Pemerintah menggelar program sensus pajak guna mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan pelaku usaha dalam menyetor pajak. Masih banyaknya pajak yang tidak disetorkan kepada negara membuat pemerintah optimistis langkah ini akan mendongkrak penerimaan negara. Lalu bagaimana dengan optimalisasi belanja negara?
Oleh : Romualdus San Udika
BERITA TERKAIT
Sejak kasus mega korupsi yang dilakukan Gayus H Tambunan pegawai negeri golongan IIIA Direktorat Jenderal Pajak terkuak tahun lalu, persoalan pajak di Tanah Air selalu menjadi perhatian publik. Bahkan, semua mata kini mengawasi tindak tanduk serta kebijakan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sejak saat itu.
Seperti kebijakan yang satu ini: Sensus Pajak Nasional (SPN). Bulan lalu Dirjen Pajak menggelar untuk mengetahui jumlah wajib pajak sesungguhnya dengan tujuan agar mampu mendorong rasio pajak (tax ratio) ke arah 13 persen di tahun depan.
Sebagai catatan, pada 2002, sewaktu pemerintah melakukan reformasi pajak, jumlah wajib pajak hanya sekitar 3 juta dengan penerimaan pajak berkisar di angka Rp180 triliun. Tetapi delapan tahun kemudian, tepatnya pada 2010 lalu, jumlah wajib pajak sudah lebih dari 18 juta dengan sumbangan pajak sebesar Rp600 triliunan.
Kini, target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp 877 triliun dan hingga semester pertama tahun ini, jumlahnya baru Rp361 triliun kurang dari separo target 2011. Malahan dalam rancangan anggaran negara 2012, pendapatan negara dari penerimaan pajak dipatok sebesar Rp 1.019,3 triliun, naik Rp140,6 triliun atau 16 persen dari angka terakhir tahun ini.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang kini dipimpin oleh Ahmad Fuad Rahmany tentu tak mau dinilai gagal mencapai sasaran itu. Dengan keyakinan bahwa banyaknya penerimaan pajak masyarakat yang tidak sampai ke DJP, Fuad optimistis target tersebut bisa teraih. Oleh karena itulah direktorat di bawah Kementerian Keuangan itu menggelar sensus pajak.
Selama ini kata Fuad, banyak karyawan yang sudah membayar pajak melalui pemotongan gaji di kantornya namun tidak disetorkan ke pemerintah. Hal inilah yang akan disasar oleh sensus pajak. “Ada sekitar 25 juta orang yang sudah bayar pajak di kantornya tapi tidak sadar (sudah dipotong untuk pajak), itu diluar SPT (Surat Pemeberitahuan Pajak),” ucap Fuad.
Berdasarkan data DJP, orang pribadi yang bekerja di Indonesia saat ini sebanyak 110 juta, sayangnya hingga kini yang membayar pajak hanya 8,5 juta orang. Untuk itu, dalam SPN, selain merapikan wajib pajak (WP) yang sudah membayar tapi tidak disetorkan itu, DJP juga akan menyasar kira-kira hingga 55 juta WP baru. “Karena untuk orang pribadi, katakanlah ada 110 juta tenaga kerja, 55 juta itu wajib pajak dan harusnya lapor. Itu yang kita sensus,” ungkap Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP Hartoyo menambahkan.
Setelah disensus, lanjut Hartoyo, para WP akan diedukasi dan sosialisasi mengenai kewajibannya membayar pajak. Setelah diingatkan namun tidak juga melaporkan SPT-nya, WP akan ditegur. “Ada tahapannya. Setelah itu law enforcement. Tapi bukan itu tujuan kita, tujuan kita masyarakat kita harus diedukasi. Law enforcement itu 1-2 persen saja,” jelas dia.
LANGKAH STRATEGIS
Langkah Dirjen Pajak menggelar sensus disambut baik oleh beberapa pengamat perpajakan, salah satunya adalah Darusalam. Dia menilai sensus yang akan dilakukan oleh DJP merupakan langkah strategis untuk menggenjot penerimaan pajak negara dalam jangka panjang.
Kendati SPN tidak bisa memberi efek signifikan dalam jangka pendek terhadap penerimaan negara, Darussalam meyakini sensus pajak ini merupakan pondasi awal untuk meregistrasi semua wajib pajak agar terdaftar dalam administrasi DJP. “Ketika WP telah teregistrasi maka langkah-langkah selanjutnya akan lebih mudah seperti melakukan pengawasan kepada WP,” ujar dia.
