BI tengah menyiapkan aturan yang mewajibkan dana-dana hasil ekspor yang disimpan di bank luar negeri untuk dipindahkan ke perbankan nasional. Tujuannya adalah agar benteng pertahanan rupiah bisa makin kuat. Meski demikian ada sejumlah kekhawatiran mengenai teknis aturan yang bisa memberatkan dunia usaha.
Oleh : Syarif Fadilah, Romualdus San Udika
BERITA TERKAIT
Pergerakan rupiah mendadak liar pada pertengahan bulan lalu dan nyaris membuyarkan penguatan yang terjadi hampir sepanjang tahun ini. Krisis di Eropa dan AS –yang awalnya diprediksi tidak terlalu berpengaruh– mulai menunjukkan dampaknya pada nilai tukar rupiah.
Nilai rupiah terhadap dollar AS melemah hingga menyentuh level Rp9.040 per dollar AS pada tanggal 20 September lalu, padahal sebelumnya masih bertengger Rp8.870 per dollar AS. Bank Indonesia tentu langsung turun tangan agar pelemahannya tidak terus berlangsung dan pastinya cadangan devisa akan menjadi korbannya. Hasilnya sampai minggu ketiga rupiah masih bisa dikendalikan di bawah 9.000 per dollar AS. Nilai tukar rupiah juga masih menguat sebesar 1,89 persen pada sepanjang Januari hingga 21 September 2011.
Otoritas tentunya tak ingin kondisi seperti itu terus berulang, setiap ada guncangan sedikit rupiah melemah dan BI harus mengintervensinya demi menjaga kestabilan. Fluktuasi nilai tukar yang relatif singkat saja akan menyedot dana intervensi yang tidak sedikit.
Untuk itu, BI menyiapkan regulasi yang mengharuskan para eksportir nasional untuk menyimpan dananya di lembaga keuangan dalam negeri. Bahkan dana-dana hasil ekspor yang sebelumnya lebih suka diparkir di luar negeri selama ini diwajibkan untuk dipindahkan ke Indonesia. Dengan demikian, nantinya akan makin banyak dollar AS yang masuk ke sistem keuangan nasional dan jika hal itu dikonversi ke mata uang rupiah tak pelak akan terus menguatkan nilai tukar RI itu. Bagaimana tidak, menurut data BI saja tahun lalu sebanyak 32,5 miliar dollar AS dana hasil ekspor orang Indonesia tidak masuk dalam sistem perbankan nasional.
Dengan cadangan devisa yang hingga akhir Agustus mencapai 124,6 miliar dollar AS, tertinggi sepanjang masa, maka tambahan dana ekspor yang di luar negeri itu akan memperkuat posisi cadangan devisa. Dus, pada akhirnya itu akan menambah kekuatan pada benteng pertahanan rupiah.
“Melalui kebijakan baru tersebut, dana tersebut harus masuk ke sistem perbankan nasional. Mengacu data tahun lalu yang mencapai 32,5 miliar dollar yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan arus portofolio asing sebesar 15,7 miliar dollar,” ujar Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Sejatinya jurus repatriasi yang sudah lama didengung-dengungkan para pengamat, memang sudah disiapkan oleh Bank Indonesia jauh sebelum ini. Pasalnya tahun lalu Indonesia juga mengalami situasi yang persis sama. Aliran dana asing yang deras dan tak terbendung telah menaikkan posisi rupiah jika dibandingkan dollar AS ke posisi di kisaran 9.000 pada pertengahan tahun lalu.
Waktu itu, karena tidak mau mengambil risiko rupiah melemah mendadak dan membuat ekonomi ambruk seperti tahun 1998, BI menggandeng otoritas moneter di kawasan Asia Tenggara beserta China, Jepang dan Korea. Dalam kesepakatan yang disebut Chiang Mai Inisiatif Multilateralisasi (CWMM), BI bisa mendapatkan bantuan pasokan dollar AS dari negara-negara tersebut jika kurs mata uangnya dinilai dalam bahaya. Setahun belakangan ini, otoritas moneter dan fiskal Indonesia juga telah melakukan langkah antisipatif untuk melindungi ekonomi dari kemungkinan capital outflow jika kondisi global makin memburuk. Salah satu kebijakan yang dipilih adalah peraturan-peraturan untuk membatasi utang luar negeri dari perusahaan-perusahaan lokal.
Kini BI siap kembali membentengi rupiah dengan memaksa eksportir untuk menempatkan dana-dananya di perbankan dalam negeri. “Kami ingin memastikan bahwa pendapatan ekspor harus melalui kantor bea dan cukai yang sesuai dengan sistem perbankan,” kata Difi A Johansyah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI.
