Masalah kompetensi dan literasi di industry keuangan non bank memang kerap menjadi ganjalan perkembangan sektor itu. Hal itu makin kentara di industri asuransi.
Oleh Romualdus San Udika
Isu yang kerap menjadi ganjalan dalam pengembangan ekonomi, khususnya sektor keuangan di Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia. Ketika praktik teknologi informasi dan digital menyelimuti hampir seluruh industri keuangan, tantangan itu bertambah berat.
Di lingkungan industri keuangan non bank (IKNB) hal itu bertambah pelik mengingat penyesuaian yang dilakukan pelaku usaha tidak semaksimal para koleganya di perbankan. Kondisi itu makin tampak selama pandemi.
BERITA TERKAIT
Otoritas Jasa Keuangan sejatinya memahami adanya persoalan kompetensi sumber daya manusia di sektor IKNB. Sebab itu sejak 2018 otoritas telah memulai proses reformasi di sektor itu. Salah satu yang jadi perhatian adalah pengembangan sistem informasi pengawasan IKNB dan pelaporan kepada OJK serta, penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan organisasi.
Harus diakui kurang idealnya kapasitas dan kompetensi SDM di industri non bank memang cukup tampak dan pada akhirnya membuat sektor ini lebih rawan ancaman fraud. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah yang terjadi di lini asuransi.
Setelah didera kasus gagal bayar asuransi Jiwasraya, Asabri, Kresnalife, Bumiputera, Bumi Asih dan bahkan Bakrie Life, kini industri kembali tercoreng. Persoalan mengemuka ketika para nasabah asuransi unit link dari perusahaan asuransi besar yakni PT Prudential Life Assurance, PT AIA Financial dan PT AXA-Mandiri Financial menggeruduk ketiga kantor asuransi tersebut.
Sejumlah nasabah asuransi menuntut untuk dikembalikan haknya ini dengan kisaran kerugian mencapai Rp5 miliar – 6 miliar. Hal ini ditengarai akibat agen menjanjikan nasabah akan mendapatkan pengembalian dana 100 persen plus proteksi selama 99 tahun setelah membayarkan premi selama 10 tahun. Namun, bukan untung malah buntung. Di tahun ke-10 nasabah hanya mendapatkan pengembalian dana sebesar 30 persen dan masih harus membayarkan premi seumur hidup. Kasus ini jelas membuat pemulihan nama baik sektor proteksi yang tengah dilakukan otoritas dan pelaku bisnis menjadi mundur kembali.
Literasi dan Kompetensi
Menurut pengamat asuransi dari Sekolah Tinggi Asuransi Trisakti, Azuarini Diah, fenomena kisruh di sektor asuransi yang dipicu terutama produk campuran proteksi-investasi, tidak terlepas dari banyaknya pemegang polis yang masih awam dalam hal berinvestasi. Masyarakat belum memahami bahwa produk yang dibelinya itu bisa mengalami penurunan nilai polis, terutama unit link terkait reksadana yang underlying invesastasinya didominas saham.
“Masyarakat tidak paham alasan nilai tunai polis bisa turun dan tidak menyadari risikonya. Terutama kalau memilih unit link dengan reksa dana yang underlying investasinya didominasi saham yang fluktuatif,” kata Azuarini.
Sementara, lanjut dia, unit link belum pas dipasarkan secara massal, harus dilakukan literasi maupun edukasi terhadap pemegang polis secara terstruktur yang merupakan tugas bersama. Saat ini penjualan asuransi hanya menggunakan ilustrasi imbal hasil yang rendah, sedang, hingga tinggi. Padahal Azuarini menekankan investasi juga bisa negatif alias rugi.
Persoalan lainnya, menurut Azuarini adalah kedisiplinan pemegang polis terhadap kondisi pasar. Lebih banyak pemegang polis membeli asuransi lalu dibiarkan begitu saja polisnya. Maka dari itu perusahaan asuransi harus memilki mekanisme dalam memberikan info pasar kepada nasabahnya. “Ini juga salah satu bentuk edukasi,” ujar dia.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur AXA Mandiri Handojo G Kusuma mengatakan, pihaknya menyadari pemahaman masyarakat terhadap industri asuransi masih menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu pihaknya memiliki tanggung jawab untuk terus menerus melaksanakan kegiatan literasi.
“Setiap insan asuransi memiliki tanggung jawab untuk melakukan literasi asuransi, yang bertujuan meningkatkan kesadaran serta pemahaman akan pentingnya manfaat asuransi dapat tersampaikan dengan baik. Dengan semakin tinggi tingkat literasi asuransi, maka banyak masyarakat yang akan memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan,” ujar dia.
