Dari eksplorasi panas bumi hingga mobil listrik di jalanan kota, negeri ini sedang membangun rantai energi yang utuh—dari hulu sampai hilir—agar setiap tetes energi yang mengalir berasal dari kekuatan sendiri. Langkah ini bukan sekadar menjaga pasokan, tetapi juga menegakkan kedaulatan ekonomi dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.
Oleh Romualdus San Udika
Ketika matahari mulai naik di langit Kamojang, semburan uap panas bumi dari perut bumi menggerakkan turbin yang tak pernah lelah. Ribuan kilometer di utara, di Blok Rokan, minyak mentah dari perut bumi masih mengalir menuju kilang. Sementara di Jakarta, ribuan kendaraan listrik melaju tanpa suara, ditenagai listrik yang semakin bersih. Di antara semuanya, ada satu benang merah yang kian kuat — swasembada energi.
Sebuah cita-cita lama yang kini kembali menjadi agenda nasional: menguasai seluruh rantai nilai energi dari hulu hingga hilir, agar Indonesia tak lagi sekadar pasar, tapi pemain utama di panggung energi dunia.
Menambatkan Kedaulatan dari Hulu
Selama puluhan tahun, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil impor menjadi persoalan klasik. Namun, arah baru kini digerakkan. Pemerintah menegaskan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 bukan berarti mematikan potensi energi primer domestik, tetapi memanfaatkannya secara bijak dan efisien.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 3.686 gigawatt (GW), meliputi surya 3.294 GW, hidro 95 GW, angin 155 GW, bioenergi 57 GW, dan panas bumi 24 GW. Namun, yang baru dimanfaatkan baru sekitar 13,1 GW atau 0,3 persen dari total potensi.
“Kita memiliki kekayaan energi yang luar biasa. Tantangan kita bukan pada sumber daya, tetapi bagaimana mengelolanya dari hulu ke hilir agar memberi nilai tambah bagi bangsa,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2025, medio Septermber 2025 lalu.
Langkah strategis mulai terlihat. PT PLN (Persero) memperkuat peran domestik dalam eksplorasi panas bumi dan bioenergi. Di Kamojang dan Lahendong, kapasitas PLTP terus ditingkatkan hingga mencapai 2.355 MW pada 2025. PLN juga bekerja sama dengan Pertamina Geothermal Energy untuk mengembangkan proyek co-generation listrik dan hidrogen hijau di Kamojang dan Ulubelu — bagian dari rencana besar menjadikan Indonesia sebagai produsen hidrogen hijau di Asia Tenggara.
Di sisi lain, sektor minyak dan gas (migas) masih menjadi tulang punggung energi nasional. SKK Migas mencatat produksi minyak Indonesia mencapai 613 ribu barel per hari pada semester I 2025, sementara gas bumi sekitar 5.800 MMSCFD. Meski belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan dalam negeri, berbagai proyek baru seperti Tangguh Train 3 dan Indonesia Deepwater Development (IDD) diharapkan menekan ketergantungan impor energi.
“Konsep kedaulatan energi bukan berarti menolak impor, tapi memastikan kebutuhan nasional bisa dipenuhi dari sumber dalam negeri sejauh mungkin,” kata Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, dalam persnyataan resmi, awa Agustus 2025 lalu.
Transformasi ke Hilir: Listrik Sebagai Bahasa Baru Energi
Jika di hulu Indonesia berupaya mengolah sumber daya, maka di hilir sedang terjadi revolusi senyap — electrification lifestyle. PLN mencatat konsumsi listrik nasional tumbuh 5,2 persen pada 2025, menembus 325 TWh. Pertumbuhan tertinggi datang dari sektor rumah tangga dan transportasi, seiring meluasnya adopsi kendaraan listrik dan kompor induksi.
“Transisi dari energi impor ke energi domestik terjadi bukan hanya di pembangkit, tapi di dapur dan jalan raya. Ketika masyarakat beralih ke listrik, ketergantungan pada impor minyak otomatis menurun,” ujar Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dalam laporan kinerja semester I 2025.
PLN kini gencar mendorong program “Go Electric”, yang mencakup Electric Vehicle Ecosystem, Electric Cooking Movement, dan Electrifying Agriculture. Di Jawa Tengah, lebih dari 30 ribu rumah tangga telah beralih menggunakan kompor induksi. Sementara di Sulawesi Selatan, proyek electrifying fishery membantu nelayan menyimpan hasil tangkapan dengan freezer listrik, menghemat hingga 70 persen biaya solar.
