JAKARTA, Stabilitas.id — Lembaga Pengembagan Perbankan Indonesia (LPPI), kembali menggelar Virtual Seminar dengan tema yang sangat penting berkaitan dengan startegi manajemen industri keuangan dalam menghadapi pandemic Covid-19 saat ini, dengan tema “Etika, Integritas, dan Tata Kelola di Industri Finansial” pada Selasa 25 Agustus 2020.
Virtual Seminar ke #23 persembahan LPPI ini menghadirkan pembicara kawakan baik dari regulator dan juga pelaku industry perbankan. Antara lain Anung Herlianto EC, Direktur Eksekutif –Kepala Departemen Penelitian danPengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK); Pradjoto, Pakar Hukum Perbankan yang juga menjabat Wakil Komisaris Utama/Komisaris Independen Bank BNI; dan Haryanto T. Budiman, Ph.D, Director of Compliance & Risk Management Bank BCA.
Direktur Utama LPPI, Mirza Adityaswara saat membuka Virtual Seminar mengatakan bahwa pandemic saat ini memberi tantangan yang besar pada tata kelola dan governance. Menurut Mirza, sejatinya krisis 98 telah menghadirkan kritik yang membuat industri keuangan menjadi kokoh hingga saat ini. Kritik tersebut fokus pada persoalan tata kelola sektor keuangan, utamanya sektor perbankan yang kemudian terjadilah reformasi sektor ekonomi dan sektor keuangan.
BERITA TERKAIT
“Kita ketahui bahwa upaya besar dari regulator indonesia untuk memperbaiki tata keloa, kemudian dilakuan fit and proper test untuk komisaris dan direksi, termasuk fit and propert test untuk pemegang saham pengendali bank. Karena pada saat itu terjadi banyak pelanggan BMPK. Fit and proper ini masih terus dilaksakan hingga saat ini dan terbukti mampu pemperbaiki perfermance di industri perbankan,” jelas Mirza.
Tak berhenti di stu, Mirza menambahkan bahwa regulasi juga mengharuskan adanya compliance director. Tujuannya adalah untuk memperbaiki tata kelola sekaligus jembatan komunikasi antara direksi dan regulator. Kemudian juga dihadirkan komisaris indepnden, komite remunerasi, dll.
“Kita disadarkan bahwa tonggak stabilitas dari pasar keuagan dan ekonomi adalah prudent fiscal policy, prudent monetary policy, dan prudent tata kelola sektor jasa keuangan,” pungkas Mirza.
Anung Herlianto EC, Direktur Eksekutif – Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK membuka paparannya dengan memberikan gambaran kondisi terkini dari industri keuangan yang terdampak pandemi Covid-19 dan juga dampak ke masyarakat.
Dia mengatakan bahwa pandemic Covid-19 secara luar biasa mengubah landscape dan akselerasi di sektor keuangan. Seperti diketahui, saat ini aset perbankan masih menjadi back bone dari industry keuangan dengan dominasi 78,22 persen, dengan 65 persen portofolionya didominasli kredit. Namun, kredit yang masih menjadi mesin untuk tumbuh, sekarang ini paling terpukul keras akibat Covid-19.
“Pertumbuhan aset, DPK, melandai pada awal pandemic Covid. Perbankan juga makin selektif dalam penyaluran kredit di tengah persepsi tingginya risiko kredit seiring dampak pandemic Covid-19. Sektor UMK sudah KO dari awal. Untunya bukan sektor keuangan. Tetapi Covid menghentikan kinerja perbankan. Cenderung negatif. Juni pertumbuhan kredit minus 1,21 persen. Bank cenderung konsolidatif dan selektif,” jelas Anung.
Namun demikian, kendati ada relaksasi, NPL masih terjaga di 1,13. “Jadi kita masih ada harapan. Likuiditas masih relative memadai namun akan mengalami tekanan seiring melambatnya cash flow dari debitur sebagai dampak restrukturisasi,” imbuhnya.
Anung juga mengatakan bahwa Covid-19 telah menyebabkan perubahan pola transaksi keuangan dan pola ekspektasi masyarakat dari physical economy ke virtual economy. Dampaknya adalah akselerasi transormiasi digital di sektor perbankan. Secara global, pandemik telah merubah perilaku nasabah bank yang lebih mengurangi transaksi tunai dan beralih ke digital banking.
Namun, menurut Anung, bank di kategori Buku II yang praktis terbatas dengan digital, akan ditinggalkan karena nasabah beroreitansi pada servis, dengan mobile banking mereka bisa berbuat apapun. Terlihat dari volume digital banking naik singikan di 5 bulan terkahir.
