Stabilitas.id — Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tercatat mencapai Rp479,7 triliun atau 2,02% terhadap PDB hingga akhir Oktober 2025. Nilai ini naik dari posisi September yang sebesar Rp371,5 triliun atau 1,56% PDB.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan kenaikan defisit tersebut sejalan dengan meningkatnya aktivitas belanja negara, namun tetap berada jauh di bawah batas maksimal defisit APBN 2025 sebesar 2,78%. “Ini mencerminkan komitmen defisit yang kuat untuk menjaga APBN yang efektif,” ujarnya dalam APBN Kita, Kamis (20/11/2025).
Purbaya memaparkan bahwa penguatan pendapatan negara menjadi salah satu faktor yang menjaga kualitas defisit. Per Oktober 2025, pendapatan negara telah mencapai Rp2.113,3 triliun atau 73,7% dari outlook, naik dari Rp1.863 triliun pada September.
BERITA TERKAIT
Penerimaan pajak tercatat Rp1.708 triliun atau 71,6% dari outlook, sementara PNBP mencapai Rp402,4 triliun atau 84,3%.
Sementara itu, belanja negara mencapai Rp2.593 triliun atau 73,5%. Belanja pemerintah pusat tercatat Rp1.879,9 triliun (70,6%), sedangkan transfer ke daerah mencapai Rp713,4 triliun (82,6%).
Dengan alur pendapatan yang menguat dan belanja yang meningkat pada program prioritas, Purbaya memastikan defisit APBN tetap dalam jalur aman menuju akhir tahun. Kemenkeu juga melakukan pemantauan lebih rinci terhadap belanja K/L dan transfer ke daerah.
Rupiah Melemah Moderat
Terkait nilai tukar, rupiah kembali dibuka melemah pada perdagangan Kamis pagi. Data Refinitiv menunjukkan rupiah dibuka di Rp16.720 per dolar AS, melemah 0,18% setelah sehari sebelumnya menguat 0,27% ke Rp16.690.
Purbaya menilai pelemahan rupiah sepanjang tahun masih tergolong moderat. “Rupiah melemah 3,7% year to date. Ini lebih moderat dibandingkan Turki 19,6% dan Argentina 36,1%,” katanya. Pemerintah dan BI dalam KSSK disebut tetap menjaga stabilitas nilai tukar di tengah tekanan global.
Ia menyampaikan bahwa ketidakpastian global masih tinggi akibat tensi perang dagang dan volatilitas pasar keuangan. Namun, ia melihat sinyal positif mulai muncul, antara lain, meredanya tensi perdagangan AS–China, The Federal Reserve menurunkan suku bunga acuan dua kali tahun ini. “Hal ini memberikan sinyal positif bagi stabilitas ekonomi global,” ujarnya.
Semntara, keyakinan dunia usaha juga tercermin dari PMI manufaktur global yang berada di 50,8 pada Oktober 2025. Di Indonesia, PMI tercatat lebih tinggi di level 51,2, menunjukkan aktivitas industri masih ekspansif.
Purbaya menegaskan kondisi ini didukung pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara yang masih solid, termasuk Indonesia. ***





.jpg)