Chief Marketing and Communications Officer Prudential Indonesia Luskito Hambali menambahkan, Prudential Indonesia juga aktif mempublikasikan informasi tentang literasi asuransi, bahkan menggerakkan tenaga pemasaran untuk melakukan hal yang sama.
“Prudential Indonesia sepenuhnya percaya pada peran tenaga pemasar sebagai garda terdepan perusahaan dalam mengedukasi masyarakat tentang asuransi. Oleh karena itu, kami fokus mengembangkan profesionalisme dan kapabilitas para tenaga pemasar kami,” ujar dia.
Sedangkan Direktur Hukum, Kepatuhan, dan Risiko AIA Financial Rista Qatrini Manurung mengatakan, terkait penjualan unit link di AIA, pihaknya mewajibkan tenaga pemasar menawarkan produk sesuai kebutuhan nasabah (needs based selling) melalui NeedsLab, platform penjualan yang dirancang untuk memastikan seluruh proses penjualan tenaga pemasar sesuai ketentuan.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo juga sepakat bahwa persoalan di industri asuransi bermula saat inklusi keuangan cukup tinggi, namun literasinya masih rendah. Artinya, produk keuangan sudah banyak diminati masyarakat namun pemahaman terhadap produk itu masih rendah. Di antara itulah terjadi misselling yang dimanfaatkan oleh agen. Dalam hal unitlink, agen hanya mengilustrasikan optimisme untung saja. Padahal juga bisa merugi hingga 100 persen.
Maka dari itu Irvan menyarankan agar asuransi kembali ke fungsi awalnya sebagai proteksi. Bukan disisipi dengan investasi. Sebaliknya, bagi nasabah yang hendak berinvestasi maka pilih instrumen murni investasi. “Premi yang disetorkan oleh nasabah itu selama 3 tahun pertama itu 90 persennya akan digunakan untuk earning cost untuk komisi agen. “Saat penjualan agen menjanjikan return tinggi, ketika turun jadi tanggung jawab nasabah, itu kan tidak adil,” jelasnya.
Edukasi adalah Kunci
OJK mengakui jika tingkat literasi asuransi di Indonesia masih rendah dan menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholder. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya pengaduan masyarakat kepada OJK. Menurut Anggota Dewan Komisioner bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara, dari persoalan unit link, OJK melihat dari dua sisi. Dari sisi konsumen, tingkat literasinya masih rendah dan lembaga keuangannya tidak menjelaskan kepada konsumen dengan baik. “Ini yang akan OJK perbaiki,” tegas Tirta Segara.
Saat ini harus diakui, masyarakat belum paham tentang asuransi. Ketika dikenalkan produk asuransi dengan lembaga tertentu, tak jarang konsumen langsung tanda tangan untuk menyetujui isi premi tanpa mengetahui sebelumnya. “Kita akan edukasi konsumen. Karena konsumen harus paham asuransi itu apa. Dan saya pesan, jangan tanda tangan sebelum Anda mengerti. Jangan pura-pura tahu terus langsung paraf-paraf saja,” jelas Tirta.
Maka dari itu, Tirta mengimbau, apabila konsumen belum paham mengenai asuransi yang ditawarkan, dapat meminta waktu kepada lembaga asuransi terkait untuk memahami premi yang ditawarkan. Sembari konsumen juga bisa menguhubungi pihak OJK untuk dijelaskan secara detail hingga konsumen paham. Adapun hal ini ditujukan untuk menghindari adanya pengaduan akibat kerugian di kemudian hari.
Sementara itu, bagi seluruh lembaga asuransi, Tirta menegaskan wajib menjelaskan secara rinci terkait produk hingga skema yang harus dipahami oleh konsumen. Jangan meminta konsumen untuk tanda tangan sebelum konsumen benar-benar mengerti. “Dari sisi perasuransian juga kita dorong, Anda kalau jual produk tolong dijelaskan sejelas-jelasnya ke konsumen. Jangan di suruh tanda tangan sebelum dia sungguh-sungguh mengerti. Supaya nggak ada komplain di kemudian hari,” tegas Tirta.
Untuk meningkatkan kompetensi SDM di industri keuangan, OJK juga sudah melansir Cetak Biru Pengembangan SDM di Sektor Jasa Keuangan 2021-2025. Salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas dan daya saing SDM sektor jasa keuangan baik secara nasional maupun internasional.***





.jpg)