Dia mengungkapkan volume transaksi digital banking pada April 2020 tumbuh 37,35 persen (yoy). Sementara posisi Uang Kartal yang diedarkan (UYD) pada Mei 2020 mencapai Rp798,6 triliun, tumbuh negatif sebesar 6,06 persen (yoy). Transaksi ATM, Kartu Debit, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik (UE) pada April 2020 juga menurun dari minus 4,72 persen pada Maret 2020 menjadi minus 18,96 persen (yoy).
Anung menggambarkan, dari perubahan perilaku nasabah tersebut ada beberapa ekspektasi nasabah yang harus diperhatikan oleh pelaku indutri keuangan. Mengutip survey Markplus (2020), 42 persen nasabah menghendaki pembukaan rekening secara online, 41 persen berhadap dapat mengakses mutasi rekening lebih lama, dan 35 persen dapat mengajukan kredit secara online.
Governance Era Pandemi
Terkait hal itu, Anung mengingatkan beberapa isu terkait governance di era digital banking ini. Dua hal utama yang harus diperhatikan oleh regulator dan pelaku industry yakni terkait dengan aspek Cyber Security dan aspek Data Privacy dan Protection.
Menurut Anung, terkait aspek Cyber Security, saat ini belum terdapat Undang – Undang keamanan dan ketahanan siber, karena masih berupa RUU. Lalu, belum terdapat protocol penanganan insiden IT, baik secara nasional, sektoral, maupun individu bank. Saat ini hanya dimiliki oleh beberapa bank.
Kemudian aspek Data Privacy dan Protection, tantangannya adalah belum terdapat UU yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan data pribadi (masih berupa RUU). Adapun perlindungan data pribadi telah diatur dalam ketentuan PP No.71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan PermenKominfo No.20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Sementara Pradjoto, Pakar Hukum Perbankan yang juga menjabat Wakil Komisaris Utama/Komisaris Independen Bank BNI sepakat bahwa pandemik telah banyak mengubah sturktur kehindupan manusia. Mulai dengan sektor ekonomi, sosial, sampai mengubah hubungan manusia dengan Tuhan.
“Kita memang berada di dalam situsi yang dapat menjadi rawan oleh karena di dalam situasi krisis kita sering meghadapi beberapa persoalan. Tugas kita menjaga semua hal buruk dari luar dan juga dari dalam. Compliance director mendapat tugas yang berat dalam kondisi ini,” jelas Pradjoto.
Untuk itu, menurut Pradjoto, GRC (governance, risk, compliance) bersifat begitu sentral untuk mencapai tujuan korporasi dengan mekanisem dan cara yang terintegrasi. Akronim GRC, lanjutnya, jika diimpletasikan dengan tertib dan sadar akan membentuk sistem yang terintegrasi. Sehingga setiap korporasi mampu mencapai principle performance. Jika hal-hal itu dianggap tak cukup maka organisasi perlu memastikan seluruh pengendalian yang menjadi dasar bergeraknya setiap korporasi dapat dipatui melalui sistem compliance.
“Kita harus yakin bahwa impelentasi governance yang baik akan mencapai hasil yang baik. Minimal untuk memberangus hasrat rekayasa. Kalau tidak dikurung, hasrat rekasaya itu akan bergerak secara liar. Ini juga perlu dijaga melalui terpelihranya tranparasi melalui mekanisme pencatatan yang jelas. Dengan demikian terciptalah efisiensi yang menerbitkan multiplayer effect,” jelas Pradjoto.
Dia menambahkan, pelaku industri keuangan harus yakni bahwa implementasi GRC adalah proses yang tidak ada ujungnya. “Maka kita sekarang kita menjumpai 9 kode etik banking yang disusun oleh asosiasi perbankan,” imbuhnya.
Haryanto T Budiman, Director of Compliance & Risk Management Bank BCA juga mengatatakan bahwa pandemic Covid-19 telah mengubah aktivitas bisnis secara besar-besaran. Dia menilai penurunan GDP saat ini lebih parah dari krisis 2008/2009. “Ini adalah yang terburuk setelah perang dunia kedua yang turun 10 persen, kalau sekarang GDP global turun 5 persen,” sebut Haryanto.
Dampak ke sektor perbankan, menurut Budiman, NIM pasti turun dan CKPN meningkat. “Jangan harap setelah covid NIM akan seperti sebelum covid. Karena suku bunga BI turun, dan banyak restrukturisasi. Lalu CKPN akan naik. Karena kapan restrukturisasi ini berakhir kita tidak ada yang tahu. Maka loan minimal masuk kolektabilitas satu,” jelasnya.
Selain itu, biaya juga akan meningkat dalam waktu singkat. Sementara ancaman fraud ke depan akan muncul dari cyber attach. “Tetapi ada peluang digitalisasi dan pembentukan ekosistem bank,” imbuhnya.





.jpg)










