Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat sejak Oktober 2011 hingga Oktober 2011, sebanyak 24 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bangkrut dan terpaksa harus dilkuidiasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Adapun faktor penting yang mempengaruhi kebangkrutan BPR adalah kecurangan yang dilakukan oleh pemilik bank.
"Salah satu faktor penting yang buat BPR sakit dan ditutup adalah berhubungan dengan kelakuan pemiliknya. Paling banyak begitu dan memang ini godaan yang sangat sulit di masyarakat kita," ujar Gubernur BI Darmin Nasution saat memberikan sambutan dalam peluncuran Buku Generic Model Apex BPR dan Buku Model Bisnis BPR di Gedung BI, Jakarta, Senin (5/12).
Selain itu, Darmin juga mengatakan bahwa, pemilik BPR memiliki tekanan moral dan subjektivitas untuk memberikan pinjaman kepada pihak yang sebetulnya tidak layak. Kredit yang tidak layak ini, akhirnya mendatangkan kredit layak. Sehingga pemilik bank kemudian mulai menciptakan kredit fiktif. "Dana fiktif diciptakan itu adalah awal bencaa BPR," ujarnya.
BERITA TERKAIT
Untuk mengatisipasi hal tersebut, BI bekerja sama dengan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbianda) dan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) membuat buku "Generic Model Apex BPR dan Buku Model Bisnis BPR. Buku Generic Model Apex berisi pedoman umum dalam menginisiasi pembentukan dan pelaksanaan operasional Apex BPR. Sedangkan buku Model Bisnis BPR berisi pedoman bagi pengelolaan bisnis BPR yang sehat dan berkesinambungan. "Itu sebabnya kita buat buku pintar yang isinya bagaimana mulai buat BPR yg sederhana saja. Kita tidak ingin belum apa-apa over wxposurenya terlalu mahal," ujar Darmin.
Kebutuhan usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terhadap kredit modl kerja belum secara optimal digarap perbankan. Oleh karena itu guna meningkatkan layanan perbankan diperlukan sinergi antara bank umum dan BPR dalam memberikan kredit, melalui kerjasama Apex BPR.
Darmin menuturkan bank apex atau bank pengayom ini diperlukan untuk memberikan bantuan jika terjadi ketidakcocokan (missmatch) dalam bisnis dan pemberian kredit UMKM oleh BPR, "Bank pengayom kita perlukan karena kalau BPR ini mulai berbisnis beri kredit UMKM akan ada missmatch, yang belum tentu karena kesalahan, tapi karena satu dan lain hal. Sehingga diperlukan bank pengayom," tutur Darmin.
Saat ini, telah ada empat Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang mengukuhkan menjadi apex BPR, yakni Bank Jatim, Bank Nagari, bank Riau Kepri dan BPD Kalimantan Selatan. Darmin berharap langkah dari keempat bank tersebut menjadi inspirasi bagi bank daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Untuk menggenjot hal tersebut, Darmin menuturkan BI berencana untuk memberikan insentif terhadap bak yang menjai apex bank. "Rumus kerjasama paling sederhana dan benar adalah saling menguntungkan. kalau hanya satu pihak yang untung, tidak ada yang langgeng," ujarnya.
Ketua DPP Perbarindo, Joko Suyanto menuturkan, ditengah persaingan yang ketat, kemitraan dengan BPD adalah salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing dan pelayanan nasabah. Adanya kerjasama ini, lanjut Joko, dapat membangun hubungan bisnis yang menguntungkan sehingga dapat menjamin kelangsungan bisnis keduanya untuk melayani wilayah dan masyarakat yang belum terlayani dalam hal perbankan. "Apex bukan hanya bermakana pada pulling of fund, kerjasama pembiayaan atau fungsi lainnya, tapi lebih bermakna lagi karena dengan adanya Apex, BPR merasa miliki induk yang mengayomi dan terhubung dengan industri perbankan secara nasional," ujar Joko
Sementara itu, Ketua Asbanda, Winny Erwinda menututurkan fungsi utama Apex BPR adalah membantu BPR mengatasi kesulitan likuiditas dan kerjasama pembiayaan melalui linkage program. Menurutnya, yang terpenting adalah peran serta Pemda dalam pengembangannya. "Pemda banyak telah sampaikan komitmen untuk tingkatkan modal, namun ada beberapa kendala terkait penambahan setoran modal khususnya dukungan legislatif, meknaismenya panjang," jelas Winny.
Berdasarkan Data BI, saat ini terdapat 1683 BPR dengan 4122 jaringan kantor. Total aset per Oktober sebesar Rp 53, 53 triliun, kredit Rp 40,26 triliun dan simpanan Dana Pihak Ketiga (DPK) Rp 36, 56 triliun.