Kebijakan outsourcing yang diterapkan perbankan bagai dua sisi mata uang. Satu sisi bank bisa meraih efisiensi melalui pemangkasan biaya pegawai, namun di sisi lain ada efek negatif jika melihat praktik yang mencuat di industri perbankan saat ini.
Oleh: Syarif Fadilah
BERITA TERKAIT
Ketika Lion Air mulai beroperasi pada tanggal 30 Juni 2000, maskapai itu mampu menarik perhatian karena menawarkan harga tiket yang jauh lebih murah. Padahal saat itu, harga tiket transportasi udara adalah yang termahal dibanding modal transportasi lainnya. Tapi tidak sejak Lion Air mulai terbang.
Tak pelak, saat itu Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara yang merupakan pemimpin pasar, dibuat kalang kabut oleh kemunculan maskapai yang didirikan oleh kakak-beradik Kusnan dan Rusdi Kirana itu.
Merpati yang mula- mula menempati urutan kedua dalam market share jasa penerbangan nasional tiba-tiba melorot ke posisi ketiga. Garuda pun mulai ketar-ketir karena Lion Air yang baru saja berdiri tiba- tiba sudah bertengger di posisi kedua bahkan terus menempel posisi Garuda baik di jalur domestik dan luar negeri. Yang lebih menarik lagi, kabarnya maskapai penerbangan asing Virgin airlines yang ingin masuk ke Indonesia lebih mengkhawatirkan bersaing dengan Lion Air ketimbang dengan Garuda.
Lalu apa yang membuat Lion Air waktu itu begitu fenomenal dan bisa menjual tiket airlines dengan harga sangat bersaing? Jawabnya adalah karena outsourcing. Maskapai ini melepas semua kegiatan yang dinilai bukan bisnis intinya kepada pihak lain. Sebut saja, proses perawatan pesawat dan penyediaan makanan. Strategi itu sangat ampuh untuk memangkas biaya operasional Lion Air yang akhirnya berujung pada kemampuannya menjual tiket dengan harga murah.
Sejak saat itu, strategi outsourcing atau disebut juga alih daya itu mulai naik pamor. Banyak perusahaan mulai mempertimbangkan langkah ini untuk mengamankan kinerja bisnis. Saking maraknya, pemerintah pun memutuskan untuk mengatur bisnis ini dalam sebuah undang-undang (UU) dan jadilah UU No No13 Tahun 2003 disahkan atau tiga tahun setelah Lion Air beroperasi. Akan tetapi UU Ketenagakerjaan itu tidak menyebutkan kata “outsourcing”, yang tertera di sana hanya “pekerjaan yang dialihkan”.
Biar begitu, sejatinya siasat bisnis untuk mengalihkan pekerjaan ke pihak lain itu sudah dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan di sektor minyak dan gas sejak era 70-an. Sektor migas adalah salah satu bisnis yang memiliki risiko yang tinggi sekaligus padat modal. “Apalagi proses melakukan eksplorasi cukup rumit dan panjang sekali. Penggunaan outsourcing karena sistem ini bisa sharing risk sehingga dapat menekan biaya investasi jangka panjang,” kata Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), R Wisnu Wibowo.
Jika ingin ditarik lagi lebih ke belakang lewat kaca mata sejarah yang lebih panjang, menurut beberapa literatur bisnis, praktik outsourcing telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi. Pada saat itu baik Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur atas nama mereka. Bahkan dua negara itu juga menyewa ahli bangunan asing untuk membangun kota beserta dan istana bagi kepentingan bangsa Yunani dan Romawi.
Jadi apapun bisnisnya dan kapanpun mulai dilaksanakan, strategi outsourcing memang utamanya ditujukan untuk memangkas biaya dengan kata lain efisiensi.
Nah, strategi yang sama juga dipakai oleh bank-bank di Indonesia. Perbankan mengalihkan beberapa pekerjaan yang bukan bisnis intinya –yaitu intermediasi dan pengumpulan dana– kepada pihak lain. Semua pihak sepakat, dengan langkah tersebut diharapkan biaya-biaya operasional bisa terpangkas dan mengurangi beban perusahaan.
Outsourcing dapat diartikan sebagai pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar. Dengan kebijakan itu sebenarnya bank sedang membagi risiko kepada pihak luar tadi terkait bisnis yang dialihkannya. Selain itu bank bisa memusatkan perhatiannya pada bisnis intinya. “Dengan menyerahkan sebagian pekerjaan ke pihak outsourcing, bank bisa berkonsentrasi pada bisnis intinya,” kata Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini.
Penyalahgunaan Data
Tetapi apa mau dikata, dalam perjalanannya strategi outsourcing bagai kerikil dalam sepatu perbankan. Seringkali tenaga-tenaga kerja yang dipercaya untuk menjalankan sebagian operasional perbankan justru mengancam reputasi perbankan. Padahal perbankan adalah bisnis yang sangat mengandalkan kepercayaan (trust).
Mencuatnya kasus jual-beli data nasabah kartu kredit sejak awal tahun ini jelas mengancam reputasi perbankan disamping meresahkan nasabah. Pasalnya nasabah seringkali merasa terteror tawaran kartu kredit atau kredit tanpa agunan yang tiba-tiba datang dari layanan pesan singkat (SMS) atau melalui telepon langsung.
