JAKARTA, Stabilitas.id – Perusahaan asuransi di Indonesia dihadapkan pada rangkaian regulasi dan standar akuntansi baru yang harus dipenuhi dalam beberapa tahun ke depan.
Jusuf Wibisana, Financial Services Partner PwC dalam seminar IFSO 2025 yang digelar LPPI-Stabilias 8 Jui 2025 menyebutkan, industri wajib menyelesaikan spin-off Unit Usaha Syariah (UUS), memenuhi kenaikan modal minimum, dan menerapkan PSAK 117 mulai 1 Januari 2025.
Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan POJK No. 11/2023 yang mewajibkan seluruh UUS menyelesaikan proses spin-off paling lambat 31 Desember 2026. Perusahaan asuransi dan reasuransi dapat memilih opsi mendirikan entitas baru dan mengalihkan portofolio syariah, mengakuisisi perusahaan berlisensi syariah, atau divestasi portofolio syariah ke pihak ketiga.
BERITA TERKAIT
Kewajiban ini berlaku untuk UUS yang total dana tabarru’ dan investasi pesertanya mencapai ≥ 50 persen dari keseluruhan dana, atau jika OJK secara spesifik meminta konsolidasi.
Selain itu, berdasarkan POJK No. 23/2023, modal minimum bagi perusahaan asuransi naik menjadi Rp 250 miliar pada 2026 dan Rp 500 miliar pada 2028 Sementara modal minimum perusahaan reasuransi menjadi Rp 500 miliar pada 2026 dan Rp 1 triliun pada 2028.
Perusahaan diklasifikasikan dalam tiga tingkat berdasarkan Ekuitas Bersih Disesuaikan (KPPE), yang akan memengaruhi izin produk dan ruang lingkup bisnis masing-masing.
Di satu sisi, mulai 1 Januari 2025, PSAK 117 – Kontrak Asuransi resmi menggantikan PSAK 62. Standar baru ini memperkenalkan tiga model nilai wajar (General Measurement Model, Premium Allocation Approach, Variable Fee Approach), mensyaratkan diskonto liabilitas klaim dan premi jangka panjang, memisahkan penghitungan reasuransi dari bisnis langsung, dan menambahkan risk adjustment dan pengungkapan rekonsiliasi di laporan keuangan.
Dari sisi laporan posisi keuangan, item seperti “Receivables from insurance business” kini menjadi “Insurance contract assets” dan liabilitas reasuransi tampil sebagai entitas tersendiri. Pada laporan laba rugi, premi tidak lagi diakui langsung sebagai pendapatan; keuntungan baru diakui sejalan pemenuhan layanan, sementara kerugian kontrak onerous diakui segera.
Implikasi Operasional dan Pembukuan
PwC menekankan perusahaan harus menyusun ulang sistem aktuaria dan akuntansi untuk menghitung Contractual Service Margin (CSM), diskonto, dan risk adjustment. Membangun proses data granular untuk mendukung perhitungan tingkat granular, dan menyiapkan tim komunikasi investor dan regulator guna menjelaskan perubahan metrik kinerja keuangan.
Hingga otoritas pajak dan perhitungan Modal Berbasis Risiko (RBC) OJK masih berpedoman pada IFRS 4, perusahaan diwajibkan menjalankan dua pembukuan paralel (PSAK 62 dan PSAK 117), meningkatkan kompleksitas rekonsiliasi dan kebutuhan integrasi TI.
“Dengan deadline spin-off, kenaikan modal, dan PSAK 117 hampir bersamaan, perusahaan asuransi harus segera memetakan project plan end-to-end,” kata Jusuf Wibisana saat berbicara dalam IFSO 2025 ini.
Menurutnya, bila tertunda, perusahaan berisiko tersandung sanksi OJK, volatilitas laba yang tak terduga, dan kesulitan akses pasar modal. Industri kini ditantang bukan hanya mematuhi aturan baru, tetapi membentuk fondasi sistem dan proses yang tangguh untuk menyongsong persaingan global dan harapan pemangku kepentingan. ***





.jpg)










