JAKARTA, Stabilitas.id – Pemerintah didorong untuk segera memperbarui sistem perpajakan digital guna mengikuti laju pesat pertumbuhan ekonomi digital nasional yang diperkirakan mencapai USD120 miliar pada 2025 dan USD360 miliar pada 2030.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2024), nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD90 miliar pada 2024, menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara. Dengan transformasi digital yang semakin masif, kebutuhan akan sistem perpajakan yang adaptif dan inklusif menjadi semakin mendesak.
Beberapa langkah yang telah diterapkan di Indonesia antara lain pemungutan PPN atas jasa digital luar negeri, penerapan PPh final 0,5% bagi UMKM dengan omzet tahunan antara IDR500 juta hingga IDR4,8 miliar, serta kewajiban marketplace memungut PPN dan PPh final UMKM dari pedagang pihak ketiga di platform mereka.
BERITA TERKAIT
“Penyesuaian kebijakan perpajakan digital merupakan langkah strategis menghadapi dinamika ekonomi berbasis teknologi. Sistem perpajakan harus mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif dan berkeadilan,” tulis laporan harian dari Office of Chief Economist PT Bank Mandiri, dikutip Rabu (30/7).
Sejumlah negara telah lebih dahulu mengadopsi pendekatan serupa. India mengimplementasikan skema threshold dan tarif bertingkat untuk pelaku usaha digital, Australia mengedepankan edukasi dan pendampingan ketimbang sanksi, sementara Singapura menyederhanakan pelaporan keuangan bagi usaha mikro.
Bank Mandiri menekankan pentingnya regulasi yang proporsional, dengan mempertimbangkan kapasitas pelaku usaha kecil agar tidak terbebani, serta menjaga keberlanjutan pertumbuhan sektor ekonomi digital di masa depan. ***





.jpg)










