Sejatinya Bank Indonesia sudah menggulirkan isu pembatasan kompensasi kepada bankir-bankir top sejak tahun lalu. Akan tetapi sejak itu, gaungnya hampir tak terdengar lagi, selain respons penolakan dari para bankir. Sampai bulan lalu saat pejabat baru di Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI mulai melambungkannya lagi.
Adalah Mulya Effendi Siregar, yang baru menjabat sebagai Direktur Eksekutif direktorat itu yang menggulirkan wacana bahwa remunerasi bankir di Indonesia akan dibatasi. Pernyataan Mulya itu bukan tanpa dasar. Sebelumnya BI sudah melakukan survei mengenai pendapatan pegawai dan direksi bank yang ada di empat negara ASEAN: Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Survei itu menyebutkan, rata-rata pendapatan direksi bank di Filipina sekitar Rp 1,1 miliar per tahun, Thailand Rp 2 miliar dan Malaysia Rp 5,6 miliar. Sementara penghasilan direksi bank di Indonesia mencapai Rp 12 miliar per tahun.
BERITA TERKAIT
Ironisnya, kendati penghasilan total bankir di Indonesia tertinggi di ASEAN, bukan berarti penghasilan pegawai bank di Indonesia juga paling tinggi. Penghasilan pegawai bank di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia.
Thailand menduduki posisi teratas dengan rata-rata gaji karyawan Rp 300 juta per tahun. Posisi kedua ditempati Malaysia dengan Rp 236 juta per tahun, dan bankir di Indonesia meraih Rp 193 juta per tahun.
Tingginya remunerasi bankir ini berkorelasi terhadap biaya overhead. Di Indonesia biaya tenaga kerja menyumbang 2,44 persen terhadap biaya overhead, Filipina hanya 1,81 persen, Malaysia 1,74 persen dan Thailand 1,34 persen.
Melihat kondisi ini, BI berencana meninjau sistem remunerasi bankir dan akan menggunakan beberapa indikator penilaian.
Menurut Mulya, tahap awal BI akan mengimbau bank menurunkan remunerasi, sambil menunggu rampungnya kajian bank sentral negara lain. “Kami akan melihat negara lain, kami harus menggunakan best practice internasional,” kata dia.
BI bukan kali ini saja mendorong ide untuk membatasi kompensasi yang diterima bankir-bankir seperti yang dilakukan di AS dan beberapa negara Eropa. Awal tahun lalu, meski berbalut dorongan agar bank meningkatkan efisiensi bisnisnya, BI sudah meminta agar gaji para eksekutif bank mulai diatur. Wimboh Santoso, pejabat yang digantikan Mulya, adalah yang melontarkan ide pembatasan gaji itu ke masyarakat pada Januari tahun lalu.
Dia menilai bahwa perbankan di Indonesia adalah paling boros dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN jika dilihat dari rasio Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional atau yang lazim disebut BOPO. Bank sentral mencatat BOPO perbankan mencapai 88,6 persen, dan besarnya rasio itu salah satunya dikarenakan faktor biaya gaji yang tinggi.
Gaji bankir selama ini memang berada di tingkat yang hampir tak bisa dibayangkan orang awam. Tingginya gaji para bankir ini dituding menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pembengkakan operasional (overhead cost) pada perbankan. Dan BI tentu tahu benar akan hal itu. Biaya overhead mencakup biaya tenaga kerja, promosi, barang dan jasa, dan lain-lain.
Biaya overhead yang terus membengkak, akan berujung pada sulitnya bank menurunkan suku bunga kredit sehingga akan menahan laju pertumbuhan pembiayaan yang akhirnya menghambat sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. BI sudah paham benar akan konsekuensi itu.
Beban Psikologis
Meski demikian, hingga kini BI masih belum juga berani menerjemahkan wacana yang digulirkannya itu menjadi sebuah aturan formal. Bisa jadi BI masih diganduli beban secara moral jika harus membatasi gaji para bankir yang menjadi objek pengawasannya. Pasalnya publik juga mengetahui gaji yang diterima pegawai bank sentral termasuk yang terbesar.
