Program perumahan pemerintah memang bisa menggairahkan pelaku perbankan. Namun demikian, perhitungan bisnis tetap dikedepankan. Seperti BTN dengan tata kelola yang baik, menjadi pihak yang selalu hadir pada setiap program perumahan pemerintah. Pada periode pemerintahan sebelumnya dalam Program Sejuta Rumah era Presiden Joko Widodo, penyaluran KPR subsidi oleh BTN telah mencapai hampir dua juta unit rumah. Dan kini, ketika pemerintah Prabowo Subianto mulai melaksanakan janji kampanyenya untuk membangun 3 juta rumah, BTN menjadi yang terdepan dalam mewujudkannya. Apa saja strateginya?
—————-
PERUMAHAN, harus diakui, hampir selalu menjadi sektor jagoan di setiap pemerintahan dalam dua dekade belakangan. Bagi perbankan, pembiayaan di sektor ini juga menjadi andalan.
Oleh karena itu, ketika pemerintah Prabowo Subianto mulai melaksanakan janji kampanyenya untuk membangun 3 juta rumah, ada gairah dari pelaku jasa keuangan, terutama perbankan. Namun begitu, sebagai lembaga bisnis, pemberian dana kepada nasabah terkait pinjaman perumahan harus melalui proses yang sesuai perhitungan bisnis. Jika tidak maka itu sama saja bank menabung risiko di masa depan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah sudah sangat menggebu-gebu memastikan program ini segera bergulir dan tidak mendapatkan masalah di tengah jalan. Pemerintah sudah mendorong Bank Indonesia untuk menggelontorkan insentif likuiditas sebesar Rp 80 triliun.
Sebelumnya, pada pertengahan bulan Februari lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait mengadakan pertemuan dengan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Hadir juga di pertemuan yang digelar di Gedung Bank Indonesia itu, Erick Thohir Menteri BUMN, Pandu Sjahrir Pengurus Badan Pengelola Invedtasi (BPI) Danantara, dan Mukhamad Misbakun, Ketua Komisi XI DPR RI.
Maksud dari pertemuan tersebut yaitu untuk membahas dukungan Bank Indonesia dalam membantu likuiditas pembiayaan perbankan untuk menyalurkan kredit ke sektor perumahan melalui skema Kredit Perumahan Rakyat (KPR).
BI mendukung program tersebut melalui penambahan kebijakan insentif Likuiditas Makroprudential (KLM) berupa insentif Giro Wajib Minimum (GWM) kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor perumahan. BI akan menambah insentif likuiditas menjadi Rp80 triliun kepada industri perbankan secara bertahap.
“Dukungan konkret untuk kesuksesan 3 juta rumah, dari Rp 23,19 triliun saat ini akan dinaikkan menjadi Rp80 triliun untuk mendukung program perumahan. Kami Berkeyakinan perumahan akan mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan membuka lapangan kerja,” ungkap Perry.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan pentingnya peran perbankan dalam mendukung program perumahan rakyat yang masif. Dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat, Bank Himpunan Milik Negara (Himbara) diharapkan terus berkolaborasi dengan bank-bank swasta guna mempercepat realisasi program tersebut.
“Selama ini, Bank Himbara, terutama BTN, telah mengelola sekitar 80 persen pasar pendanaan rumah subsidi. Kami juga berharap Bank Himbara lainnya, seperti Bank Mandiri, Bank Syariah Indonesia (BSI), dan BNI, dapat terus berkolaborasi,” ujarnya.
Hitung Risiko
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menggaungkan lagi pentingnya dukungan sektor perbankan dalam program ini. Bahkan secara khusus dia meminta perbankan untuk tidak mempersulit atau melarang pemberian kredit kepada debitur non-lancar. “Kami juga telah menegaskan berdasarkan bukti konkret pelaksanaan selama ini, bahwa tidak ada terdapat larangan pemberian kredit bagi debitur non-lancar,” kata dia.
Menurut Mahendra, meskipun ada anggapan bahwa debitur non-lancar sulit mendapatkan akses kredit, faktanya tidak ada larangan yang menghalangi pemberian kredit kepada mereka.
