Bagi Indonesia, kedaulatan energi tidak hanya diukur dari jumlah megawatt yang dihasilkan, tetapi dari seberapa jauh listrik menjangkau mereka yang paling jauh. Melalui komitmen Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat, PLN menghidupkan semangat pemerataan dengan menghadirkan listrik di wilayah 3T—tertinggal, terdepan, dan terluar—sebagai fondasi bagi ekonomi rakyat, pendidikan, dan kesehatan. Di bawah langit timur Indonesia, energi kini bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang terus menyala.
Oleh Romualdus San Udika
Malam di Desa Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, kini tak lagi sunyi gulita. Di beranda rumah kayu miliknya, Yosepha Lete (42) menyalakan lampu neon yang menggantung di langit-langit. Anak-anaknya bisa belajar tanpa harus berteman asap pelita minyak tanah. “Dulu gelap total, hanya pakai lampu botol. Sekarang terang sekali,” ujarnya tersenyum.
Perubahan itu terjadi sejak jaringan listrik PLN menjangkau desanya pada pertengahan 2024. Sejak saat itu, warung kecil miliknya tak hanya buka siang, tapi juga malam. Penjualan meningkat dua kali lipat. “Listrik membuat hidup kami maju, tidak takut lagi malam-malam,” kata Yosepha.
BERITA TERKAIT
Kisah seperti Yosepha bukan satu-satunya. Di banyak titik terpencil Indonesia Timur—dari Pulau Lembata di NTT, Kei Besar di Maluku Tenggara, hingga Nabire di Papua—listrik telah menjadi jembatan keadilan sosial. Hadirnya energi di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) bukan sekadar menghidupkan lampu, melainkan menggerakkan ekonomi rakyat, mengubah pola pendidikan, hingga memperkuat layanan kesehatan dasar.
Inilah wajah nyata dari energi berkeadilan—konsep yang menempatkan akses listrik sebagai hak dasar warga, bukan kemewahan.
Menerangi Seribu Pulau
Di provinsi kepulauan yang terdiri atas 1.192 pulau ini, tantangan elektrifikasi bukan perkara kecil. Topografi bergunung, jarak antar-pulau yang berjauhan, dan kepadatan penduduk rendah membuat investasi infrastruktur energi kurang menarik bagi swasta. Namun bagi PLN, NTT justru menjadi laboratorium keadilan energi.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebut bahwa “pembangunan listrik di NTT adalah bentuk nyata komitmen menghadirkan energi berkeadilan. Kami tidak melihat dari sisi komersial semata, tetapi sebagai tanggung jawab negara untuk menghadirkan terang di seluruh pelosok negeri.”
Hingga September 2025, rasio elektrifikasi NTT mencapai 97,8 persen, naik signifikan dari 85 persen lima tahun lalu. Capaian itu didorong oleh program Listrik Desa (Lisdes) PLN dan Bantuan Penerangan Berbasis Energi Surya (BPBL) dari Kementerian ESDM.
Sebanyak 83 desa di NTT kini menikmati listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal berkapasitas 50–500 kWp. Di Pulau Adonara dan Sabu Raijua, PLN bahkan membangun sistem hybrid solar-diesel untuk menjaga kontinuitas pasokan.
Menurut General Manager PLN Unit Induk Wilayah NTT, Agustinus Jatmiko, strategi hibridisasi adalah solusi paling realistis. “Kami ingin tidak ada lagi daerah gelap di NTT. Teknologi hybrid memperkecil emisi dan menekan biaya bahan bakar di pulau-pulau kecil,” ujarnya, seperti dialporkan Antara, Juli 2025.
Dampaknya terasa nyata. Di Kecamatan Kobalima, Malaka, para petani kini menggunakan pompa listrik untuk irigasi sawah. Sementara di Lembata, kelompok ibu-ibu menenun malam hari untuk memenuhi pesanan dari Kupang.
“Dulu hanya kerja siang, sekarang malam pun bisa. Produksi kain bisa dua kali lipat,” kata Martha Doi, perajin di Desa Lamalera.
Listrik yang Menyatukan Pulau
Jika NTT dikenal dengan gugusan seribu pulau, maka Maluku adalah negeri ribuan dermaga kecil—setiap pulau nyaris menjadi sistem energi tersendiri. Tantangannya adalah bagaimana menghadirkan listrik secara efisien tanpa kehilangan keandalan pasokan.
PLN merespons tantangan itu dengan program Integrated Electrification for Archipelago (IEA), yang menggabungkan PLTS hybrid, jaringan mini-grid, dan baterai penyimpanan energi (BESS) di 23 titik terpencil di Maluku dan Maluku Utara.
Hasilnya, rasio elektrifikasi di Maluku meningkat menjadi 98,17 persen pada 2025, naik dari 92 persen pada 2020 (data PLN UIW Maluku & Malut).
“Kami ingin setiap pulau di Maluku merasakan manfaat pembangunan, dari Pulau Banda sampai Kei Kecil,” kata General Manager PLN Maluku & Maluku Utara, Awaluddin Hafid, dalam siaran pers medio Maret 2025.
Bagi masyarakat, cahaya listrik bukan hanya simbol kemajuan, tapi juga pintu rezeki baru. Di Pulau Kei Besar, kelompok nelayan kini memiliki freezer berdaya listrik tenaga surya untuk menyimpan hasil tangkapan. Sebelum ada listrik, ikan harus dijual cepat dengan harga rendah. Kini mereka bisa menunggu harga pasar yang lebih baik.
