JAKARTA, Stabilitas.id – Stabilitas sektor moneter dan keuangan menjadi kunci bagi kebangkitan ekonomi Indonesia dari tekanan pandemi. Pertumbuhan ekonomi akan terus terjaga dan berkelanjutan jika kedua sektor tersebut memberikan dukungan secara optimal. Oleh karena itu, program Pemulihan Ekonomi Nasional yang digulirkan pemerintah sejak tahun lalu diharapkan membuat perekonomian bisa lebih stabil meski di saat sulit.
“Dengan adanya stabilitas, pertumbuhan ekonomi akan terus bergerak dalam kecepatan tinggi dan sustain. Dasar bagi BI untuk mengambil kebijakan tentunya melihat perlunya pertumbuhan ekonomi ini terus didorong dengan melihat stabilitasnya saat ini relatif cukup terjaga,” papar Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia saat berbicara dalam Virtual Seminar LPPI ke-48 dengan tema ‘Meningkatkan Efektivitas Program Pemulihan Ekonomi’ di Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Dengan melihat stabilitas yang relatif terjaga, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, BI bisa menetapkan beberapa langkah kebijakan. Pertama, stance kebijakan dalam kondisi moneter yang longgar baik melalui kebijakan suku bunga. Hingga triwulan pertama tahun ini suku bunga, kata Dody, telah diturunkan hingga 150 bps. Kemudian BI melakukan ekspansi likuiditasitas baik melalui koordinasi dengan pemerintah maupun dalam konteks operasi moneter BI.
BERITA TERKAIT
“Kita juga lakukan kebijakan yang sifatnya di mana nilai tukar diupayakan terus stabil, dalam hal ini termasuk inflasi, juga bagaimana menjaga kecukupan cadangan devisa. Itu yang pertama dalam posisi stance kita hari ini,” jelas Dody dalam virsem LPPI itu.
Selanjutnya, stance kedua dalam tahapan pemulihan ekonomi, adalah mengelola semua risiko yang ada baik yang berasal dari dampak likuiditas yang bertambah, risiko yang berasal dari nilai tukar, risiko kredit yang belum tumbuh, dan risiko karena perubahan suku bunga itu sendiri. Dan stance ketiga, adalah bahwa bank sentral akan selalu mendukung pertumbuhan ekonomi agar sektor ril bergerak baik dari sisi permintaan maupun penawaran. “Bagaimana kredit bank meningkat seperti halnya sebelum Covid dan bagaimana kita menjaga resiliensi, ketahanan dari sistem keuangan,” jelas Dody.
Dia juga menilai, mobilitas akan terjadi kalau confidence masyarakat terhadap penanggulangan penanganan Covid cukup tinggi. Maka dari itu, dalam hal ini menjadi penting menurutnya adalah, BI dan pemerintah dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan, SSK terus melakukan kebijakan yang sifatnya terkoordinasi, termasuk konteks komunikasinya.
Tren Pemulihan Global
Kunta Wibawa, Staf Ahli Kementerian Keuangan di kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa di tahun ini telah terlihat tren pemulihan ekonomi secara global. Ini ditunjukan oleh kinerja belanja yang terus meningkat menandai optmisme global masih tinggi meskipun ada beberapa hal yang perlu diwaspadai.
“Beberapa negara sudah mencatat pertumbuhan positif, dan Indonesia sudah mulai mendekati angka positif. Pasar keuangan stabil, perdagangan global terus membaik dan harga komoditas mulai naik. Tetapi risiko yang memang harus diwaspadai terutama di sisi bagaimana kita mengatasi Covid, karena masih berlanjut. Sebagian besar negara masih negatif pertumbuhannya,” papar Kunta dalam virsem LPPI itu.