Mahendra mengatakan proyek perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu akan memiliki banyak manfaat buat ekonomi. Dengan membangun jutaan rumah diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan hunian, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan, menciptakan multiplier effect yang besar, dan mendorong investasi serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, OJK telah merumuskan kebijakan yang lebih holistik guna mempermudah dan memperluas akses kredit pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat berpendapatan rendah. “Untuk itu, kami mengambil langkah kebijakan yang holistik dengan mempermudah dan memperluas akses kredit pembiayaan kepemilikan rumah KPR bagi masyarakat berpendapatan rendah,” jelas Mahendra.
Adapun, kata Mahendra, langkah kebijakan yang diambil oleh OJK mencakup penilaian kualitas aset yang lebih sederhana, dengan hanya mengandalkan satu pilar saja. Selain itu, OJK juga mengenakan bobot risiko rendah dan granular untuk kredit pemilikan rumah (KPR), sehingga semakin memudahkan masyarakat yang membutuhkan pembiayaan rumah.
Dorongan dari OJK itu terlihat agak berisiko, mengingat bank berpotensi melanggar praktik bisnis yang aman. Hal itu dirasakan juga oleh Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti. Menurut dia, dorongan atau endorsement dari OJK berpotensu menimbulkan risiko kredi di kemudian hari. “Pembiayaan seharusnya diberikan kepada debitur yang punya track record baik dan lancar,” ujar dia. “Jika pembiayaan tetap dipaksakan untuk debitur non lancar maka akan berpotensi menimbulkan risiko tinggi. Dana yang disalurkan bisa jadi tidak kembali (ke bank).”
Bank, lanjut Esther, tentu menginginkan performa bisnisnya meningkat dan pembiayaan yang dilakukannya lancar. Tetapi jika bank dipaksa membiayai debitur non lancar maka risiko kebangkrutan atau minimal meningkatkan risiko kredit akan meningkat.
Selalu Hadir
Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu sejatinya menyambut baik program pemerintah tersebut. Sebagai pemimpin pasar dalam pembiayaan rumah terutama untuk kelas menengah ke bawah, BTN siap untuk berkontribusi dalam program tiga juta rumah ini.
Meski begitu, pihaknya tetap meminta pemerintah untuk memberikan sedikit terobosan untuk memastikan penyaluran dan memitigasi risiko. “Di antaranya yakni perubahan skema subsidi atau bantuan pembiayaan perumahan, perpanjangan jangka waktu pembiayaan sehingga angsuran menjadi lebih murah, serta permintaan dukungan untuk alternatif sumber pendanaan selain dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” ujar Nixon.
BTN adalah pihak yang selalu hadir pada setiap program perumahan pemerintah. Pada periode pemerintahan sebelumnya dalam Program Sejuta Rumah era Presiden Joko WIdodo, penyaluran KPR subsidi oleh BTN telah mencapai hampir dua juta unit rumah.
Selain itu, Nixon mengusulkan, kombinasi skema selisih suku bunga (SSB) dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan pengurangan masa subsidi dari 20 tahun menjadi 10 tahun, serta perpanjangan tenor KPR dari 20 tahun menjadi 30 tahun merupakan opsi yang terbaik karena tidak membebankan APBN dan membantu masyarakat dengan angsuran yang lebih murah. Pasalnya, berdasarkan data BTN, hampir 70 persen debitur FLPP melakukan pelunasan pada tahun ke-10.
“Jadi, pemerintah bisa menggunakan subsidinya setelah 10 tahun itu untuk diberikan ke pengajuan baru, sehingga daya jangkaunya lebih luas. Sedangkan tenor kreditnya sudah disepakati usulannya dengan Kementerian PKP dan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) untuk diperpanjang hingga 30 tahun, sehingga ketika bunganya floating, angsurannya juga akan turun,” kata Nixon.
BTN juga telah menyampaikan kepada pemerintah mengenai kebutuhan dukungan penjaminan bagi obligasi yang akan diterbitkan BTN dalam rangka mendapatkan tambahan pendanaan untuk Program 3 Juta Rumah. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, BTN akan mendapatkan kupon bunga yang lebih murah dan size yang lebih besar karena dananya berasal dari luar negeri.
