JAKARTA, Stabilitas — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Center for Risk Management Studies (CRMS) mengadakan diskusi membahas penerapan manajemen resiko pada sektor publik. Diskusi ini dilakukan mengingat pentingnya manajemen resiko dalam organisasi yang dalam hal ini adalah sektor publik atau pun lembaga pemerintahan.
Penerapan manajemen resiko sendiri dianggap terlambat dan menjadi hal yang baru dalam organisasi di sektor publik, sehingga sektor publik jauh tertinggal oleh sektor komersial walaupun sektor public sendiri tidak berorientasi pada profit seperti halnya sektor komersial.
“Seperti infrastruktur, manajemen resiko sektor publik di Indonesia termasuk hal yang baru, untuk itu bisa dikatakan terlambat,” kata Ketua Dewan Audit dan Komisioner OJK, Ihya Avianti di Jakarta, Senin (03/10/2016).
Tidak hanya sektor komersial, penerapan manajemen resiko di sektor publik khususnya OJK menjadi hal yang penting, karena resiko senantiasa mengancam dan memerlukan rencana yang matang untuk menguranginya.
“Kalau kita sudah bisa melihat resiko yang menganccam kita, tentunya kita bisa aware melakukan mitigasi seandainya resiko itu terjadi. Dan mitigasi resiko ini hanya bisa dilakukan apabila kita mempunyai rencana yang matang. Jadi meskipun manajemen resiko ini berawal dari sektor komersil yang tadinya memang untuk mengamankan pencapaian profit dan mengamankan aset, itu ternyata public sector juga memerlukan untuk menghindari ketidakcukupan pengendalian,”jelas Ihya.
Sejak lima tahun lalu, organisasi sektor publik yang menerapkan manajemen resiko masih berjumlah 56 persen dan belum berjalan secara sistematis atau terstruktur. Hingga kini posisi sektor publik dalam penanganan resiko turun yang tadinya berada di posisi 37, kini berada di posisi 41 dari 181 negara.




.jpg)