Untuk itu, menurutnya, harus ada upaya supaya program vaksin bisa merata di seluruh dunia.Kemudian perlu ada solidaritas dari setiap negara untuk sama-sama melakukan pemulihan global. Untuk Indonesia, lanjutnya, yang perlu diperkuat adalah bagaiman memastikan ekonomi pulih dan pentingnya reformasi saat mengalami kondisi pandemi saat ini.
Kunta mengungkapkan, tahun ini belanja pemerintah sudah meningkat 15 persen. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan percepatan belanja sudah dilakukan, dengan harapan bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi. “Kegiatan produksi swata sudah menguat, konsumsi listrik, industri semen, PPMI, ekspor, impor juga menguat. Maka dengan tren pemulihan dan optimisme yang terjadi meskipun masih harus waspada, kita memproyeksikan sampai akhir tahun kita tumbuh 4,5 hinga 5,3 persen,” pungkas dia.
Pertumbuhan tersebut dengan asumsi bahwa konsumsi masyarakat dan pemerintah sudah menmbaik. Sehingga akan terjadi lonjakan pertumbuhan di kuartal dua dan kemudian melandai lagi di kuartal 3 dan 4. “Kita sangat optimis karena tahun lalu negatifnya sangat dalam. Sudahbanyak yang dilakukan mulai dari respon kebijakan fiskal kita di masa pandemi dari tahun 2020. Dengan memberi stimulus penanganan Covid, lalu reopening kebijakan untuk lakukan stimulus bagi UMKM dan usaha kecil untuk bisa bertahan dan survive,” jelas dia lagi di virsem LPPI itu.
Beberapa Catatan
Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno di kesempatan yang sama mengatakan bahwa DPR menaruh perhatian besar dalam prgram PEN. Bahkan ketika pemerintah belum mengeluarkan Perpu, Badan Anggaran DPR, kata dia, telah mengeluarkan iklan di harian Kompas 24 Maret yang memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU. Perpu dimaksud yang kemudian disetujui menjadi UU No 2 tahun 2020 pada 12 Mei.
“Artinya DPR memberi dukungan politik luar biasa terhadap upaya pemerintah untuk atasi krisis baik kesehatan maupun ekonomi. Intinya kita sepakat untuk atasi persoalan yang kita hadapi dengan memilih kebijakan fiskal yang agresif. All out. Dukungan yang diberikan tidak main-main. Bahkan hak budget DPR yang merupakan kewenangan DPR untuk sementara diambil alih pemerintah. APBN sepanjang 2020 itu dinyatakan dalam perpres. Terakhir Perpres 72 tahun 2020.

Namun, lanjut Hendrawan, bahwa dalam pelaksanaan PEN, kemenkeu dalam sebuah rapat kerja dengan DPR menyampaikan kendala dan evaluasi pelaksanaannya sepanjang 2020. Pertama adalah persoalan data yang masih amburadul. Misalnya dalam program perlindungan sosial, Kemensos menyebutkan ada 21 juta data ganda. “Ternyata data jadi persoalan setelah 72 tahun Indonesia merdeka belum bisa diselesaikan dengan baik,” tegasnya.
Kendala kedua adalah infrastruktur delivery program. Dalam hal ini pemerintah memberikan bantuan tetapi bagaimana menjamin bantuan itu tepat sasarn. Ketiga adalah divergensi recovery, yaitu perbedaan ketimpangan, yang mana perusahaan yang dalam tanda petik relatif sehat mampu memanfaatkan bantuan lebih besar.
“Ini persoalan serius. Kemiskinan absolut, jumlah penganggur baru, jumlah orang miskin baru. Kredit bermasalah meningkat, ini akan menjadi bom waktu dan harus diatasi. Dalam kondisi yang buruk, kehati-hatian justru akan menimbulkan risiko yang besar. Itu sebabnya overshooting itu risikonya lebih rendah dari undershoting,” jelas Hendrawan.
Hendrawan mengakui jika kebijakan fiskal agresif terjadi saat ini. Itu sebabnya mengapa dalam rapat pengawasan Komisi Xi DPR RI menekankan pemerintah untuk melakukan spending. Dan itu terlihat karena dari belanja pemerintah pusat naik antara 15-20 persen dalam triwulan pertama 2021. “Ironisnya transfer PKDD (daerah) kontraksi 3,3 persen. Jadi uang yang putar di daerah ini kurang. Mereka berharap birokrasi pencairan uang tidak dipersulit. Mereka mengeluh karena mereka diminta gencar mengeluarkan tapi di pusat terlambat,” papar Hendrawan.
Dia menilai, jika uang tidak beredar di daerah, yang terjadi bahkan untukmemelihata infrastruktur di daerah juga mengalami kesulitan. Sejak2016 DAK ke daerah bergeser dari formula base menjadi berbasis proposal. Jika proposal base artinya berdasarkan diskresi pemerintah pusat. “Kalau diskresi, sering muncul siluman dan makelar anggaran. Kami harap teman-teman di Kemenkeu, khususnya APBN harus betul beri contoh yang baik dengn tata kelola yang kredibel,” tegasnya.
Dia menambahkan, satu hal yang menjadi wacana saat ini bahwa parameter makro mengalami pemburukan, akibat utang PDB semakin meningkat. “Utang bertambah 1.000 triliun per tahun, padahal dalam UU no 17 batasannya 60 persen terhadap PDB, kemudian defisit APBN 3 persen di tengah kondisi begini semakin susah dicapai. Tidak ada pemerintah di negara manapun mengakhiri pemerintahannya dengan kontraksi ekonomi,” tutup Hendrawan.





.jpg)










