Minyak sawit dinilai akan memberikan peluang investasi yang menguntungkan hingga tahun depan. Kecenderungan naiknya harga minyak mentah dunia dan besarnya konsumsi menjadi faktor yang menguatkannya.
Oleh: Lila Intana
BERITA TERKAIT
Sebagaimana hukum ekonomi bilang, jika permintaan meningkat dan pasokan barangnya tak bertambah maka harga akan naik. Dan sepertinya komoditas minyak sawit mentah tengah mengikuti hukum tersebut.
Di pasar dunia, harga komoditas yang dikenal dengan nama crude palm oil (CPO) itu tengah berlomba dengan kenaikan harga minyak mentah yang belakangan memang terus berfluktuasi akibat krisis Timur Tengah yang tak kunjung usai. Belum lagi dengan spekulasi badai di Teluk Meksiko yang akan mengancam suplai di AS. Padahal, sebelumnya, suplai minyak bumi di sana sudah berkurang akibat topan.
Mengapa harga CPO bisa terkerek kenaikan harga minyak dunia? Jawabannya adalah, ketika harga minyak mentah naik, permintaan akan bahan bakar nabati atau biofuel akan terungkit karena orang-orang akan mengalihkan kebutuhan minyak mentah pada biofuel. Dengan begitu lambat laun harga bahan bakar nabati ikut naik. Nah, CPO yang menjadi komoditas penting dalam proses pembuatan biofuel tentu akan terdongkrak harganya. Dengan kalimat lain, CPO adalah barang subtitusi dari minyak mentah dunia.
Itu belum termasuk kebutuhan rutin akan CPO untuk pembuatan barang-barang kebutuhan rumah tangga (consumer goods).
Menurut data dari Oil World Publications, organisasi independen yang melakukan analisis pasar minyak nabati dunia, total produksi CPO dunia sampai kini mencapai 48,6 juta ton per tahun. Sementara itu kebutuhan dunia akan CPO berkisar 37,6 juta ton sampai 37,9 juta ton per tahun.
Hampir dua pertiga dari kebutuhan dunia itu biasanya habis diserap oleh tiga negara atau kawasan pengimpor terbesar. India membutuhkan 7,1 juta ton per tahun, China 6,6 juta ton per tahun dan Uni Eropa 5,6 juta ton per tahun.
Negara-negara pengimpor itu juga harus berebut CPO dengan pemakai domestik di dua negara produsen terbesar, Indonesia dan Malaysia yang kebutuhan akan komoditas ini juga tinggi. Di Indonesia kebutuhan CPO tercatat 6,28 juta ton per tahun dan Malaysia 4,1 juta ton per tahun. Dua negara ini memasok 85 persen kebutuhan CPO dunia.
Kondisi inilah yang dinilai turut menyumbang pada kenaikan harga CPO yang belakangan terjadi. Fenomena tersebut juga pernah terjadi pada sepanjang 2007 hingga 2009, saat harga minyak dunia mendekati level 100 dollar AS per barrel dan pada saat yang bersamaan harga CPO juga melonjak menjadi 850 dollar AS per ton.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memiliki analisis berbeda. Menurut asosiasi terbesar terkait CPO itu, pasokan komoditas “emas cair” sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan cuaca. Faktor cuaca buruk membuat volume produksi kepala sawit jadi terancam. Di saat yang sama, arus permintaan tidak berkurang. “Semakin buruk faktor cuaca, maka harga cenderung semakin tinggi,” kata Ketua Umum GAPKI, Joefly J Bachroeny.
Buruknya iklim dan cuaca inilah yang akan mengerek harga CPO, selain dorongan dari kenaikan harga minyak mentah. Selain karena faktor substitusi, proses produksi dan distribusi komoditi sawit juga sangat tergantung pada ketersediaan bahan bakar minyak (BBM). “Semakin tinggi harga minyak mentah di pasaran, maka harga jual CPO semakin tinggi,” kata Joefly.
Prospek 2012
Situasi yang menaungi komoditas CPO diperkirakan tidak akan berubah jauh tahun depan. Hal inilah yang membuat beberapa pihak meyakini bahwa kenaikan harga CPO masih akan mewarnai pasar komoditas tahun depan.
Thomas Mielke, Direktur Oil World Publications mengatakan harga CPO dunia untuk tahun depan berada pada kisaran 1.000 dollar AS per ton sampai 1.050 dollar AS per ton. “Ketidakpastian iklim membuat ketersediaan CPO sulit ditingkatkan sehingga harganya masih tinggi,” ujar Thomas Mielke.
Harga CPO pada 2010 rata-rata 902 dollar AS/ton dan harga sepanjang periode Januari hingga Agustus 2011 tercatat 1.170 dollar AS/ton.
