Seringkali sebuah masalah yang rumit yang nyaris dirasa tak ada rumus penyelesaian, solusinya justru ada di depan mata dan murah. Beberapa bukti yang ditulis oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya The Outliers, menunjukkan hal itu. Dan jika rendahnya jumlah masyarakat yang menggunakan jasa keuangan menjadi sebuah masalah maka sejatinya solusinya pun ada di depan mata.
Berdasarkan data dari survei yang dilakukannya, Otoritas Jasa Keuangan cukup gelisah melihat rendahnya jumlah penduduk Indonesia yang sudah pernah berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan formal lainnya. Oleh karena itu, OJK yang baru setahun terbentuk, tak henti-hentinya melakukan sosialisasi agar masyarakat lebih mengenal lembaga keuangan sehingga memahami manfaatnya dan akhirnya menggunakannya untuk memudahkan kehidupannya.
Akan tetapi di saat OJK dan lembaga keuangan bersusah payah merangkul masyarakat agar mau mendekat, orang-orang di sektor teknologi informasi begitu mudah melakukannya. Dengan makin banyaknya penduduk yang memegang alat komunikasi telepon genggam, makin mudah pula orang-orang di sektor telekomunikasi mengantarkan mereka ke lembaga keuangan.
Berdasarkan data dari tiga operator besar di Tanah Air, jika jumlah pelanggannya digabung maka akan ada sekitar 230 juta orang yang memiliki nomor telepon selular. Bisa dibilang hampir seluruh masyarakat Indonesia telah memilki ponsel. Di sisi lain, dari jumlah penduduk yang mencapai 240 juta, yang memiliki rekening di bank hanya 60 juta orang. Sementara sebanyak 120 juta orang terhitung layak untuk punya rekening tapi tidak punya rekening.
Dengan logika yang sangat sederhana saja, dari fakta tersebut, jelas lebih mudah merangkul masyarakat untuk menggunakan jasa keuangan lewat ponsel ketimbang harus bersusah payah mengenalkan mereka lewat sosialisasi. Dan langkah itu makin terasa mudah ketika penyedia jasa telekomunikasi memunculkan layanan pengiriman uang lewat jalur elektronik (e-money) yang sudah diimplementasikan sejak 2008. Sebut saja layanan T-Cash bagi pelanggan pelanggan Telkomsel, XL Tunai dari XL, maupun Dompetku oleh Indosat.
Dengan ketiga jenis teknologi e-money yang ditawarkan operator tersebut, pelanggan operator telekomunikasi bahkan di tempat terpencil sekalipun bisa menikmati layanan transaksi keuangan meski tidak ada kantor bank, asalkan ada sinyal. Mereka yang biasanya harus menempuh jalan ke kota puluhan kilometer untuk mengetahui informasi perbankan seperti transfer uang ke kantor bank atau kantor Pos, kini cukup menggunakan ponsel mereka. “Saudara-saudara kita di pedesaan melihat kantor bank apalagi pintunya tertutup, sudah grogi. Melihat pegawai bank, sudah buyar konsentrasinya. Tapi dengan pedagang pulsa, mereka lebih akrab,” tutur Mantan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution.
Bank Indonesia tahu persis bahwa ponsel bisa menjadi solusi jitu dan murah agar lembaga keuangan lebih inklusif. Karena itulah, pada tahun lalu, untuk meningkatkan penetrasi e-money, BI memprakarsai bersatunya layanan Telkomsel, XL dan Indosat dalam layanan pengiriman uang elektronik lintas operator. Tujuannya jelas, seluruh pelanggan tiga operator yang berjumlah sekitar 230 juta pelanggan, dapat melakukan transaksi pengiriman uang. Contohnya pelanggan TCASH (Telkomsel) dapat melakukan transaksi transfer ke pelanggan XL Tunai (XL) maupun ke pelanggan Dompetku (Indosat), begitupun sebaliknya.
Interkoneksi layanan transfer antar operator seluler, lanjut Darmin, bertujuan untuk efisiensi industri sistem pembayaran dan diharapkan dapat mendorong percepatan adopsi uang elektronik secara massal. Selain itu, interkoneksi juga akan memberikan lebih banyak kemudahan bagi nasabah untuk melakukan transfer dana ke perusahaan atau institusi lain.
