Rumah adalah kebutuhan pokok. Namun membeli rumah yang layak yang harganya tinggi dan selalu meningkat, tidak semua orang bisa melakukannya, bahkan jika harus membelinya secara kredit.
Batu sandungan yang sering dikeluhkan oleh masyarakat yang ingin membeli rumah dengan pembiayaan bank adalah uang muka yang terlampau tinggi. Dengan aturan down payment sebesar 30 persen dari harga rumah (ditambah dengan syarat dan ketentuan yang ketat), tentu tidak semua nasabah sanggup mendapatkan fasilitas itu.
Praktik saat ini, dengan down payment (DP) sebesar 30 persen itu, hanya segelintir masyarakat dengan penghasilan rendah yang bisa memenuhinya. Terlebih lagi masyarakat dengan pekerjaan informal, seperti tukang ojek, pedagang bakso, dll. Pekerja informal ini malah kita tidak akan pernah bisa membeli rumah, karena harganya naik terus. Tabungan mereka pun ditenggarai tidak akan pernah cukup, mengingat belum tentu juga mereka bankable. Dari sisi itu kehadiran kredit KPR bank sudah tentu belum membantu mempermudah masyarakat membeli rumah secepatnya. Padahal kebutuhan rumah sangat tinggi bagi masyarakat Indonesia.
Menyadari kondisi tersebut, pemerintah pun merancang sebuah program baru dalam memenuhi kebutuhan akan rumah terjangkau untuk masyarakat yang berpendapatan rendah. murah. Dalam hal ini, pemerintah menyiapkan anggaran subsidi untuk bantuan uang muka rumah bagi pekerja atau masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di APBN-Perubahan 2015, sudah ada anggaran Rp220 miliar untuk bantuan uang muka itu melalui program KPR bersubsidi atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Adapun program terbaru FLPP 2015 Persenantara lain bantuan uang muka Rp4 juta, uang muka hanya 1 persen (khusus Bank BTN), hingga pemangkasan bunga KPR dari 7,25 persen menjadi 5 persen/tahun dan flat hingga 20 tahun.
Program-program ini ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan maksimal Rp 4 juta, untuk pembelian rumah tapak (landed house) dan penghasilan maksimal Rp7 juta untuk pembelian rumah susun subsidi.
Saat ini Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tengah menyiapkan aturan teknis soal program bantuan uang muka KPR bersubsidi sebesar Rp4 juta/nasabah untuk periode 2015. Program yang aturan teknisnya keluar Maret ini ditargetkan bisa memberikan bantuan uang muka kepada 55.000 nasabah atau rumah bersubsidi.
Meski begitu, nasabah sudah bisa menikmati fasilitas ini mulai sekarang dan tak perlu harus menunggu aturan ini terbit. Calon nasabah bisa mulai mengajukan KPR bersubsidi atau FLPP awal Maret ke bank-bank penyalur FLPP.
Rezeki Pekerja Informal
Untuk memperluas sebaran program ini, pemerintak tak mematok batas terendah penghasilan dari nasabah yang merupakan pekerja formal yang masuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Skema KPR subsidi bunga atau FLPP hanya mematok batas atas atau gaji tertinggi.
Kategori MBR adalah pekerja formal yang bergaji di bawah Rp4 juta per bulan bagi yang akan membeli rumah, dan pekerja formal yang bergaji di bawah Rp7 juta untuk yang akan membeli rusun, dalam skema FLPP. “Batas maksimum Rp4 juta untuk rumah tapak dan batas maksimum untuk rumah susun Rp7 juta. Tapi kalau batas minimum nggak ada,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus.
Memang tak adanya patokan penghasilan terendah membuka peluang semua lapisan MBR untuk mendapatkan KPR subsidi. Namun yang menjadi patokannya adalah porsi cicilan kredit atau tanggungan KPR maksimal 30 persen dari penghasilan seseorang per bulan. Artinya jika ada perbankan yang memberikan KPR dengan cicilan rendah, maka makin banyak kesempatan MBR bisa dapat kredit.
Contohnya, bila ada pemohon FLPP dengan gaji Rp1 juta/bulan tapi mengajukan cicilan Rp 800 ribu/bulan, maka sudah pasti ditolak oleh bank. Bank hanya menerima yang cicilan Rp300 ribu untuk gaji Rp1 juta dan tidak sedang program kredit yang lain seperti kendaraan. “Nggak mungkin dong kita membiarkan orang cicil Rp800 ribu sementara gajinya Rp1 juta. Sisa Rp 200 ribu nggak akan cukup untuk dia biaya hidup selama 1 bulan,” kata Maurin.