Dengan adanya jaminan dari pemerintah, BTN akan mendapatkan kupon bunga yang lebih murah dan size yang lebih besar karena dananya berasal dari luar negeri. Selain menerbitkan obligasi, BTN juga berharap pemerintah mengizinkan perseroan melakukan sekuritisasi aset atas portofolio KPR FLPP.
Melalui sekuritisasi aset, BTN dapat menjual portofolio KPR subsidi tersebut untuk menarik pendanaan dari investor domestik dan luar negeri, sehingga dana yang didapatkan dapat digulirkan kembali untuk pengajuan KPR selanjutnya.
Strategi Supply dan Demand
Kendati demikian, dalam upaya mengatasi tantangan besar dalam sektor perumahan, BTN menghadirkan sebuah strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan pendanaan, tetapi juga memastikan adanya keseimbangan antara supply dan demand yang saling melengkapi.
Nixon, Dirut BTN, menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi di sektor ini sangat kompleks, mulai dari sisi produksi hingga kemampuan konsumen dalam membeli rumah. Menurutnya, di sisi supply, masalah yang utama adalah terbatasnya produksi rumah serta ketersediaan lahan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Sementara itu, di sisi demand, tantangan utamanya berkaitan dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, khususnya end-user, dalam memperoleh hunian yang layak.
BTN merespons hal ini dengan langkah strategis: memberikan pendanaan kepada pengembang dalam bentuk kredit konstruksi. Hal ini tidak hanya terbatas pada pembangunan rumah tapak (landed house), tetapi juga untuk pembangunan rumah vertikal atau high rise. Dengan demikian, BTN berperan penting dalam memastikan ketersediaan hunian yang dapat dijangkau oleh masyarakat dari berbagai segmen.
“Strategi ini tidak hanya memastikan tercapainya target pemenuhan rumah, namun juga membantu menciptakan pasar yang lebih dinamis dengan menawarkan solusi pembiayaan untuk pengembang dan konsumen secara bersamaan,” ujar Nixon.
Di sisi demand, BTN melanjutkan peranannya dengan menyalurkan kredit kepada konsumen. Program ini memungkinkan masyarakat untuk membeli rumah, membangun rumah di lahan yang telah dimiliki, maupun melakukan renovasi rumah. Strategi ini memastikan bahwa masyarakat memiliki akses untuk memiliki atau memperbaiki tempat tinggal sesuai dengan kemampuan finansial mereka.
Tidak hanya itu, BTN juga memberikan kontribusi lebih luas dengan memberikan masukan kepada Satuan Tugas (Satgas) Perumahan, berfokus pada penyelesaian masalah yang ada di sektor perumahan. Nixon menyarankan agar isu-isu yang terkait dengan tata ruang, serta sertifikasi tanah dan rumah, diselesaikan terlebih dahulu. Masalah ini kerap kali melibatkan berbagai institusi dan tumpang tindih peraturan yang memperlambat pembangunan sektor perumahan.
“Permasalahan administratif yang tumpang tindih memang kerap menjadi hambatan dalam pembangunan perumahan. Kami berharap pemerintah bisa mengatasi masalah tersebut dengan peraturan yang lebih jelas dan terintegrasi,” tambah Nixon.
Namun, BTN juga menyadari pentingnya edukasi masyarakat terkait konsep kepemilikan rumah. Masyarakat perlu lebih terbuka terhadap ide bahwa rumah tidak harus selalu berbentuk rumah tapak, tetapi bisa juga berupa hunian vertikal. Edukasi ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat mengenai pilihan hunian yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup yang terus berkembang.
Selain itu, BTN juga telah mengajukan skema pembiayaan subsidi baru kepada Satgas Perumahan untuk memastikan bahwa subsidi yang diberikan tepat sasaran, lebih efisien, dan tidak membebani keuangan negara. Skema subsidi ini dirancang dengan mengelompokkan penerima berdasarkan desil pendapatan, yaitu kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Masyarakat Berpenghasilan Tanggung (MBT). Dengan demikian, bantuan yang diberikan dapat lebih terarah dan memberi dampak positif yang lebih besar bagi masyarakat.
