JAKARTA, Stabilitas.id — Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) kembali menggelar Virtual Seminar seri ke #25 bertemakan Industri Asuransi Jiwa: Mendorong Penetrasi Berkesinambungan Melalui Peningkatan GCG, Kamis 10 September 2020.
Selain menampilkan keynote speaker M. Ihsanuddin, Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK, virtual seminar kali ini juga menghadirkan pembicara Kristianto Andi Handoko, Deputi Direktur Pengawasan Asuransi II OJK; Rianto Ahmadi, Chief Risk & Compliance Director PT Prudential Life Assurance; Rista Qatrini Manurung, Director of Legal Compliance & Risk PT AIA Financial serta Budi Tambupolon, Ketua Dewan Pengawas AAJI Periode 2019-2020.
Dalam paparannya berjudul Membangun Ekosistem Industri Asuransi Jiwa, M. Ihsanuddin mengatakan riak-riak pelaksanaan tatakelola perusahaan (Good Corporate Government/GCG) di Indonesia mulai dibicarakan tahun 90-an lalu. Puncaknya saat Indonesia didera krisis moneter di tahun 1998, pelaksaaan tatakelola lebih difokuskan ke sektor perbankan yang mengikuti program rekap senilai Rp642 triliun. Sedangkan pelaksanaan GCG industri keuangan non bank (IKNB), dalam hal ini asuransi baru muncul di tahun 2000 di bawah Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Mulai dilegalkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di tahun 2012.
BERITA TERKAIT
“Better late than never. Tapi ini lebih baik karena sudah mengarah ke sana,” kata Ihsanuddin.
Kini, aturan GCG di IKNB sudah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat beberapa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) semisal 73 Tahun 2016 dilengkapi POJK 43 Tahun 2019.
Secara prinsip dan base practice, kata Ihsanuddin, GCG perbankan dan asuransi tak jauh berbeda, yakni adanya Keterbukaan (transparency); Akuntabilitas (accountability); Tanggung Jawab (responsibility); Independensi (independence); dan Kewajaran (fairness).
Memang, GCG secara best pratice ada di transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness. Tapi selain lima prinsip tadi, dalam impelemntasinya juga harus memperhatikan dalam struktur organisasi, dalam hal ini perusahaan asuransi.
Sudah cukupkah struktur dari kepengurusan, misalnya dari Direksi dan Komisaris, juga komite-komite yang mendukung pelaksanaan GCG tadi. Juga prosedur, pembagian tugas yang diatur secara government. Kalo semua itu dipenuhi, harus juga dilihat apakah GCG itu bisa berjalan dengan baik? Ada monitoring dan evaluasi supaya bisa efektif penerapannya. Outcome-nya seperti apa? Apakah bisa memuaskan stakeholder?
Menurut Ihsanuddin, meski dalam penerapan GCG sudah dibuat struktur yang baik, tetapi ada dua prinsip lagi yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah soal pegawasan melakat (waskat) di diri sendiri, behavior kita apakah sudah mengarah kesana atau belum.
Kedua, regulasi sebagai faktor pemaksa kita melaksanakan GCG dengan benar. Selama dua faktor tadi dijaga dengan baik, tidak ada istilah gagal bayar dalam industri asuransi. Juga tidak ada yang merasa dihukum atau diperlakukan lunak oleh regulator, tegasnya dalam virtual seminar LPPI itu.
Dalam kesempatan yang sama Kristianto Andi Handoko mewakil regulator mengatakan, pihaknya selalu melakukan pengawasan melekat terhadap industri asuransi. Fokus OJK di pengawasan, apakah perusahaan asuransi sudah menjalankan fungsi-fungsi, seperti fungsi kepatuhan, sudahkah diterapkan auditor internal dan aktuaria independen, penerapan manajemen risiko, remunerasi bagi direksi dan komisaris di jajaran bawahnya dan sebagainya, kata dia dalam virtual seminar LPPI itu.
Temuan OJK terhadap pengawasan perusahaan asuransi ini bermacam-macam, mulai
Direksi, Komisaris, dan Komite komite yang belum lengkap, komposisi keanggotaan komite investasi belum sesuai, belum ada Pedoman Formal Etika Bisnis dan Etika Kerja (Code of Conduct), sampai belum memiliki sistem yang baik atas ukuran kinerja pegawai dan satuan kerja.
Kontribusi Industri Asuransi
Sementara itu, menurut Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon, industri asuransi jiwa di Indonesia selalu memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Salah satu contohnya dapat dilihat dari dukungan industri asuransi jiwa terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Industri asuransi jiwa menghimpun dana investasi jangka panjang. Total aset industri asuransi jiwa sampai kuartal tiga 2019 adalah Rp548 triliun dan total investasi mencapai Rp481 triliun. Ke mana diinvestasikan? Sebagian di deposito, sukuk, SBI, reksa dana, saham, dan lain-lain, ujar Budi.
Industri asuransi jiwa mengumpulkan dana investasi jangka panjang senilai Rp100 triliun lebih dalam obligasi, SUN, atau sukuk guna pembangunan infrastruktur. Industri asuransi jiwa sangat cocok dalam mendukung program kerja pemerintah, khususnya pembangunan SDM dan pembangunan infrastruktur. Kenapa? Karena pendanaannya jangka panjang, jelasnya dalam virtual seminar LPPI itu.
Budi meyakini, kontribusi industri asuransi jiwa terhadap pertumbuhan ekonomi akan terus positif. Dirinya juga percaya industri asuransi jiwa di Indonesia masih mempunyai ruang pertumbuhan yang besar ke depannya, tinggal pengelolaan dan pengawasan perusahaan yang berlandaskan profesionalisme dan prinsip kehati-hatian yang perlu dikedepankan lagi.