Bank Indonesia (BI) bahkan mensinyalir bahwa maraknya penyalahgunaan data nasabah kartu kredit sebuah bank dilakukan oleh perusahaan outsourcing yang digandeng oleh bank tersebut. Data para nasabah kemudian dijual kepada outsourcing bank lain dan selanjutnya data tersebut akan digunakan untuk mengisi formulir aplikasi pengajuan kartu kredit si nasabah.
“Maka banyak keluhan dari masyarakat mengapa sering menerima telepon yang menawarkan kartu kredit ataupun surat yang datang kerumah dimana berisi aplikasi kartu kredit yang telah lengkap bahkan bersama kartu kreditnya,” ujar Kepala Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Aribowo.
Modus perpindahan data biasanya dengan cara penawaran kartu kredit di sebuah pusat perbelanjaan. Para petugas outsourcing nakal itu, kata Arinto biasanya mengiming-imingi nasabah dengan banyak hadiah namun diminta segera mengisi form aplikasi.
Kasus terhebat yang mencoreng perbankan adalah tewasnya seorang nasabah kartu kredit oleh tenaga outsourcing penagihan utang (debt collector) yang disewa oleh salah satu bank asing ternama.
Tak pelak dengan munculnya kasus tersebut, BI terpaksa menghentikan kegiatan pemasaran kartu kredit bank tersebut dengan melarangnya menerima nasabah baru. Padahal kartu kredit merupakan sumber pendapatan utama bank tersebut.
Tetapi BI tidak tinggal diam. Melalui Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, BI tengah menggodok aturan yang akan meregulasi bisnis outsourcing perbankan secara khusus. Dalam aturan itu diperkirakan akan diatur mengenai bagian apa dari bank yang boleh di-outsorcing dan mana yang tidak boleh. Selain itu juga akan diatur kriteria lembaga outsourcing. “Tetapi sebetulnya bank sendiri yang mengukur tingkat risikonya termasuk profil nasabah. Jangan pekerjaan yang berisiko di-outsourcing,” kata Ronald Waas, Direktur Direktorat Sistem Pembayaran Bank Indonesia.
Langkah BI untuk meregulasi bisnis outsoucing di perbankan ketimbang melarangnya dinilai sebagai pilihan yang bijak meskipun kalangan DPR sempat menuntut agar bank tidak diperbolehkan menggunakan outsourcing. Kemarahan DPR itu tentu tidak terlepas dari kematian nasabah kartu kredit yang juga seorang politisi sebuah partai baru.
Saat ini banyak pihak yang menggantungkan diri dari bisnis outsourcing. Bahkan hampir tidak ada satupun bank di Indonesia yang steril dari penggunaan tenaga alih daya. Menurut data ABADI, bank terbesar di Indonesia saja lebih dari separo karyawannya yang berjumlah 26 ribu, merupakan tenaga outsourcing. Tahun depan bisnis itu akan terus berkembang yang diperkirakan akan mencapai lebih dari Rp15 triliun di mana 23 persennya disumbangkan oleh outsourcing perbankan.
Risiko Penghematan
Namun demikian, kondisi yang belum ideal masih menyelimuti bisnis ini jika berhadapan dengan perusahaan yang menggunakan jasanya. Setiap munculnya kesalahan dan kecurangan dalam pekerjaan yang dialihkan melulu salah pihak outsourcing. Padahal bank juga dinilai melakukan penyimpangan saat memutuskan bekerja sama dengan sebuah perusahaan outsourcing.
Menurut Ketua Umum ABADI, R Wisnu Wibowo, bank melakukan kecurangan dengan tidak menjalankan kontrak kerja sesuai dengan UU ketenagakerjaan. Hal itulah yang menurut dia, akhirnya mengakibatkan praktik yang salah dan tuntutan yang berlebihan terhadap pihak outsourcing sehingga mengorbankan tingkat dan kualitas layanan.
Praktik lain yang terjadi adalah mengurangi kualitas SDM dengan menurunkan passing grade pada rekrutment, tidak comply dengan peraturan dan perundangan yang ada, tidak memenuhi hak normatif pegawai.
Outsourcing diakui dapat berjalan keliru dalam berbagai cara seperti yang dikemukakan asosiasi. Kadang-kadang perusahaan menekan kontraktor mereka begitu keras sehingga mereka dipaksa untuk memotong hak tenaga kerja.
Mungkin hal itulah yang mendorong, pegawai-pegawai dari perusahaan outsourcing terpaksa untuk mencari-cari tambahan penghasilan dengan melakukan kecurangan, misalnya dengan menjual data nasabah.
Bagi bank sendiri strategi memangkas biaya bukan tidak mungkin akan membahayakan bisnisnya terutama karena munculnya risiko reputasi akibat praktik kecurangan tenaga-tenaga outsourcing-nya. Hal itulah yang dialami perbankan saat ini. Meski begitu, risiko di atas masih lebih baik ketimbang risiko yang dihadapi oleh Lion Air. Maskapai penerbangan itu mengalami kecelakaan lebih dari 20 kali sejak 2002 dan memakan beberapa korban jiwa. Masyarakat kemudian menghubung-hubungkan kecelakaan itu dengan langkah penghematan yang selama ini dilakukan oleh Lion Air. SP