Menurut Darusalam, memiliki data-data WP secara lengkap merupakan langkah awal yang penting. Dari data tersebut pemerintah bisa dilakukan pengecekan apakah WP telah melakukan kewajiban pajaknya atau tidak. “Ini langkah strategis, yang penting WP sudah teregistrasi di sistem Dirjen Pajak. Dari data tersebut bisa melakukan pengecekan dan himbauan. Jika tidak jalan bisa dilakukan pemeriksaan. Sensus ini langkah awal untuk menggenjot penerimaan pajak,” tambah dia.
Hal senada dikatakan Pengamat Pajak dari Universitas Indonesia, Gunadi. Menurutnya, sensus pajak bisa mendorong penerimaan pajak negara apabila tepat sasaran, yakni kepada subjek dengan objek pajak yang potensial tetapi selama ini belum membayar pajak. “Misalnya di komplek-komplek perumahan mewah, vila-vila dan tempat peristrahatan, bisnis dan pertokoan,” ujarnya. Selain itu sensus kepemilikan dan kekayaan atau penghasilan dikenakan pajak pada pemilik melalui kerjasama dengan RT/RW dan Pemerintah Daerah (Pemda).
Gunadi menambahkan untuk menggenjot penerimaan pajak, sensus pajak dapat dilakukan juga pada kegiatan ekspor dan impor melalui kerjasama dengan Bea Cukai dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Perdagangan. Strategi itu bertujuan untuk mendata ekportir dan importir yang disesuaikan dengan data Pemberitahuan Impor/Ekspor Barang (PIB atau PEB) yang dikenakan pajak pada subyek pada data itu.
Dalam proyek-proyek yang menggunakan dana daerah sensus juga bisa diterapkan pada pelaksana proyek dan pemasok serta distributor BUMN/BUMD. “Untuk identifikasi dan pengenaan pajak kepada mereka kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berhubungan denganya, misalnya Pertamina dan Bulog dalam sensus pajak pemasok dan distributor BUMN/BUMD,” jelas Gunadi.
Sensus juga bisa dipraktikkan pada transaksi antar WP yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan luar negeri untuk menertibkan penyelundupan pajak. Sedangkan untuk melakukan sensus pada penerbit faktur pajak perlu kerjasama dengan pengguna faktur pajak untuk menertibkan penerbit dan mengenakan pajak. “Kalau ini dapat dilakukan, target penerimaan pajak bisa dicapai. Namun kalau SPN seperti sensus penduduk, mungkin target sulit dicapai,” kata Gunadi.
Meskipun begitu, sensus pajak bukanlah solusi jangka pendek untuk mendongkrak rasio pajak (tax ratio). Saat ini, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih di bawah 13 persen, sebagaimana diinginkan banyak kalangan.
Berdasarkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011, tax ratio mencapai 12,2 persen, kemudian dalam Rancangan APBN 2012 sebesar 12,6 persen. Level tax ratio ini memang masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang telah mencapai 15 persen.
“Jika tax ratio dinaikkan maka beban perusahaan makin berat. Bahkan, dengan sensus pajak pun belum mampu mendorong tax ratio ke arah 13 persen di tahun depan. Karena proses sensus sendiri memakan waktu yang cukup lama,” ujar Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang S Brodjonegoro.
Ibarat pepatah lebih besar pasak dari tiang, sepertinya pemerintah saat ini tampaknya lebih menginginkan peningkatan pendapatan ketimbang pembenahan sisi pengeluaran. Pemerintah hingga saat ini belum benar-benar membenahi belanja negara yang masih didominasi oleh belanja pegawai. Belanja rutin negara untuk gaji pegawai telah menghabiskan separo dari total anggaran belanja negara. Bahkan beberapa daerah, pengeluaran untuk gaji pegawainya menghabiskan 60 hingga 70 persen dari total anggaran dan hanya menyisakan porsi yang lebih sedikit untuk belanja modal.
Belanja pegawai adalah biaya gaji dan pengeluaran rutin lain, sedang belanja modal antara lain pembangunan infrastuktur daerah. Pembangunan infrastuktur jelas mempunyai daya dorong yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi daerah ketimbang belanja pegawai.
Meski begitu dengan sensus pajak yang akan meningkatkan penerimaan negara ini, minimal negara tengah mengupayakan agar pasaknya tidak lebih besar dari tiangnya. SP





.jpg)