Menguatkan pendapat di atas, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengatakan harga CPO secara fundamental memang masih kuat karena kenaikan produksi sekitar 2,42 juta ton/ tahun (dari Indonesia terutama) lebih kecil dari kenaikan permintaan.
Akan tetapi, menurut Wakil Ketua DMSI Derom Bangun, ekonomi global yang lemah dan sentimen pasar yang bearish juga punya kemungkinan untuk mempengaruhi harga.
Oleh karena itu dia berharap agar harga tidak tertekan, pelaku atau perusahaan CPO bisa mempertahankan pangsa pasarnya di negara-negara yang biasa menyerap produk mereka. Perusahaan yang sudah mendapat sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) tentu dapat menjaga kelangsungan pasarnya di Uni Eropa. “Juga yang sudah mendapat sertifikat ISCC (International Sustainability and Carbon Certification) dapat menjual CPO kepada industri biodiesel di Uni Eropa,” papar Derom.
Tetap Menarik
Sementara itu, berdasarkan analisa teknis, Senior Technical Analyst Samuel Sekuritas, Muhamad Alfatih, menyatakan bahwa investasi di komoditas CPO tetap memberikan peluang memperoleh gain yang menarik. Hal itu didasarkan oleh pergerakan harga sepanjang 2010 yang rata-rata berkisar 902 dollar AS/ton dan periode Januari-Agustus 2011 yang bergerak di level 1.170 dollar AS/ton. Bahkan sampai akhir tahun ini, diperkirakan harga rata-rata akan tetap lebih tinggi dari tahun 2010.
Menurut Alfatih, pergerakan harga pada triwulan terakhir tahun ini diperkirakan akan mengikuti tren pada periode yang sama tahun lalu. Meskipun demikian ada kencenderungan agak tertekan ke bawah akibat melemahnya ekonomi global dan rendahnya harga petroleum. “Bulan November (ini), harga diperkirakan merangkak naik di atas 1.100 dollar AS. Harga CPO di dalam negeri juga tentu ikut naik dan diprediksi merangkak di atas Rp 8.800/kg.
Maka pada akhir tahun 2011, Alfatih berani memprediksi bahwa harga CPO berada sekitar 1.150 dolar AS. Tingkat harga ini cenderung akan naik sedikit pada Januari-Februari 2012, kemudian turun karena panen kedelai mulai masuk ke pasar.
“Kemudian pada pertengahan tahun depan, harga akan mengalami tekanan lebih jauh ke tingkat 900 dolar AS, bahkan bisa lebih rendah. Harga lokal bisa tertekan sampai sekitar Rp 7.000/kg termasuk PPN,” jelas Alfatih.
Sedangkan menjelang akhir 2012, kondisi ekonomi global dapat lebih baik dan harga CPO diprediksi akan naik kembali diatas 1.100 dollar AS/ton dan harga lokal diprediksi naik ke tingkat Rp 8.800/kg.
Menurut dia lagi, harga rata-rata sepanjang tahun 2012 diperkirakan akan menyentuh level 950 dollar AS/ton. Sementara harga di Indonesia tergantung dari nilai tukar dollar AS terhadap rupiah dan besarnya Bea Keluar yang mungkin saja berubah. “Secara rata-rata (arithmatic) diperkirakan Rp 8.400 per Kg termasuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” lanjut Alfatih.
Namun demikian, yang harus diperhatikan dari analisis teknis di atas adalah bahwa harga-harga yang disebutkan di atas adalah rata-rata menurut hitungan (arithmatic) yaitu jumlah harga rata-rata bulanan di bagi dengan jumlah bulan dalam setahun.
“Sering terjadi, perusahaan tidak dapat mencapai angka itu namun lebih rendah karena pada saat harga tinggi volume produksi yang dijual relatif kecil dibandingkan dengan volume pada saat harga rendah. Akibatnya harga yang diperoleh perusahaan boleh jadi lebih rendah 5 persen dari harga rata-rata tahunan,” jelas Alfatih lagi.
Biar begitu, berdasarkan analisis fundamental dan teknis di atas tadi, Alfatih berani merekomendasikan bahwa CPO masih sangat layak dijadikan komoditas pilihan dalam berinvestasi terutama di bursa komoditas.
Sementara di Bursa Efek Indonesia, saham-saham sektor agribisnis terutama industri minyak sawit juga tak kalah prospektifnya.
Edwin Sebayang, analis MNC Securities berani merekomendasikan saham-saham CPO seperti London Sumatra (LSIP), Salim Ivomas Pratama (SIMP), Tunas Baru Lampung (TBLA) dan Astra Argo Lestari (AALI), “Rekomendasi beli saham-saham ini,” katanya. SP





.jpg)










