JAKARTA, Stabilitas.id – Menghadapi tantangan global terkait emisi karbon dan ancaman hambatan dagang, sektor aluminium Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Laporan terbaru dari lembaga riset Transisi Bersih, berjudul Strategi Dekarbonisasi Hilirisasi Aluminium, mengungkapkan bahwa dekarbonisasi bukan hanya pilihan, tetapi sebuah kebutuhan mendesak untuk memastikan keberlanjutan ekspor dan industrialisasi nasional.
Dengan cadangan bauksit terbesar keempat di dunia, Indonesia telah menempati posisi strategis dengan 2,8 miliar ton bauksit, sekitar 10% dari cadangan global. Pada 2024, Indonesia diproyeksikan menghasilkan 32 juta ton bijih bauksit, menempatkannya di antara lima besar produsen dunia.
Namun, meski posisi Indonesia kuat di tingkat produksi, kontribusi Indonesia dalam rantai nilai global aluminium masih minim. Hanya 0,92% produksi alumina dunia dan 0,38% produksi aluminium primer global, menjadikan posisi Indonesia dalam industri ini belum dominan dan sangat rentan terhadap pergeseran standar pasar global.
BERITA TERKAIT
Mulai 2026, Uni Eropa akan memberlakukan mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang berpotensi mempengaruhi sektor aluminium, termasuk produk-produk yang memiliki jejak emisi karbon tinggi.
Negara-negara pengimpor utama seperti Jerman dan Prancis kemungkinan akan mengenakan tarif karbon pada produk aluminium yang dihasilkan dengan energi yang berasal dari sumber yang tidak ramah lingkungan, seperti batu bara. Hal ini berpotensi membebani produsen yang tidak segera beradaptasi dengan standar dekarbonisasi.
Abdurrahman Arum, Direktur Transisi Bersih, menegaskan, Indonesia harus memiliki strategi dekarbonisasi yang tepat agar dapat beradaptasi dengan tren global ini. Tanpa langkah yang hati-hati, biaya produksi bisa meningkat, mengurangi daya saing, dan jika tidak dilaksanakan, kita berisiko tertinggal.
“Namun, jika dilaksanakan dengan tepat, dekarbonisasi dapat membuka peluang untuk mengakses pasar premium dunia dan memperkuat hilirisasi industri dalam negeri,” tegasnya.
Strategi Moderat
Menggunakan analisis dari laporan Transisi Bersih, Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar aluminium global yang sangat tidak elastis terhadap harga (elastisitas -0,25 hingga -0,3). Ini berarti, meskipun biaya produksi meningkat akibat dekarbonisasi, permintaan global tidak akan langsung turun signifikan. Oleh karena itu, laporan tersebut merekomendasikan penerapan strategi konservatif moderat, mengikuti standar yang diterapkan oleh negara besar seperti China, sambil perlahan meningkatkan standar untuk mengakses pasar premium seperti Uni Eropa.
Laporan tersebut juga menyoroti potensi Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya, mengingat biaya produksi aluminium primer di Indonesia, terutama Inalum, termasuk dalam kuadran 1 cost curve global, sejajar dengan pemain utama dunia.
Beberapa langkah strategis yang bisa diambil oleh pemerintah Indonesia meliputi: Menghentikan kebijakan tax holiday yang selama ini merugikan penerimaan negara dan berisiko mengarah pada dumping. Melarang pembangunan PLTU batu bara untuk smelter aluminium baru, mengikuti kebijakan China. Meningkatkan standar ESG secara bertahap, mulai dari kesejahteraan tenaga kerja hingga transisi energi.
Mengutamakan Green Value
Meski pemerintah Indonesia telah mengambil langkah penting dengan menghentikan ekspor bauksit dan mendorong hilirisasi di dalam negeri, fokus hanya pada hilirisasi saja tidak cukup. Abdurrahman Arum menekankan, “Pasar global kini tidak hanya menilai nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai lingkungan. Tanpa ‘green value’, produk aluminium Indonesia akan kesulitan menembus pasar premium.”
Katherine Hasan, analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mendukung temuan laporan ini, yang menyarankan agar Indonesia memprioritaskan komitmen iklim dalam perencanaan industri nasional. “Beban emisi karbon kini semakin nyata, dan diskusi mengenai hilirisasi harus mempertimbangkan dinamika perdagangan global. Indonesia harus mengintegrasikan prinsip rendah karbon untuk memastikan daya saing di pasar global,” tambahnya.
Dengan diberlakukannya CBAM, regulasi baterai Uni Eropa, dan standar ESG global, emisi karbon kini menjadi faktor penting dalam menentukan harga komoditas. Tanpa penyesuaian, aluminium Indonesia berisiko terjebak di pasar murah, sementara negara lain yang telah mengurangi jejak karbon bisa memperoleh keuntungan premium.
“Dekarbonisasi aluminium adalah bagian penting dari strategi untuk menjaga momentum hilirisasi dan melindungi akses ekspor dari potensi disrupsi iklim dan tarif karbon. Jika diterapkan dengan hati-hati, strategi ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing industri aluminium Indonesia dalam jangka panjang, tetapi juga membuka peluang pasar premium, memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global,” tutup Abdurrahman. ***





.jpg)