Untuk itu, BI akan menggandeng bea cukai untuk mengawasi perusahaan-perusahaan yang memiliki pendapatan ekspor dari eksportir terbesar dunia di bidang batubara termal, timah, dan minyak sawit.
Tidak sedikit kalangan yang mendukung rencana tersebut. Analis dari Bahana Securities, Teguh Hartanto mengatakan, langkah yang diambil bank sentral itu dapat menambah likuiditas pasar domestik dan mencegah perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk memiliki utang di luar negeri ketika ekonomi global memburuk. “Likuiditas akan membaik. Nilai tukar rupiah juga akan lebih stabil,” kata Teguh yang memperkirakan langkah yang akan membawa lebih dari 30 miliar dollar AS dana kembali ke Indonesia dan dapat mengendalikan rupiah hingga di bawah Rp 8.000 per dollar AS.
Selain itu, aturan yang membatasi pinjaman ke luar negeri akan memberikan dampak positif bagi perbankan dalam negeri karena jumlah kreditnya akan meningkat. “Jika mereka ingin meminjam, mereka dapat meminjamnya ke bank-bank lokal. Dengan membaiknya likuditas, biayanya juga jadi lebih murah dan bank-bank lokal akan jadi lebih kompetitif,” lanjut Teguh.
Dalam tujuh bulan pertama tahun ini, ekspor Indonesia mencapai 116 miliar dollar AS atau naik 36,5 persen dari periode yang sama tahun lalu.
DIAJAK BERDISKUSI
Namun demikian aturan yang rencananya akan dirilis Oktober itu juga menyimpan risiko yaitu Indonesia bisa dianggap menerapkan kontrol devisa. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi meminta dunia usaha diajak bicara mengenai rencana Bank Indonesia memberlakukan aturan mengenai lalu lintas devisa itu. Menurut dia, pada dasarnya, dunia usaha tidak menolak aturan tersebut, meskipun ada sejumlah kekhawatiran mengenai teknis aturan yang mungkin dapat memberatkan dunia usaha.
Kekhawatiran yang paling digarisbawahi adalah likuiditas dana yang harus dimasukkan ke bank dalam negeri tersebut. “Mereka (BI) sudah katakan pada saya, setelah masuk, uang itu bisa kita tarik lagi untuk bayar utang (di bank luar). Jadi cuma dicatat saja. Tapi kan bank di luar bisa saja nggak percaya. Kalau ternyata devisa dikontrol dan uangnya nggak bisa keluar lagi, ini yang bahaya,” tutur Sofjan.
Jika dana tersebut tidak dapat segera dikeluarkan, Sofjan khawatir ke depannya bank-bank manca negara tak mau meminjamkan uang pada pengusaha Indonesia. Saat ini, pengusaha memang lebih memilih meminjam uang di bank asing sebab, bunganya lebih rendah dibanding bank lokal. “Kita pinjam dengan rupiah 12 persen, kalau dollar AS 9 persen. Pinjam di luar negeri cuma 3 persen,” kata Sofjan.
Ketentuan lain yang disoroti dalam aturan tersebut ialah mengenai pelaporan kredit ekspor atau letter of credit (L/C). Untuk kontrak ekspor yang sudah berjalan bertahun-tahun, pengusaha seringkali tidak lagi mempunyai L/C. “Kalau yang sudah lama seperti ke Jepang, ke mana (pelaporannya), mereka telepon, transfer, kita langsung kirim. Tidak ada L/C-nya, ini nanti bagaimana caranya?” tanya Sofjan.
Meskipun demikian Sofyan mengatakan bahwa pengusaha mengerti tujuan BI mengatur lalu lintas devisa. Namun para pengusaha hanya meminta pelaksanaannya dan bentuk aturannya dibuat dengan hati-hati dan dengan melibatkan pembicaraan dengan dunia usaha.
“Harus sosialisasi. Kalau dengan sosialisasi, tujuan baiknya bisa dicapai. Kalau tidak, malah bisa menyulitkan pengusaha. Pada dasarnya memang merugikan devisa ditaruh di bank asing dan tidak masuk ke Indonesia, itu saya setuju,” papar Sofjan.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengaku pemerintah saat ini memang tengah membuka dialog dengan eksportir untuk membicarakan rencana BI tersebut. Pembicaraan ini yang kemudian akan menjadi masukan mengenai peluang dan kondisi yang harus dipenuhi perbankan dalam negeri sekaligus menjadi masukan teknis aturan yang dibuat BI. SP