Pelaku industi dan otoritas menyadari bahwa mereka harus menghentikan perhatian publik terhadap praktik tata kelola yang buruk di industri keuangan non bank. Padahal aturan di sektor tersebut dinilai sudah over-prudent.
Oleh Syarif Fadilah
Tata kelola memang menjadi sorotan tajam ketika publik membicarakan industri keuangan non bank Tanah di Indonesia. Bahkan aroma kegagalan tata kelola industri keuangan tercium oleh lembaga pemeringkat global Fitch Rating sejak 2020. Menurut institusi itu perusahaan jasa keuangan non bank di Indonesia memiliki risiko gagal bayar utang paling besar, apalagi karena sektor itu tertekan akibat pandemi virus corona.
Otoritas keuangan Tanah Air bukannya tidak mengetahui ancaman tersebut. Berkali-kali pejabat pengawas mengingatkan pelaku bisnis untuk mengedepankan tata kelola yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Padahal aturan terkait tata kelola dinilai sudah mumpuni malahan sudah sangat banyak.
BERITA TERKAIT
Terakhir adalah pada Desember tahun lalu ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengadakan telekonferensi. Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), Ahmad Nasrullah, mengatakan bahwa aturan-aturan OJK mengenai industri asuransi sebenarnya sudah sangat banyak. “Bahkan ada yang menilai (banyaknya aturan soal asuransi) sudah over-prudent. Tapi tidak apa-apa, karena jika itu memang untuk kebaikan industri, tentunya itu adalah hal yang bagus,” kata Nasrullah akhir tahun lalu.
Memang harus diakui, kejadian-kejadian gagal bayar atau fraud pada industri asuransi sudah menjadi gatal di punggung yang cukup menggangu, dan terkesan muncul terus menerus. Padahal OJK juga sudah memiliki aturan yang cukup dalam tata kelola industri asuransi nasional. Termasuk dalam konteks tata kelola, manajemen risiko, bahkan hingga manajemen risiko IT yang juga sudah dimiliki oleh OJK.
“Sebenarnya kalau aturan-aturan itu dijalankan dengan baik oleh perusahaan asuransi, insya Allah permasalahan-permasalahan yang sekarang ini ada di industri asuransi itu tidak akan pernah terjadi,” ujarnya. Oleh karena itu, Nasrullah menegaskan bahwa permasalahan atau kasus yang sekarang terjadi di industri asuransi nasional, terutama di beberapa perusahaan asuransi yang besar itu memang ada di masalah tata kelola
Aturan-aturan OJK sebenarnya sudah memelototi tiga tahapan di industri asuransi, supaya sebuah produk asuransi yang dijual kepada masyarakat tidak merugikan nasabah. Mulai dari tahapan desain produk, pengelolaan premi sebagai investasi, sampai pada tahap akhir yakni soal penanganan konsumen dalam hal pembayaran premi. Contohnya, pada tahap pertama ketika perusahaan asuransi mendesain sebuah produk. “Itu aturan kita sudah tetap, sehingga tidak sembarangan perusahaan asuransi mengajukan produk ke OJK dan lolos begitu saja, itu tidak mungkin,” kata Nasrullah.
Kemudian, OJK juga akan memeriksa lagi apakah perusahaan asuransi yang akan mengeluarkan produk tersebut cukup memiliki infrastruktur dan sumber daya yang cukup untuk mengelola produk itu. Hal itu seiring pertimbangan OJK untuk melihat apakah segmen pasar untuk produk tersebut bisa ada atau tercipta.
Kemudian soal perhitungannya, OJK juga akan melihat apakah perhitungan keekonomian dari produk asuransi tersebut sudah pas atau belum, serta pemeriksaan terhadap aspek kecukupan permodalan, aset, dan hal terkait lainnya di perusahaan tersebut. “Jadi pada tahap desain produknya pun itu sudah terjadi diskusi dengan OJK, sampai OJK memiliki tingkat keyakinan ‘Oke, anda bisa jualan (produk asuransi) ini’,” ujarnya.
Pengawasan yang cukup menyeluruh terhadap produk-produk di IKNB, terutama asuransi itu, diakui oleh pelaku bisnis. Shadiq Akasya, Direktur Utama BNI Life mengatakan pihanya selalu berupaya mengedepankan good corporate governace dalam menjalankan bisnisnya.
Di era teknologi informasi yang menghasilkan digitalisasi dalam setiap layanan di industri keuangan, praktik GCG tidak bisa dilepaskan dari hal tersebut. Namun demikian setidaknya ada empat area yang menantang buat pelaku IKNB dalam menerapkan tata kelola.
“Di BNI life juga kami sadar bahwa prinsip tata kelola di era digital tidak terlepas dari tata kelola teknologi informasi yang baik, untuk dapat memastikan TI itu dapat mendukung tujuan dan kebutuhan bisnis perusahaan,”kata dia.
