Pemangku kepentingan harus bisa membenahi praktik tata kelola di sektor asuransi. Situasi pandemi yang melahirkan krisis ekonomi ini bisa menjadi momentum untuk melakukannya.
Oleh Romualdus San Udika
Jika berbicara tata kelola di industri asuransi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beberapa tahun belakangan ini praktiknya tengah berada dalam kondisi parah. Agar krisis ekonomi tidak memperparah situasi itu, diperlukan langkah konkret untuk memperbaikinya.
Ya, kasus-kasus gagal bayar dan juga kecurangan dari beberapa perusahaan asuransi telah mendominasi berita buruk mengenai industri proteksi ini sejak lima tahun lalu. Hal itu tentu akan mengganjal citra industri yang juga masih harus berjuang mengambil hati masyarakat Indonesia yang masih ragu berasuransi. Karena itu, banyak pihak yang mendesak agar seluruh stakeholder asuransi memperbaiki praktik tata kelola di sektor ini meski ekonomi tengah diterjang pandemi.
BERITA TERKAIT
Direktur Pengawasan Asuransi Otoritas Jasa Keuangan Supriyono mengatakan, isu tata kelola menemukan relevansinya ketika perusahaan menemui suatu krisis. Pandemi Covid-19 yang masih merundung ekonomi saat ini menjadi bukti bahwa perusahaan yang mampu bertahan adalah perusahaan yang menerapkan GCG dengan baik.
“Kami meyakini peningkatan praktik CGC dari pelaku bisnis demi kelangsungan usaha, kepentingan stakeholder, dan menghindari keuntungan sesaat, akan berimbas pada ketahanan industri di berbagai situasi,” kata Supriyono pada sebuah acara daring beberapa waktu lalu
Sejatinya OJK sudah memutakhirkan aturan terkait tata kelola kepada lembaga keuangan nonbank meski tidak secara langsung. Dalam aturan No.28 tahun 2020 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan bagi Jasa Keuangan Non-Bank, OJK menempatkan tata kelola sebagai tolok ukur pertama dalam penilaian. Setelah itu, baru dilakukan penilaian terhadap profil risiko, rentabilitas, permodalan dan akses ke pendanaan.
“Tata kelola kita tempatkan nomor satu dalam asesmen tingkat kesehatan suatu perusahaan. Karena kita sudah banyak belajar dari permasalahan-permasalahan yang timbul pada hari ini, karena akarnya memang sebagian besar kurangnya penerapannya. GCG ini memang tidak terlihat dari luar, GCG ini seperti akar, kalau kuat maka buah dan daunnya akan bagus. Meski beberapa daun akan gugur, kalau ada angin puyuh besar maka pohonnya akan tetap tumbuh dan bertunas kembali,” papar Supriyono.
Memang Harus diakui bahwa sektor asuransi kesehatan memang masih tertinggal dari perbankan dalam hal tata kelola. Good corporate governance (GCG) perbankan mendapat perhatian serius pasca krisis 1998, seiring dengan masifnya kebijakan rekapitalisasi bank-bank yang kolaps. Sedangkan pelaksanaan GCG industri keuangan non bank (IKNB), utamanya asuransi, baru muncul pada 2000 di bawah Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Kemudia dilegalkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di tahun 2012. “Better late than never. Tapi ini lebih baik karena sudah mengarah ke sana (seperti perbankan),” kata Ihsanuddin, M. Ihsanuddin, Deputi Komisioner Pengawas IKNB Otoritas Jasa Keuangan dalam sebuah virtual seminar yang diselenggarakan oleh LPPI, beberapa waktu lalu.
OJK memang tidak ingin ada ketimpangan besar antara tata kelola di asuransi dan di perbankan dengan terus memperbarui aturan terkait. Terakhir otoritas sudah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 43 tahu 2019.
Secara prinsip dan best practice, GCG perbankan dan asuransi tak jauh berbeda, yakni adanya Keterbukaan (transparency); Akuntabilitas (accountability); Tanggung Jawab (responsibility); Independensi (independence); dan Kewajaran (fairness).
“Memang GCG secara best pratice ada di transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness. Tapi selain lima prinsip tadi, dalam impelemntasinya kita juga harus memperhatikan dalam struktur organisasi, dalam hal ini perusahaan asuransi,” kata Ihsanuddin.
