sumber EBT ke pusat permintaan. Konsep ini mencakup pembangunan transmisi HVDC dari Kalimantan, Sulawesi, hingga Jawa-Bali, dengan total investasi lebih dari Rp 2133 triliun selama dekade mendatang. Pemerintah membuka peluang bagi investor swasta melalui skema public–private partnership (PPP) dan green bond.
Namun integrasi teknologi pintar bukan tanpa tantangan. Biaya investasi BESS masih tinggi, sekitar US$ 300–400 per kWh, meski diproyeksikan turun 30 persen dalam lima tahun ke depan. Selain itu, digitalisasi sistem membutuhkan peningkatan kapasitas SDM dan infrastruktur siber yang andal untuk mencegah risiko serangan siber terhadap jaringan listrik nasional.
Kendati demikian, manfaatnya nyata. Menurut PLN, penerapan smart grid di 12 kota besar berhasil menurunkan gangguan jaringan hingga 40 persen, mempercepat waktu pemulihan saat padam, dan memudahkan konsumen mengatur konsumsi melalui aplikasi digital. “Smart grid akan menjadi tulang punggung transformasi PLN menuju perusahaan energi modern berbasis digital,” kata Darmawan.
Dampak Sosial dan Kedaulatan Energi
Transisi energi hijau membawa dampak sosial dan ekonomi yang luas. PLN memperkirakan, implementasi RUPTL 2025–2034 akan menciptakan lebih dari 836 ribu lapangan kerja baru, dengan 760 ribu di antaranya merupakan green jobs di bidang konstruksi, manufaktur, dan operasional pembangkit EBT. Sektor tenaga kerja lokal di daerah pun diharapkan menikmati limpahan peluang ini.
Selain membuka lapangan kerja, elektrifikasi desa dengan EBT meningkatkan produktivitas masyarakat. Di Flores, misalnya, warga desa yang sebelumnya hanya menikmati listrik enam jam per hari kini bisa berproduksi hingga malam berkat PLTS 500 kWp. Usaha kecil seperti penggilingan kopi dan pendingin ikan kini dapat beroperasi stabil. “Kami tidak perlu beli solar lagi, listriknya cukup,” kata Yosep Nggawa, warga Desa Bajawa.
Dari sisi industri, permintaan listrik hijau makin tinggi. Menurut data PLN, 1.074 pelanggan korporasi telah beralih ke layanan listrik hijau hingga pertengahan 2025, naik 18 persen dibanding tahun sebelumnya. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada reputasi, tapi juga efisiensi biaya karena tarif REC cenderung lebih stabil dibanding harga energi fosil.
Secara makro, akselerasi energi hijau memperkuat kedaulatan energi nasional. Ketergantungan impor minyak dan gas terus menurun, sementara ekspor listrik bersih mulai dirintis, terutama dari proyek Green Industrial Park Kalimantan yang memanfaatkan tenaga hidro dan surya. “Dengan EBT, Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan sendiri, tapi juga bisa menjadi eksportir energi bersih,” ujar Menteri Bahlil.
Namun agar manfaatnya merata, pemerintah perlu memastikan transisi berjalan adil (just transition). Pekerja sektor batu bara dan gas perlu mendapat pelatihan ulang, sementara tarif listrik bagi masyarakat kecil tetap terjangkau. Energi berdaulat hanya akan berarti bila seluruh lapisan masyarakat ikut menikmati hasilnya.
Jalan Panjang Menuju Kemandirian Energi
Energi berdaulat bukan sekadar slogan, melainkan komitmen untuk mengelola sumber daya nasional demi kemakmuran rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Akselerasi energi hijau—melalui pemanfaatan EBT, elektrifikasi lintas sektor, dan teknologi pintar—menjadi pijakan penting menuju masa depan itu.
PLN dan pemerintah kini memikul beban ganda: menjaga pasokan listrik tetap andal sekaligus menurunkan emisi. Keberhasilan transisi ini bergantung pada kolaborasi semua pihak: pemerintah yang konsisten, pasar yang terbuka, investor yang percaya, dan masyarakat yang mendukung.
Seperti terang yang menyebar dari satu rumah ke rumah lain, langkah kecil menuju energi bersih akan menjadi gelombang besar bila dijalankan bersama. Indonesia kini tengah menyalakan lentera kedaulatan energinya sendiri — agar cahaya yang dinikmati hari ini menjadi warisan bagi generasi esok. ***





.jpg)