Dalam memastikan tata kelola yang baik, yang pertama harus dipastikan perseroan adalah ketika membuat desain atau blue print. Langkah tersebut dilakukan agar perusahaan memiliki pondasi dasar pengembangan bisnis yang memenuhi GCG. “Di BNI Life kami membangun apa yang dinamakan IT Strategic Plan. Dengan itu kita bisa melihat perkembangan IT yang kita miliki saat ini dan bahkan untuk ke depan,” tambah Shadiq.
Kemudian setelah itu perseroan harus memiliki bisnis model yang jelas dalam membangun layanan digitalisasi ini. Ini adalah kunci utama untuk perencanaan bisnis yang akan dilakukan perseroan sehingga penting untuk dipastikan praktik tata kelolanya. Menurut Shadiq, jika perseroan berkeinginan membuat suatu layanan digitalisasi tanpa ada proses yang jelas, maka bisnis itu nanti akan sia-sia.
“Berbeda dengan orang. Kalau orang itu kita ada sisi fleksibilitasnya, sementara mesin itu tidak punya rasa fleksibilitas. Kalau dia terpenuhi, dia akan langsung melakukan running bisnis modelnya. Tetapi kalau tidak terpenuhi dia tidak akan running,” jelas Shadiq.
Kemudian yang ketiga ada tantangan pada bisnis proses. Bisnis proses merupakan suatu yang sangat vital dalam menjalani proses bisnis dari model yang telah dibuat. Setelah melewati tiga tantangan tersebut, kemudian perusahaan juga harus membuat Standard Operational Procedure (SOP). Dan dalam membangun SOP tentu harus dikaitkan dengan aturan tata kelola perusahaan yang berlaku.
Akar Kuat
Penguatan GCG menjadi tuntutan tersendiri bagi pelaku bisnis keuangan terutama non bank. Regulator menilai maraknya berbagai kasus di perusahaan asuransi belakangan ini disebabkan karena beberapa perusahaan tidak menjalankan tata kelola perusahaa.
Direktur Pengawasan Asuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Supriyono menjelaskan, regulator sangat menekankan pentingnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik karena ini menjadi tonggak yang penting bagi perusahaan menjalankan bisnis.
Otoritas sendiri sudah menerbitkan peraturan OJK sejak tahun 2014 mengenai pentingnya implementasi GCG ini dan kemudian diperbarui pada 2016 dan terakhir di 2019.
“Banyaknya kasus memang sebagian besar kurangnya penerapan GCG di perusahaan. Kalau pakai metafora, GCG seperti akar yang tidak kelihatan dari luar, tapi kelihatan buah dan daunnya. Kalau akarnya kuat, pohonnya akan survive,” kata Supriyono.
Meski dia mengakui, banyak perusahaan asuransi yang mengalami gagal bayar akibat pandemi Covid-19. Namun, apabila perusahaan tersebut memiliki akar yang kuat, dalam hal GCG yang baik, perusahaan masih dapat bertahan dan menghasilkan berbagai produk asuransi yang berkualitas.
“Pandemi Covid-19 ini menjadi bukti, hanya perusahaan yang memiliki GCG dengan implementasi bagus yang mampu bertahan. Kita pun perlu meninjau ulang isu-isu fundamental, apa saja yang masih bolong-bolong untuk kita improve lagi,” ujarnya.
Lebih lanjut, dijelaskan Supriyono, penerapan GCG ini perlu komitmen berbagai pemangku kepentingan. Salah satu yang ditekannya ialah peran komisaris dan direksi yang harus lebih berfungsi lebih optimal lagi. Selain itu, berbagai aspek juga harus diperkuat seperti manajemen risiko, pengendalian internal, hingga berbagai rencana strategis perusahaan ke depan.
Manajemen risiko memang hadir belakangan di lingkungan industri non bank. Jika perbankan sudah memiliki aturan pengelolaan risiko sejak tahun 2000-an awal, pelaku jasa asuransi, bersama lembaga jasa keuangan selain bank lainnya, baru mendapatkan aturan yang sama pada 2016. Tak pelak praktik tata kelola perusaan yang baik di lembaga keuangan non bank ketinggalan setidaknya belasan tahun dibanding perbankan.
Sektor asuransi, baru menjadikan GCG sebagai elemen esensial mulai 2016 ketika Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan Nomor 73/POJK.05/2016 Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. Pada 2019, aturan itu kemudian diperbarui menjadi Peraturan No. 43 /POJK.05/2019.
Berdasarkan aturan baru, otoritas mewajibkan setiap perusahaan asuransi untuk menunjuk satu orang anggota Direksi yang membawahi fungsi kepatuhan. Posisi direksi ini tidak boleh dirangkap oleh anggota Direksi lain yang membawahi fungsi teknik asuransi, fungsi keuangan, atau fungsi pemasaran.***





.jpg)