Di Pulau Seram, sejumlah sekolah dasar menggunakan laptop tenaga surya hasil kerja sama PLN dengan Kementerian Pendidikan. Guru-guru bisa mengakses materi digital dan mencetak laporan hasil belajar.
“Anak-anak sekarang bisa belajar lewat video edukatif. Itu kemewahan yang dulu tak terbayang di sini,” ujar Fitriani Sihasale, guru SD di Seram Timur.
Pemerataan listrik di Maluku memperkuat fondasi ekonomi berbasis kelautan dan perikanan, sekaligus membuka ruang kolaborasi lintas sektor untuk membangun desa tangguh energi.
Cahaya di Pegunungan dan Pesisir
Tidak ada wilayah lain yang lebih menantang dari Papua ketika berbicara tentang energi berkeadilan. Medan berat, jarak antardaerah yang ekstrem, dan logistik mahal membuat banyak kampung lama hidup dalam kegelapan.
Namun dalam lima tahun terakhir, capaian elektrifikasi Papua melesat. Berdasarkan data resmi Kementerian ESDM (2025), rasio elektrifikasi Papua meningkat dari 48,75 persen pada 2019 menjadi 95,62 persen pada 2024.
Lonjakan itu didorong oleh program “Papua Terang” yang dijalankan PLN dengan dukungan penuh pemerintah. Program tersebut menghadirkan sistem kelistrikan berbasis energi surya off-grid dan mikrohidro di lebih dari 400 distrik di Papua dan Papua Barat.
“Kami membangun sistem kelistrikan berbasis potensi lokal. Di Pegunungan Tengah, tenaga air dari sungai digunakan untuk mikrohidro, sedangkan di wilayah pesisir kami gunakan PLTS komunal,” ujar Darmawan Prasodjo, dalam rilis resmi PLN.
Salah satu kisah suksesnya ada di Kampung Karubaga, Kabupaten Tolikara, di mana PLTS berkapasitas 75 kWp kini menerangi lebih dari 200 rumah. Kepala kampung, Yulius Wenda, bercerita bahwa listrik membawa perubahan besar.
“Sebelum ada listrik, kami susah berobat karena alat kesehatan di puskesmas tidak bisa jalan. Sekarang ada kulkas vaksin, ada lampu untuk operasi kecil. Hidup terasa lebih aman,” katanya.
Tak hanya kesehatan, pendidikan pun ikut naik kelas. Anak-anak di Nabire dan Yahukimo kini bisa belajar malam hari, bahkan menonton video pelajaran lewat televisi di rumah.
Program Papua Terang menjadi tonggak penting pemerataan pembangunan di Tanah Cenderawasih—membuktikan bahwa listrik adalah instrumen keadilan sosial yang paling konkret.
Energi untuk Semua
Meski capaian elektrifikasi di wilayah 3T meningkat pesat, pekerjaan besar belum selesai. Menurut Kementerian ESDM, masih ada sekitar 460 desa di seluruh Indonesia yang belum teraliri listrik, sebagian besar di kawasan pegunungan Papua dan pulau-pulau kecil di NTT dan Maluku.
Selain tantangan geografis, masalah biaya operasional juga muncul. Banyak sistem PLTS di daerah terpencil memerlukan pemeliharaan rutin dan penggantian baterai setelah 5–7 tahun. Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat lokal.
“Transisi energi bukan hanya urusan teknologi, tapi juga penguatan kapasitas sosial. Kita perlu menyiapkan masyarakat untuk menjadi bagian dari sistem energi itu sendiri,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Fabby menilai keberhasilan PLN dalam menghadirkan listrik di wilayah 3T harus diikuti dengan keberlanjutan. “Keadilan energi berarti memastikan masyarakat tidak hanya menikmati listrik, tetapi mampu mengelola dan memanfaatkannya untuk kemajuan ekonomi mereka,” ujarnya (IESR, Mei 2025).
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau 2025–2034, PLN menargetkan rasio elektrifikasi nasional 100 persen pada 2029, dengan porsi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 32 persen pada 2030. Program ini disokong oleh investasi PLTS skala kecil, microgrid, dan integrasi jaringan pintar di wilayah 3T.
Cahaya yang Menyatukan Negeri
Dari rumah kayu di Oenino, jaring nelayan di Kei Besar, hingga puskesmas di Tolikara, listrik kini menyala bukan hanya sebagai tanda peradaban, tetapi juga simbol persatuan. Setiap kilowatt yang dialirkan di wilayah 3T adalah bentuk nyata kehadiran negara.
Energi berkeadilan bukan retorika, melainkan proses panjang membangun kemandirian bangsa. Di Timur Indonesia, proses itu kini sedang berlangsung—perlahan tapi pasti, menerangi masa depan.
Sebagaimana kata Darmawan Prasodjo, “Kami ingin setiap anak Indonesia, di manapun ia lahir, memiliki kesempatan yang sama di bawah cahaya yang sama.”
Listrik tak lagi sekadar urusan daya, melainkan soal keadilan dan harapan. Karena di balik setiap lampu yang menyala, ada cerita tentang bangsa yang memilih untuk tidak meninggalkan siapapun dalam gelap. ***





.jpg)