Memang ada kasus-kasus spesifik yang bisa dialami oleh seorang calon nasabah KPR subsidi. Misalnya seorang yang punya gaji ‘tanggung’ Rp4,2 juta per bulan, maka secara aturan main tak boleh mendapatkan KPR subsidi skema FLPP jenis rumah tapak. Begitu pula dengan calon nasabah yang mau membeli rusun subsidi namun gajinya sedikit di atas ketentuan misalnya Rp7,25 juta/bulan padahal batas aturan tertinggi hanya Rp 7 juta/bulan.
Singkat kata, mekanisme penjaminan kredit ini bagaikan durian runtuh bagi pekerja di sektor informal yang selama ini sulit mendapatkan akses KPR, karena tak memiliki slip gaji atau keterangan penghasilan tetap setiap bulan. Adapun para pekerja non formal termasuk wiraswasta bisa mengajukan KPR subsidi bunga lewat skema FLPP ini. Namun pekerja informal yang mengajukan FLPP relatif lebih lama prosesnya daripada yang sudah punya slip gaji.
BERITA TERKAIT
Dijamin Asuransi
Kendati lebih lama, tujuannya program agar lebih banyak masyarakat bisa membeli rumah akan lebih mungkin tercapai. Selama ini pekerja non formal seperti pedagang bakso, pedagang sayur dan lainnya, kesulitan mengajukan KPR, meskipun itu subsidi. Selama ini, perbankan cenderung tak mau ambil risiko terhadap calon nasabah pekerja non formal. Perbankan punya kekhawatiran nasabah KPR dari non formal tak sanggup membayar cicilan karena tak ada kepastian pendapatan. “Nantinya kredit rumah untuk pekerja non formal seperti tukang bakso, tukang sayur dan sebagainya itu akan ada perusahaan penjaminnya. Seperti semacam asuransi,” ujar Maurin.
Dengan adanya jaminan ini, perbankan akan lebih mudah memberikan kepercayaan kepada calon nasabahnya yang pedagang informal karena kredit yang mereka salurkan telah dijamin oleh perusahaan penjamin kredit seperti BUMN Jasindo, Jamkrindo dan Askrindo. Tujuannya, bila di tengah proses nasabah mencicil terjadi kemacetan pembayaran atau non performing loan (NPL), maka perusahaan penjamin ini yang akan menanggung, sehinggga bank penyalur KPR tidak akan dirugikan.
Skema ini, terinspirasi dari keberhasilan pemerintah dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dalam penyaluran KUR, bank pelaksana juga dihadapkan pada tantangan yang sama yakni ketidakpastian pendapatan dari nasabahnya. Namun, berkat adanya penjaminan KUR tersebut, perbankan bisa terhindari risiko kredit macet oleh nasabah KPR pekerja non formal.
Saat ini, program penjaminan KPR ini masih dibahas mendalam di bawah koordinasi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Pembahasan yang dilakukan terutama terkait teknis pemberian jaminan dan besaran premi yang harus dibayarkan dan penunjukan perusahaan pelaksana penjaminan.
Meski masih dalam pembahasan, Maurin menegaskan, bila program ini telah direalisasikan, maka pedagang penerima KPR subsidi tidak akan mendapat beban tambahan karena semua premi yang besarannya sekitar 0,3-0,4 persen dari total kredit yang diterima tersebut sepenuhnya akan ditanggung pemerintah. “Ini kita masih pembahasan di bawah Menko Perekonomian. Nanti bisa ditunjuk apakah Jasindo, Jamkrindo dan Askrindo. Premi jaminan kredit nanti ditanggung pemerintah. Besarnya sekitar 0,3-04 persen,” kata Maurin.
Adanya jaminan tersebut pula yang mendorong PT Bank Tabungan Negara (BTN) pada 1 Maret 2015 lalu berani meluncurkan program khusus KPR dengan uang muka 1 persen, dengan bunga flat 5 persen.
Direktur Utama BTN, Maryono mengatakan, program uang muka 1 persen ke kedepan lebih diprioritaskan bagi pemohon rumah susun milik (rusunami) perkotaan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk dukungan BTN atas kebijakan pemerintah yang mendorong perumahan vertikal atau rusun.
Dengan adanya program baru tersebut, BTN memproyeksikan laju pertumbuhan pembiayaan FLPP akan berkisar 15-17 persen pada tahun ini. Tahun lalu penyaluran FLPP sekitar Rp4 triliun dengan rasio kredit macet (NPL) terjaga di level 1,4 persen.
Dan yang lebih penting lagi, rumah layak sebagai kebutuhan pokok, benar-benar bisa dimiliki oleh masyarakat.





.jpg)










