JAKARTA, Stabilitas.id – Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mengungkapkan bahwa penguasaan investasi kesehatan dari dalam negeri lebih besar.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menguasai 75% pasar farmasi Indonesia, sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 25%. Kondisi ini berbeda dengan negara lain seperti Filipina di mana PMDN berkisar di angka 25% sementara PMA mencapai 75%.
Meski investasi atau modal dari dalam negeri lebih kuat, lain halnya dengan sumber bahan baku. Untuk memproduksi obat di RI masih harus mencari sumber bahan baku dari negara lain, utamanya China.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Utama PT Dexa Medica Herry Sutanto M.M, dalam diskusi reguler Industrial Talk yang digelar Master Program Universitas Prasetiya Mulya bertemakan Outreach the Promising Future of Healthcare Industry yang berlangsung di The Lounge XXI Plaza Senayan, pada Jumat (30/9/22).
“Farmasi dibuat di Indonesia tapi 95% bahan baku masih impor. Jadi kejadian waktu pandemi, China, India lockdown kita kesulitan, butuh perjuangan luar biasa. Saya juga datang sendiri ke sana untuk mencari Chloroquine, biasanya pengiriman India ke Indonesia cuma beberapa hari, kemarin harus melewati beberapa negara jadi lebih lama,” ungkap Herry.
Herry juga sudah membawa Dexa mengekspor produk seperti Stimuno ke berbagai negara, mulai dari Asia Tenggara seperti Kamboja-Filipina, negara Afrika seperti Nigeria hingga benua Eropa.
“Kita jadi salah satu produsen obat generik terbesar di Indonesia yang mensuplai ke JKN, suplier paling banyak produknya ke JKN juga Dexa Group. Kita juga ekspor ke mancanegara produk obat-obatan kita baik kimia maupun herbal,” lanjut Herry.
Selain itu, Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya, Fathony Rahman, DBA, menyoroti minimnya anggaran kesehatan tahun 2023, mencapai 5,9% dari total RAPBN atau Rp731.266 per orang/tahun.
“Jika penduduk berusia produktif yang besar ini penyakitan dan banyak mengalami stunting, misalnya, maka Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain,” ungkapnya.
Fathony pun mendorong agar para pelaku industri, termasuk tenaga kesehatan harus mampu menggunakan marketing untuk mengedukasi masyarakat dalam membangun awareness tentang pentingnya menjaga kesehatan.
“Dan pemerintah juga perlu menyadari bahwa pemasaran dalam industri rumah sakit bukan hal yang tabu. Karena pemasaran bukan selling. Rumah sakit yang punya alat-alat yang mahal dan berteknologi tinggi tentu akan kesulitan mencapai break even point kalau tidak diumumkan kepada publik,” jelasnya.
Dalam ajang Industrial Talk ini, terungkap pula bahwa para pelaku industri kesehatan telah memperhatikan perjalanan konsumen sejak di ranah online hingga offline.
Sejalan dengan hal tersebut, pada ajang Industrial Talk selanjutnya, kampus bisnis terbaik di Indonesia ini akan menghadirkan para pelaku industri pariwisata yang saat ini dengan segenap kekuatannya mendorong percepatan pemulihan pariwisata nasional.***