JAKARTA, Stabilitas – Tujuan bisnis pada akhirnya adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Meskipun ada banyak sumber daya lain dan ragam perangkat lain, pada umumnya tetap bersentuhan dengan manusia, baik sebagai pengguna maupun desainer. Itu berarti proses bisnis, sistem, aplikasi, produk dan layanan mempertimbangkan psikologi, fisiologi, sosiologi dan ilmu lainnya.
Revolusi industri 4.0 telah menciptakan banyak kemajuan bagi umat manusia, tetapi apakah telah mencapai atau mengarah kepada tujuan-tujuan tersebut di atas? Mengabaikan tujuan-tujuan tersebut, hanya fokus bisnis semata dapat “memperdalam frustasi sosial”. (WEFORUM, 2017).
Oleh karena itu, organisasi (pemerintah/korporasi/nir laba) perlu membangun pendekatan baru agar kemajuan teknologi menempatkan manusia dan standar hidupnya menjadi pusat kebijakan ekonomi/bisnis. Di era merebaknya produk dan layanan digital di berbagai sektor ekonomi, bagaimana organisasi meningkatkan kompetensi modal manusia (human capital) untuk menjadi human-centered organization?
BERITA TERKAIT
Berangkat dari hal tersebut, hari ini Majalah Stabiltas dan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menggelar virtual seminar bertema “Human-Centered Digitalization & Services” Menghadirkan pembicara Taswin Zakaria, President Director Maybank Indonesia dan Danton Sihombing, Founder & CEO Inkara Brand Consulting.
Dalam paparannya, Taswin Zakaria mengatakan, Sumber Daya Manusia (SDM) di era human centered design banyak dibicarakandi berbagai industri, termasuk perbankan. “Sekarang ini human centered design selalu dikaitkan dalam program pengembangan di berbagai industri, termasuk perbankan,” papar Taswin dalam virtual seminar LPPI itu. Human centered design dilakukan untuk perbaikan-perbaikan di infrastruktur teknologi informasi yang nantinya berguna bagi konsumen atau market mereka.
Taswin mengungkapkan, istilah human centered dalam layanan perbankan yang terlihat keren itu, bukanlah “barang baru”. Perbankan sudah lama mengenalnya dengan istilah consumer centris atau consumer focus, yang menjadi panduan bagi industri, khususnya perbankan dalam program development. Hanya saja, human-centered dulu belum sarat dengan pemanfaatan teknologi seperti sekarang ini yang beraktifitas berdasar data. “Mungkin juga dulu consumer focus tidak terlalu canggih dan seksi karena technology computing masih terbatas, data belum diolah dengan baik dan masih tersebar di berbagai organisasi,” terangnya.
Untuk pengolahan data tersebut, kemampuan (capability) dan kompetensi SDM karena tidak semua data tidak semua bisa dipakai, ada juga dan yang bersifat “sampah”. “Nah, untuk memanfaatkan data yang baik dan benar itu diperlukan kompetensi SDM, yang mengerti behavior konsumen dan menganalisanya. Inilah yang kami kembangkan di Maybank, yang kami sebut Digital Ready” lanjut dia.
Dalam kesempatan yang sama Danton Sihombing, seorang konsultan brand dan desain produk mengungkapkan, istilah human centered design lebih tepat disebut dengan design thinking.
Menurutnya, dalam desain ada suatu metodologi, orang mendesain dari siapa untuk siapa, dari manusia untuk manusia. Memang benar esensinya dari manusia untuk manusia. Wilayah human-nya besar,” kata Danton.
Yang menarik dalam mendesain, sambung Danton, wilayah pertama adalah berempati. Empati kepada siapa? Tentu desain yang berpusat kepada manusia.
Danton mencontohkan kepada pengembang properti yang menjual kavling pemakaman bernama San Diego Hills. Saat itu, orang Indonesia belum terbiasa dengan behavior membeli lahan makam lebih dahulu padahal dia belum meninggal. “Pengembang makam itu mengubah pola pikir masyarakat kita. Dan value creation-nya susah direplika oleh pelaku bisnis serupa,” paparnya





.jpg)