Menurutnya, meski dalam penerapan GCG sudah dibuat struktur yang baik, tetapi ada dua prinsip lagi yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah soal pegawasan melakat (waskat) di diri sendiri, behavior kita apakah sudah mengarah kesana atau belum. Kedua, regulasi sebagai faktor pemaksa kita melaksanakan GCG dengan benar. “Selama dua faktor tadi dijaga dengan baik, tidak ada istilah gagal bayar dalam industri asuransi. Juga tidak ada yang merasa dihukum atau diperlakukan lunak oleh regulator,” ujar Ihsanuddin.
Saatnya Reformasi
Sektor asuransi memang tengan mengalami cobaan berat. Beragam kasus gagal bayar telah mencoreng industri ini yang berpotensi membuatnya makin dijauhi oleh nasabah. Yang masih terngiang dalam ingatan adalah kasus gagal bayar yang melibatkan salah satu asuransi terbesar di Indonesia yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Perusahaan ini mengalami gagal bayar polis kepada nasabah terkait produk investasi Saving Plan. Produk tersebut merupakan asuransi jiwa berbalut investasi hasil kerja sama dengan sejumlah bank sebagai agen penjual.
Kasus yang diungkap oleh Kejaksaan Agung dengan potensi kerugian negara mencapai Rp17 triliun itu masih bergulir proses penyelesaiannya di meja pengadilan. Sejumlah industri keuangan lain ikut terseret di dalam arus gagal bayar tersebut, dan menjadikan beberapa pemimpin dan pemilik perusahaan dipenjara, akibat aksi pencucian uang demi keuntungan pribadi.
Mirip dengan kasus pada Jiwasraya, kerugian negara sementara dari kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi periode 2012-2019 di PT Asabri (Persero) masih menjadi yang terbesar di Indonesia yakni mencapai Rp23,74 triliun menurut pemeriksaaan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dua kasus tersebut –yang sayangnya dilakukan oleh perusahaan negara, dinilai harus menjadi pelajaran berharga bagi pelaku dan juga otoritas di industri asuransi. Serta menjadi momentum sektor asuransi melakukan reformasi guna mengembalikan kepercayaan masyarakat. “Masalah yang dihadapi Jiwasraya saat ini harus bisa menjadi titik balik dalam reformasi industri asuransi,” kata Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwasraya R. Mahelan Prabantarikso.
Menurut dia, salah satu aspek yang harus ditekankan dalam industri asuransi adalah pentingnya penerapan tata kelola perusahaan, manajemen risiko korporasi, dan kepatuhan terhadap peraturan (governance risk compliance/GRC), sehingga terintegrasi dalam mencegah konflik kepentingan.
Mahelan menjelaskan, dirinya bersama jajaran manajamen baru Jiwasraya telah menemukan pelaksanaan manajemen risiko yang tidak optimal. Kondisi itu bahkan terjadi hingga masalah gagal bayar mencuat ke publik pada Oktober 2018. “Di Jiwasraya, kami temukan banyak unit yang manajemen risikonya tidak optimal, misalnya dalam menjalankan investasi tidak prudent. Karena itu penting terdapat GRC,” ujar Mahelan.
Ihsanuddin dari OJK juga sepakat bahwa reformasi asuransi pun menjadi agenda yang perlu didorong, baik oleh otoritas maupun para pelaku industri. Ihsanuddin menyatakan bahwa langkah reformasi akan disertai oleh pengembangan kebijakan industri asuransi, yang fokus pada stabilitas, daya saing, dan keberlanjutan bisnis. Dalam mendorong penguatan industri asuransi, pengawasan OJK akan diubah dengan berdasar kepada kaidah manajemen risiko dan tata kelola perusahaan. Selain itu, pengawasan pun akan mengantisipasi pengembangan teknologi dan produk-produk digital.
Sementara itu, Supriyono, pejabat otoritas pengawas asuransi menjelaskan jika perusahaan bisa menerapkan tata kelola yang baik, maka akan menghasilkan bisnis yang mengedepankan prinsip usaha mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan dan kepentingan para stakeholder. Pada akhirnya hal itu akan menciptakan ketahanan industri.
Dia pun menyoroti pentingnya kecukupan struktur organisasi, yang tidak hanya sekadar ada. Namun, benar-benar menjalankan fungsinya termasuk komisaris. Menurut Supriyono, komisaris harus bersikap kritis kepada direksi. Pasalnya, OJK selama ini melihat komisaris masih memfungsikan dirinya dengan tepat.
“Dalam tata kelola perusahaan yang baik, kami berharap dewan komisaris memastikan perusahaan dikelola dengan baik oleh para direksi agar bisnis berkelanjutan dan langgeng. Jadi memang fungsi pengawasan dewan komisaris harus lebih dipertajam lagi,” ungkapnya.***





.jpg)