“Skema subsidi yang baru ini diharapkan bisa menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien, sehingga tidak hanya memberikan dampak positif bagi masyarakat, tetapi juga bagi kestabilan keuangan negara,” jelas Nixon.
Melalui strategi yang terintegrasi ini, BTN berkomitmen untuk mendukung sektor perumahan Indonesia agar lebih inklusif dan berkelanjutan, sekaligus mewujudkan impian masyarakat untuk memiliki rumah yang layak.
Untuk diketahui, data SUSENAS tahun 2022 mencatat terdapat 11,6 juta rumah tangga (RT) yang belum memiliki rumah (backlog). Program 3 Juta Rumah dapat memainkan peran dalam menangani permasalahan backlog perumahan ini. Permasalahan backlog terkonsentrasi (80 persen) di perkotaan (riset Tim Ekonomi PERBANAS Januari 2024), sehingga penyediaan rumah susun terjangkau bagi kaum urban mesti menjadi prioritas.
Dari riset yang sama, PERBANAS memberikan catatan bahwa Program 3 Juta Rumah Subsidi 2024-2029 mesti mempertimbangkan setidaknya beberapa faktor. Pertama, kemampuan membayar cicilan (ability to pay) masyarakat, setidaknya sebesar Rp1,1 juta per bulan. Kedua, memastikan agar subsidi tepat sasaran. Terdapat sekitar 3,6 juta RT yang memenuhi kedua kriteria ini yang dapat dijadikan target program ini, yaitu rumah tangga dengan total pengeluaran per bulan berkisar Rp3–7 juta per bulan atau pendapatan setidaknya sebesar UMR.
PERBANAS juga mengusulkan untuk meninjau ulang batasan besaran penghasilan masyarakat yang berhak menerima subsidi rumah sebesar Rp 8 juta rupiah dan Rp10 juta rupiah (khusus Wilayah Papua) sesuai Keputusan Menteri PUPR Nomor 22/KPTS/M/2023, mengingat terdapat juga kelompok Masyarakat Berpenghasilan Tanggung (MBT) dengan rentang penghasilan di atas MBR yang juga kesulitan membeli rumah.
Sementara itu, mengingat mayoritas masyarakat bekerja pada sektor informal, PERBANAS juga mengusulkan perlu adanya verifikasi alternatif selain slip gaji untuk mengakses KPR Subsidi untuk mengukur kemampuan membayar masyarakat (ability to pay) dengan data yang kredibel seperti tagihan listrik rumah. Sharing database antara Pemerintah & Perbankan diperlukan.
Untuk mencapai targetnya, dengan asumsi Pemerintah akan membangun sekitar 600 ribu rumah subsidi tiap tahunnya, dibutuhkan peningkatan kapasitas dan subsidi sekitar 3 kali lipat dibandingkan kondisi 2024.
Adapun profiles para calon penerima manfaat program ini sebagai hasil riset Tim Ekonomi PERBANAS, antara lain 80 persen merupakan masyarakat urban, 55 persen milenial, 82 persen menggunakan listrik <1300 watt, hampir setengahnya lulusan SMA, 90 persen memiliki motor dan 63 persen punya tabungan (bankable) sehingga memudahkan perbankan untuk menyalurkan kredit, dan mayoritas tinggal di Jawa dan Sumatera.
Dari data tersebut, maka perlu adanya sharing database antara Pemerintah dan Perbankan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan pemberian kredit perumahan. Hasil survei PERBANAS Mortgage Confidence Index (PMCI) 2024 juga menyatakan hasil yang cukup baik dengan indeks keseluruhan 74,18 persen (mid-high) dimana sumber utama confidence ini berasal dari kemampuan operasional internal perbankan dalam menyalurkan pembiayaan perumahaan, di tengah kondisi pasar yang sedang lesu.
Maka, ketika perbankan menyambut positif Program 3 Juta Rumah, sangat diharapkan dukungan kebijakan terkait hal ini. Dengan strategi yang terintegrasi, seperti yang ditawarkan BTN, komitmen bank untuk mendukung sektor perumahan Indonesia lebih inklusif dan berkelanjutan dapat tercapai, sekaligus mewujudkan impian masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni. ***