Beban psikologis itu mencuat terutama jika nanti aturan pembatasan itu diberlakukan maka baik publik atau perbankan juga akan meminta gaji pejabat BI dibatasi. Direktur lembaga riset independen, Indef, Enny Sri Hartati mengatakan bahwa kemungkinan hal itu bisa saja terjadi. Akan tetapi yang pasti adalah bahwa usulan BI itu bukanlah kebijakan yang populer buat bankir. “BI tak juga mengeluarkan aturan pembatasan remunerasi itu karena mendapat penolakan dari kalangan bankir,” kata dia.
Namun diakui atau tidak, institusi bank sentral termasuk lembaga yang memberikan gaji tinggi pada pegawainya. Bahkan, DPR awal tahun ini telah menyepakati kenaikan gaji anggota Dewan Gubernur dan pegawai dengan besaran antara 3 hingga 7 persen. Kenaikan gaji berdasarkan inflasi adalah sebesar 3 persen untuk anggota Dewan Gubernur. Kenaikan karena kinerja dengan persentase maksimal sebesar 3 persen untuk anggota Dewan Gubernur, maksimal 5 persen untuk pegawai staf sampai dengan direktur, serta maksimal 7 persen untuk pegawai dasar dan petugas tata usaha (PTU).
Setelah kesepakatan itu, Gubernur BI akan diganjar pendapatan sebesar Rp166 juta per bulan. Sementara itu masing-masing Deputi Gubernur BI akan mendapatkan sekitar Rp 124,3 juta per bulan dan posisi Direktur di BI mendapat Rp 78,8 juta. Di samping itu untuk jabatan Deputi Direktur akan memperoleh gaji sebesar Rp51,7 juta setiap bulannya. (selanjutnya lihat tabel).
Di sisi lain, berdasarkan temuan Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), hingga akhir 2011, pendapatan bankir juga masih berada pada level yang dibebaskan. Walhasil di beberapa perbankan, masih terlihat jurang yang cukup lebar antara pegawai bergaji tertinggi dengan yang paling rendah.
Menurut riset PDAS, bank yang mencatat rekor tertinggi adalah BRI. Perbedaan pendapatannya sampai 200 kali lipat. Misalnya pegawai yang paling rendah dalam sebulan mangantongi gaji Rp 100, pegawai yang posisinya paling puncak memboyong gaji Rp 20 ribu. Untuk yang paling rendah diraih oleh Bank BTN. Dengan rasio 13,84 kali. Sedangkan yang lainnya hampir di bawah 100. Hanya ada tiga bank yang rasio gajinya di atas 100 kali, yaitu CIMB Niaga dengan rasio gaji 142,85 kali. Disusul oleh Bank OCBC NISP sebesar 122,56 kali, dan yang paling buncit adalah Bank International Indonesia (BII), 112 kali.
Jika menilik dari remunerasi yang diberikan kepada jajaran direksinya maka BCA menjadi bank yang memberikan nilai tertinggi. Bank milik Grup Djarum ini menggelontorkan dana hingga Rp142,13 miliar bagi kesepuluh direksi dan Rp41,74 miliar untuk kelima komisarisnya. Artinya, jika dirata-rata, masing-masing direksi BCA berpeluang membawa pulang Rp14,21 miliar pertahun atau Rp1,2 miliar perbulan.
Kemudian setelah BCA, menyusul eksekutif Bank Mandiri. Bank BUMN ini mematok remunerasi bagi 11 orang direksinya sebesar Rp131,78 miliar pertahun. Dengan demikian, jajaran direksi Mandiri, bila dirata-ratakan, akan mendapat pemasukan Rp11,98 miliar pertahun atau sekitar Rp998 juta perbulan.
Di tempat ketiga, duduk manis Bank CIMB Niaga, yang notabene secara aset dan profit sebenarnya masih kalah dari BRI. Bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki CIMB Group ini mematok angka Rp119, 22 miliar pertahun bagi 10 jajaran direksi. Artinya, pendapatan direksi, paling tidak akan berkisar Rp993 juta setiap bulannya.
Begitu juga dengan BNI, yang cukup royal dalam menyejahterakan top management-nya. Jajaran direksi BNI menerima remunerasi hingga Rp664 juta perbulan.
Sementara di posisi kelima ada BRI. Bank ini menyiapkan dana Rp82,06 miliar untuk menyejahterakan dewan direksinya yang berjumlah sebelas orang. Dengan begitu, masing-masing direktur akan mengantongi Rp621 juta per bulan.