Sektor transportasi juga menjadi arena perubahan cepat. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah kendaraan listrik mencapai 170 ribu unit pada pertengahan 2025, naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Untuk mendukungnya, PLN telah membangun 1.200 SPKLU di lebih dari 150 kota, dan menargetkan 5.000 titik pengisian pada 2030.
“Kita ingin seluruh lapisan masyarakat menikmati manfaat energi bersih. Elektrifikasi bukan gaya hidup baru, melainkan bagian dari keadilan energi,” tambah Darmawan.
Dari Batu Bara ke Baterai: Hilirisasi Energi Domestik
Kedaulatan energi juga menuntut nilai tambah di dalam negeri. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai pengekspor bahan mentah energi: batu bara, LNG, dan minyak mentah. Namun kini, paradigma berubah. Pemerintah dan BUMN energi mulai mengalihkan fokus dari ekspor bahan mentah ke hilirisasi berbasis teknologi.
Kementerian Investasi melaporkan, hingga 2025 terdapat 36 proyek hilirisasi nikel dan baterai listrik dengan total nilai investasi lebih dari US$ 25 miliar. Di Morowali dan Halmahera, pabrik smelter dan baterai EV tengah dibangun untuk mendukung rantai pasok kendaraan listrik nasional.
“Dulu kita kirim bahan mentah ke luar negeri, sekarang kita ekspor nilai tambah,” kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Jakarta, 1 September 2025.
PLN pun menyiapkan pasokan listrik hijau bagi kawasan industri tersebut melalui jaringan green industrial grid, yang menghubungkan sumber energi bersih di Sulawesi dan Kalimantan.
Selain baterai, sektor bioenergi mulai menapaki fase baru. Program co-firing batu bara dengan biomassa di 52 PLTU PLN berhasil menggantikan 2 juta ton batu bara per tahun dengan pelet kayu, sekam padi, dan sampah kota. Program ini tidak hanya menurunkan emisi, tapi juga membuka lapangan kerja baru di sektor kehutanan sosial dan pertanian.
Menjaga Ketahanan dan Keberlanjutan
Swasembada energi tidak hanya soal produksi, tetapi juga soal ketahanan dan efisiensi. Pemerintah melalui ESDM menargetkan penghematan energi nasional sebesar 17 persen pada 2030 melalui penerapan teknologi efisien dan edukasi publik.
PLN telah memulai implementasi smart grid dan smart meter di 15 kota besar, yang mampu menekan kehilangan energi hingga 12 persen.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai bahwa arah kebijakan energi Indonesia sudah berada di jalur yang benar. “Kita melihat pergeseran dari energi berbasis impor menuju energi domestik yang berkelanjutan. Tantangannya tinggal di eksekusi: mempercepat investasi dan memastikan tarif tetap terjangkau,” ujarnya dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2025.
Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan potensi ekonomi hijau Indonesia dapat menciptakan lebih dari 1,1 juta lapangan kerja baru hingga 2040, terutama di sektor pembangkit EBT, manufaktur peralatan listrik, dan konstruksi jaringan energi.
Menyalakan Lentera Kemandirian
Kemandirian energi bukanlah mimpi baru, melainkan perjalanan panjang bangsa. Dari sumur minyak di Cepu hingga turbin angin di Sidrap, dari PLTP Kamojang hingga charging station di Surabaya — semuanya adalah simpul dari satu upaya besar: memastikan setiap watt energi berasal dari kekuatan sendiri.
Indonesia kini tidak lagi hanya memikirkan “bagaimana menyalakan lampu”, tapi juga “bagaimana menjaga cahayanya tetap milik sendiri”.
Swasembada energi berarti menjaga kedaulatan ekonomi, lingkungan, dan masa depan.
“Energi berdaulat bukan sekadar istilah teknis. Ia adalah bentuk cinta tanah air dalam wujud yang paling nyata: berdiri di atas kaki sendiri,” tutup Darmawan Prasodjo dalam pidatonya di PLN Energy Transition Summit 2025. ***





.jpg)