Dengan cara tersebut, petani tak perlu bertransaksi secara tunai. Jika membutuhkan uang tunai, petani bisa menemui agen-agen bank atau agen perusahaan telekomunikasi untuk menarik uangnya. Nantinya, pengguna yang memakai layanan e-money di ponsel bisa melakukan transfer uang dan pembayaran tagihan listrik, telepon, hingga pembayaran tiket transportasi. “Nantinya, mau beli kambing, petani bisa bayar pakai SMS,” ucap Darmin.
Saat ini operator telekomunikasi sudah mulai menerapkan hal itu. Misalnya layanan XL, saat ini telah menggandeng korporasi besar seperti PLN, Garuda Indonesia, Lion Air, dan First Media. Pelanggan XL Tunai di daerah kini sudah bisa melakukan pembayaran tagihan empat perusahaan itu dengan e-money.
Bahkan, XL tunai telah menambah tiga fitur baru, yakni cash in (menerima deposit dana secara tunai) melalui mesin ATM, transfer antar bank ke seluruh rekening bank, serta pembayaran online. Sehingga XL Tunai kini memiliki tujuh fitur dan akan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Tujuh fitur itu adalah cash in, cash out (menarik dana secara cash maupun transfer rekening antar bank), isi ulang pulsa, pembayaran untuk belanja online, pembayaran tagihan secara online, pembayaran di toko dan pengiriman uang domestik.
XL juga memperluas kerjasama dengan berbagai merchant, termasuk menggandeng Bank Internasional Indonesia (BII). Merchant baru yang bergabung antara lain layanan e-commerme Blbli.com dan jaringan minimarket Alfamart. ‘’Di 6.000 gerai Alfamart pelanggan bisa melakukan cash in, cash out dan belanja menggunakan layanan XL Tunai,’’ ujar Chief Commercial Officer XL, Nicanor P Santiago.
Demikian juga dengan Telkomsel. Anak usaha PT Telkom ini mengklaim, layanan T-Cash tumbuh kurang lebih 40 persen per tahun. Di tahun 2012, pelanggan T-Cash mencapai 11,5 juta, dibandingkan tahun awal 2011 hanya 8 juta pelanggan. Di 2013 lalu, Telkomsel mematok target pelanggan T-Cash menjadi 20 juta.
Tren positif ini diprediksi akan terus naik seiring perubahan cara bertransaksi di kalangan pelanggan seluler. Jika masyarakat sudah familiar, layanan T-Cash akan membantu transaksi microfinance yang menjadi solusi untuk daerah terpencil. Menunjang hal tersebut, Telkomsel turut serta dalam program USO (universal service obligation), yakni investasi jaringan dan Internet di daerah terpencil. Sepanjang tahun 2009-2010, operator yang bergerak di bawah Kementerian BUMN itu telah menambah jaringan di 24 ribu desa terpencil melalui program USO serta program Internet masuk desa di 880 desa.
Berbeda dengan dua produk di atas, layanan Dompetku dari Indosat baru resmi beroperasi secara penuh pada Juli 2013. Selain bisa digunakan untuk berbelanja di sejumlah jaringan minimarket dan operator billing untuk pembelian di toko aplikasi, Dompetku kini telah berkembang lebih jauh bekerja sama dengan Bank QNB Kesawan. Kerja sama ini merupakan perluasan kerja sama Ooredoo Group (sebagai induk Indosat) dan QNB (sebagai induk QNB Kesawan) yang sama-sama berbasis di Qatar, di mana akun Dompetku (dan nomor Indosat) akan dikaitkan dengan kartu debit sehingga pengguna Dompetku bisa melakukan tarik tunai di ATM tanpa perlu memiliki akun tabungan.
Presiden Direktur & CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan, dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa dan penetrasi telepon seluler yang melebihi 100 persen, tapi penetrasi perbankan hanya mencapai angka 40 persen, Indonesia adalah satu di antara negara paling atraktif untuk segi keuangan secara mobile. Dompetku saat ini telah menghasilkan 800.000 basis pelanggan dan membentuk kerja sama dengan 5.000 mitra.
