Siapa yang tak ingin bekerja di bank? Kalimat itu memang sebuah pertanyaan retoris. Gaji, tunjangan dan bonus yang tinggi di sektor perbankan tak pelak membuat industri ini tak pernah sepi peminat lulusan-lulusan baru perguruan tinggi yang ingin memulai karier.
Perbankan memang menjadi sektor yang menjanjikan pendapatan dan karier mentereng bagi seorang pekerja. Namun sebaliknya, bekerja di bank juga menjanjikan tingkat stres yang tinggi. Hal itu tidak terlepas dari ketatnya regulasi yang mengatur lembaga itu. Selain itu gaya hidup yang mewah seringkali juga menjadi bumerang bagi bankir-bankir dalam menjalani karier di perbankan.
Di samping itu, gaji tinggi yang disertai bonus selangit juga membuat industri ini selalu dihantui risiko yang cukup menyeramkan. Krisis yang terjadi di AS dan Eropa yang hingga kini belum terselesaikan ternyata berasal dari pemberian gaji dan bonus kepada bankir-bankir top yang gila-gilaan. Oleh karena itu tak mengherankan jika kemudian otoritas AS dan Eropa kemudian bertindak cepat dengan mengeluarkan aturan pembatasan remunerasi bagi bankir.
Gelombang kebijakan pembatasan gaji bankir yang diterapkan di AS dan Eropa lambat laun sampai juga di Indonesia. Meski sayup-sayup namun rencana itu tampaknya akan direalisasikan otoritas karena fungsinya yang sangat krusial dalam menangkal risiko perbankan.
Meski demikian hingga kini otoritas masih terlihat ragu-ragu untuk menerapkan aturan itu. Padahal pembatasan gaji bisa meningkatkan efisiensi industri perbankan, karena komponen gaji merupakan salah satu yang terbesar dalam membentuk elemen rasio biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO). Apalagi hingga kini BOPO perbankan nasional merupakan yang tertinggi di kawasan sehingga membuatnya selalu kalah bersaing.
Paling Boros
Dalam salah satu diskusi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah menyatakan rasio BOPO perbankan Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara peer di kawasan ASEAN. “Bank di Indonesia sulit bersaing, karena efisiensi di sini jauh tertinggal. BOPO kita paling buncit, kalah dari Filipina. Bahkan dari Vietnam juga kalah, padahal mereka perbankannya cenderung baru berkembang,” kata Halim.
Per akhir 2011, BOPO perbankan di Tanah Air sebesar 85,4 persen dan angka ini jauh di atas Malaysia yang sebesar 46 persen, Vietnam sebesar 46,9 persen, Thailand sebesar 49,3 persen dan Filipina sebesar 79,6 persen.
Sementara itu mengacu pada statistik BI, dalam lima tahun terakhir rasio BOPO industri perbankan Indonesia berada pada kisaran 76 persen hingga 89 persen. Terlihat tren rasio BOPO cenderung turun. Data per Mei 2012 menunjukan jenis Bank Umum Swasta Nasional Non-devisa membukukan rasio BOPO tertinggi, sementara BPD mencatatkan angka terendah. Rata-rata BOPO dalam kurun waktu tersebut adalah 84,71 persen.
Dibandingkan dengan industri sejenis di kawasan ASEAN, perbankan Indonesia memang paling boros. Bank umum di Malaysia misalnya, beban operasional negeri jiran tersebut hanya sekitar 40 persen dari total pendapatan operasional. Angka yang tak jauh beda terjadi juga di Singapura dan Thailand. Singapura yang sedang bergerak menjadi pusat keuangan baru di Asia membukukan 42 persen untuk rasio BOPO perbankannya. Sementara rasio BOPO perbankan Thailand tercatat 54,3 persen. Bahkan Filipina BOPO-nya sekitar 74 persen.
Menurut Halim, salah satu yang membuat perbankan Indonesia memiliki BOPO tinggi dan cenderung tidak efisien karena besaran remunerasi dan gaji eksekutif bank. Pernyataan Halim itu terbukti benar, setidaknya dilihat dari hasil riset Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS).
Berdasar laporan keuangan publikasi Desember 2011 di beberapa bank, porsi beban tenaga kerja kerja terhadap total beban operasional bervariasi pada kisaran 10 persen hingga 46 persen. Beban tenaga kerja ini mencakup biaya gaji, uang lembur, tunjangan, bonus dan biaya pelatihan/pendidikan. Meski besaran tiap bank berbeda, beban tenaga kerja cenderung meningkat tiap tahun.
Biaya gaji memang merupakan salah satu komponen yang selalu meningkat yang terkait dengan penyesuaian pendapatan terhadap tingkat inflasi. Bahkan menurut data dari salah satu konsultan tenaga kerja rata-rata kenaikan gaji karyawan industri di Indonesia pada 2011 mencapai 11,2 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata keseluruhan sektor industri yang berada di angka 10,3 persen.
Meski demikian, pengamat perbankan Ryan Kiryanto menilai sistem remunerasi di perbankan Indonesia saat ini sudah tepat karena didasarkan pada prinsip equal pay for equal job. Artinya seseorang dihargai karena kompetensi dan profesionalismenya. Semakin tinggi level dan kedudukannya, semakin besar ruang lingkup tanggung jawab atas risiko yang diembannya sehingga semakin besar pula paket remunerasinya.
Selain itu dalam praktik umum, menurut dia besaran remunerasi, gaji, tantiem dan bonus untuk pengurus dan pejabat bank bukan merupakan domain regulator tetapi domainnya industri. Pemegang saham menentukan standar gaji komisaris dan direksi lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Apalagi dibanyak bank pemberian remunerasi sudah menggunakan jasa konsultan SDM untuk menilai kelayakan standar remunerasi seorang bankir profesional,” lanjut Ryan.
Sementara terkait risiko, Ryan melihat dampak dan risiko dari pemberian gaji yang tinggi sebenarnya tidak ada, karena semuanya diatur berdasarkan prinsip equal pay for equal job atau competency and performance based. “Makanya pemilik bank dalam hal ini divisi sumber daya manusia juga harus hati-hati dan cermat dalam menetapkan standar gaji bankir agar tidak ketinggian (over pay) dan juga tidak terlalu rendah (under pay).
Menurut Ryan, jika ingin perbankan Indonesia lebih efisien maka yang harus dilakukan adalah memperbaiki struktur organisasi agar lebih business oriented, merekomposisi pos-pos direksi agar lebih agresif melakukan penetrasi pasar. Selain itu bank juga harus meningkatkan kualitas, kapabilitas dan kompetensi pegawai terutama terkait dengan manajemen risiko bank melalui pelatihan intensif