Budi menambahkan, saat pandemi sekarang, industri asuransi jiwa juga terkena dampaknya. Dia memperkirakan penurunan kinerja bisa terjadi hingga akhir tahun ini.
Hal tersebut membuat perusahaan-perusahaan asuransi jiwa harus menyiapkan strategi yang matang agar bisa menjaga dan mengoptimalkan bisnis pada masa pandemi ini.
Meskipun begitu, dia menilai bahwa pandemi cukup memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap pentingnya perlindungan diri. Hal tersebut tercermin dari meningkatnya jumlah tertanggung asuransi, meskipun perolehan preminya menurun.
Data AAJI menunjukkan, jumlah tertanggung asuransi jiwa pada kuartal I/2020 mencapai 63,97 juta orang. Jumlah tersebut meningkat hingga 20,3 persen (yoy) dibandingkan dengan kuartal I/2019 sebanyak 53,17 juta orang.
Pertumbuhan itu ditopang oleh melesatnya jumlah tertanggung asuransi kumpulan yang mencapai 46,5 juta orang pada kuartal I/2020, naik 30,2 persen (yoy) dari 35,74 juta orang pada kuartal I/2019. Adapun, jumlah tertanggung perorangan tumbuh 0,1 persen (yoy) pada kuartal I/2020 sebanyak 17,45 juta orang.
Meskipun jumlah tertanggung meningkat, pertumbuhan total polis hanya tercatat sebesar 0,1 persen (yoy), yakni 17,08 juta polis pada kuartal I/2020 atau naik dari 17,06 juta polis pada kuartal I/2019.
Jumlah polis asuransi kumpulan bahkan turun 13,2 persen (yoy) sebanyak 672.667 polis pada kuartal I/2020, dari 774.824 polis pada periode sebelumnya.
Transformasi Digital
Bagaimana dengan transformasi digital perusahaan asuransi era pandemi sekarang?
Menurut Rianto Ahmadi, Chief & Risk Compliance Director Prudential Indonesia, digitalisasi berkolaborasi positif terhadap pelaksanaan GCG. Namun di sisi lain juga memunculkan risiko, seperti risiko cyber crime.
Digitalisasi itu berkolaborasi positif terhadap GCG. Akses infornasi lebih mudah. Secara intenal, proses digital human error bisa diminimalisir. Dalam laporan ke otoritas juga makin digital. Dengan digitalisasi diharapkan GCG makin baik. Tapi di sisi lain muncul kompleksitas, risiko makin meningkat misalnya soal risk cyber, cross industry regulation, compliance system di e-commece, paparnya dalam virtual seminar LPPI itu.
Hingga akhir 2019, Prudential dipercaya oleh sekitar 2 juta masyarakat Indonesia dalam menyediakan beragam jenis proteksi, yang sebelum pandemi ini terjadi, banyak dilakukan melalui face-to-face secara langsung.
Jumlah tenaga pemasar kami terbesar di indusri, di mana hingga akhir 2019 kami mencatatkan lebih dari 260.000 tenaga pemasar di 160 kota. Ini merupakan salah satu misi kami, untuk senantiasa memperkuat network tenaga pemasar kami dan terus meningkatkan profesionalisme mereka, papar Rianto.
Di akhir 2019, Prudential Indonesia mencatatkan total pendapatan premi yang tertinggi di industri Asuransi jiwa, yaitu sebesar Rp25 Triliun. Selain itu, juga mencatatkan total aset sebesar Rp80,7 Triliun, terbesar di industri asuransi jiwa Indonesia. Untuk Unit Syariah, mencatatkan Total Kontribusi Syariah tertinggi di industri di akhir 2019, yaitu sebesar Rp3,73 Triliun.
Berbasis GCG
Sementara itu, Rista Qatrini Manurung dari AIA Indonesia menyoroti soal operasional dan pengembangan produk jasa asuransi jiwa berbasis GCG dan manajemen risiko.
”Kami senantiasa menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, Good Corporate Governance, pada setiap aspek bisnisnya dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya sebagaimana diatur dalam aturan otoritas, jelasnya dalam virtual seminar LPPI itu.
Dia mencontohkan portofolio perusahaannya yang beriinvestasi di pasar modal. Menurutnya, semua aktivitas investasi dilakukan berdasarkan riset panjang dengan pertimbangan manajemen risiko, dengan jaminan akuntabilitas serta transparansi. Terlebih buat AIA yang memiliki tim kepatuhan independen andal untuk mengawasi akitvitas investasi perusahaan.
Selain investasi, seluruh praktik bisnis perusahaan dilakukan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan dan terukur untuk memitigasi risiko mengingat asuransi erat hubungannya dengan risiko.
Peran manajemen risiko dalam proses pengembangan produk, dimulai dari review atas Product Specification. Mulai dari manfaat produk, harga yang kompetitif, fairness bagai nasabah, profit yang wajar bagi perusahaan.
Kedua, memastikan saluran distribusi penjualan yang tepat dan target segment suatu produk. Identifikasi dan mengukur segala risiko yang
melekat pada produk: risiko mortalita dan morbidita. Risiko lapse; Risiko investasi; Risiko pasar; Risiko operasional.
Ketiga, kontrol dalam memitigasi risiko yakni monitor secara rutin atas produk yang dijual, memastikan target penjualan dan target market sudah sesuai rencana.





.jpg)