Tantangan Industri
Meski bisa menjadi solusi buat program inklusi keuangan, bukan berarti tidak ada masalah pada jalur ini. Bukti nyatanya bisa dilihat dari masih tertatih-tatihnya penetrasi layanan e-money. Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) mencatat pengguna e-money untuk ponsel di Indonesia masih di kisaran 12 juta pengguna. Bahkan dari 12 juta pengguna e-money lewat ponsel, yang aktif hanya 6 persen, jauh dari penetrasi ponsel sendiri yang sudah mencapai 120 persen.
Kendala utamanya adalah literasi atau pengetahuan masyarakat yang minim mengenai industri keuangan itu sendiri. Sehingga ketika, operator telco masuk ke area masyarakat dengan tingkat literasi yang rendah, jasa keuangan yang ditawarkan sulit diterima.
“Tantangan terbesar adalah mengubah perilaku pengguna yang terbiasa menggunakan uang tunai menjadi uang elektronik. Ada faktor kepercayaan, ada faktor ketidak tahuan, adapula faktor merasa belum perlu untuk saat ini,” kata Yessie D Yosetya, VP Digital Service Delivery XL Axiata.
Menghadapi tantangan rendahnya adopsi, menurut dia diperlukan beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya konsisten melakukan komunikasi, mencoba cara-cara baru untuk memperkenalkan uang elektronik dan menumbuhkan perilaku berulang untuk menggunakan layanan uang elektronik.
Tantangan lainnya adalah peraturan mengenai Know Your Customer (KYC) di mana saat ini registrasi hanya bisa dilakukan dengan tatap muka dan tanda tangan basah, dan tidak bisa dilakukan oleh pihak ketiga. “Dangan mempertimbangkan kecanggihan teknologi, kita bisa menggunakan alternatif solusi, seperti registrasi menggunakan handphone,” kata Yessie.
Menurut Yessie, sejatinya regulasi e-money bisa diperlunak tanpa mengorbankan manajemen risiko. Contoh aturan registrasi yang disebutkan di atas, bisa ditambah ketentuan dengan memperbolehkan pengguna mengirimkan uang elektronik tanpa registrasi tapi hanya bisa 2 kali sehari, misalnya. Apabila pengguna mempunyai kebutuhan lebih dari 2 kali mengirimkan uang, baru diperlukan registrasi. Hal-hal seperti itu, lanjut Yessie, lebih mempermudah adopsi masyarakat terhadap layanan finansial.
Sementara itu Ketua ATSI, Alex J Sinaga mengatakan, minimnya transaksi e-money di wilayah operator telekomunikasi lebih disebabkan karena ekosistem e-money di ponsel belum terbentuk. Sejauh ini layanan e-money masih terbatas hanya di antara operator seluler.
Maka dari itu, Alex memprediksi layanan e-money di ponsel ini akan semakin berkembang ke depan jika dilakukan secara bersama dalam sebuah ekosistem, yang tidak hanya teridiri dari lintas operator, tetapi juga melibatkan lebih banyak pelaku industri perbankan. Hal ini sama saja saat operator mengembangkan layanan pesan singkat sesama operator pada waktu dulu. “Tapi saat layanan SMS bisa dilakukan lintas operator, maka bisnis SMS semakin berkembang. Ini (e-money) akan sama saja dengan layanan SMS,” jelas dia optimis.
Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah instrumen e-money mencapai 21,87 juta dengan volume transaksi sebanyak 100 juta per tahun pada akhir 2012. Sementara itu, untuk nominal transaksi tercatat tumbuh dua kali lipat dari Rp 981,29 miliar selama tahun 2011 menjadi Rp 1,97 triliun selama tahun 2012. Sedangkan untuk posisi akhir Januari 2013, tercatat instrumen e-money sudah bertambah menjadi sebanyak 22.246.347 dengan volume transaksi 9.984.560 bernilai Rp 219,71 miliar selama Januari 2013.