Dengan pertumbuhan bisnis yang selalu fantastis, bank syariah memasuki 2012 dengan penuh keyakinan, termasuk mencanangkan target market share sebesar 4 persen. Namun untuk segera mencapai pangsa pasar 5 persen, dukungan dari BI dengan beberapa kebijakan saja tidaklah cukup.
Oleh :Yudi Rachman
BERITA TERKAIT
Pelaku-pelaku industri perbankan syariah boleh dibilang hingga kini masih membawa beban psikologis. Maklum saja sejak beberapa tahun lalu, Bank Indonesia menetapkan target bahwa pada 2008 pangsa pasar bank syariah sudah harus mencapai 5 persen. Akan tetapi hingga tahun itu berakhir, pangsa pasarnya baru mencapai kurang dari 2,2 persen dengan total asset sekitar Rp50 triliun.
Kemudian, target direvisi: pangsa pasar 5 persen harus dicapai di tahun 2010. Namun apa mau dikata, meskipun asetnya telah tembus Rp100 triliun tapi tetap saja pangsa pasarnya baru bisa menyentuh 3,3 persen. Aset perbankan konvensional yang sudah demikian besar adalah faktor penyebab pangsa pasar syariah sulit mendekati angka 5 persen. Pertumbuhan yang fantastis yang dicatat oleh bank syariah tidak akan berarti banyak jika harus dihadapkan dengan aset bank konvensional yang kini mencapai Rp3.000 triliun lebih dan terus akan bertambah.
Inilah yang kemudian membuat angka 5 persen menjadi sangat sensitif bagi bankir-bankir syariah. Otoritas pun menjadi sangat berhati-hati ketika harus menyebut target pangsa pasar, apalagi harus menyebut 5 persen.
Oleh karena itu, ketika harus menyebut target pangsa pasar syariah 2012, Bank Indonesia tidak menyebutkan 5 persen melainkan “hanya” 4 persen meskipun pertumbuhan bisnisnya tak pernah kurang dari angka 45 persen atau dua kali lipat dibanding bank konvensional. “Angka pesimisnya, tahun Siregardepan aset perbankan syariah akan tumbuh minimal 55 persen. Market share mencapai 4 persen tidak lagi menjadi hal yang mustahil’’ ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah.
Tahun lalu bank syariah kembali mencatat pertumbuhan signifikan. Data hingga Oktober 2011 menyebutkan bahwa aset perbankan syariah tumbuh 47,5 persen dibandingkan 12 bulan lalu menjadi Rp 130,5 triliun. Pertumbuhan yang tinggi tersebut meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah menjadi 3,7 persen dari total aset perbankan nasional. Statistik BI juga mencatat, total pembiayaan perbankan syariah telah mencapai Rp100 triliun atau tumbuh sekitar 50 persen dibanding dengan periode yang sama tahun lalu.
Tahun ini, bank sentral tak ragu untuk menampakkan optimismenya bahwa pertumbuhan bisnis syariah tak akan lebih rendah dari tahun lalu kendati krisis global tetap mengancam.
Namun otoritas tampaknya tak mau jumawa terlalu berlebihan terhadap prospek bisnis perbankan syariah tersebut. BI menetapkan tiga skenario terhadap pertumbuhan syariah: pesimistis, moderat dan optimistis.
Pada proyeksi pembiayaan industri perbankan syariah tahun depan bisa mencapai Rp170 triliun, naik 60 persen dibandingkan pencapaian 2011. Dengan skenario optimis, pembiayaan syariah akan tumbuh Rp190 triliun atau 75 persen dan angka pesimisnya adalah Rp 165 triliun atau 55 persen.
Kemudian untuk dana pihak ketiga (DPK) secara based line diproyeksikan tumbuh sama dengan kenaikan total pembiayaan, yakni pada kisaran 60 hingga 63 persen. Proyeksi optimis sebesar 78-79 persen sedangkan proyeksi pesimis 50-55 persen.
Di sisi lain, total aset perbankan syariah secara based line diharapkan mencapai Rp187 triliun tahun depan. Sementara proyeksi optimis aset akan mencapai Rp200 triliun, dan proyeksi pesimis Rp177 triliun. BI menggunakan proyeksi pesimis dengan pertumbuhan 55 persen saat mengatakan bahwa aset perbankan akan mudah mencapai level 4 persen.
Sangat terbuka kemungkinan bahwa pertumbuhan aset syariah akan lebih besar dari proyeksi BI tersebut. Keyakinan tersebut dilandasi oleh kondisi makroekonomi yang makin positif setelah Indonesia diganjar kenaikan peringkat utang menjadi investment grade. Desember lalu, lembaga Fitch Rating menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BB+ menjadi BBB- dengan perkiraan stabil. Dengan kondisi itu tentu akan makin banyak investor asing yang ingin membenamkan dananya di Indonesia.
Untuk itu, bank syariah mesti berbenah dengan merambah pembiayaan-pembiayaan korporasi yang nilainya signifikan. Menurut Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Mulya Siregar, peluang perbankan syariah untuk terjun ke dalam beberapa sektor atau industri strategis seperti pertambangan, pertanian, perumahan, maupun franchising masih terbuka.
“Pasar perbankan syariah cukup besar. Salah satunya dimungkinkannya perbankan syariah ikut dalam pembiayaan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Perbankan Syariah bisa berperan di dalam program jangka menengah dan panjang itu,” jelas Mulya.
Hal lain yang juga akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan bisnis yang lebih islami karena tidak menggunakan sistem bunga adalah munculnya bank-bank syariah yang baru berdiri dan dibentuk pada 2011. Sebut saja BCA Syariah, Panin Syariah dan Bank Victoria. Tentu saja munculnya pendatang baru di perbankan syariah akan mendongkrak kinerja perbankan syariah pada 2012. “Bank-bank syariah baru itu dipastikan akan mengejar ketinggalan mereka dengan bank syariah lainnya yang sudah beroperasi terlebih dahulu. Tentunya ekspansi mereka akan mendorong pertumbuhan perbankan syariah secara nasional,” jelas Halim, Deputi Gubernur BI.
Dukungan Otoritas
Kendati demikian, untuk memastikan pertumbuhan industri syariah mencapai level yang optimal BI merasa perlu untuk menyusun dukungan dalam bentuk kebijakan. Beberapa sokongan dalam bentuk aturan yang akan dilansir otoritas di antaranya adalah pertama, penguatan intermediasi perbankan syariah ke sektor ekonomi produktif. Kedua, pengembangan dan pengayaan produk perbankan syariah yang lebih terarah. Ketiga, peningkatan sinergi dengan bank induk.
Keempat, peningkatan edukasi dan komunikasi atas produk dan layanan perbankan syariah. Kelima, peningkatan good corporate governance dan pengelolaan risiko kegiatan usaha perbankan syariah.
Bahkan terkait strategi ketiga, Halim menyebut bahwa BI tengah mengkaji insentif regulasi yang bakal memperkuat sinergi tersebut. “Kemudahan aturan terkait fasilitas pembukaan cabang, persyaratan. Lingkupnya lebih ke administratif dan prosedur,” ungkap Halim.
Namun dari sederet dukungan kebijakan itu, belum juga muncul adanya peran pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri syariah. Padahal kontribusi pemerintah untuk mendongkrak kinerja syariah sangat diperlukan terutama agar pangsa pasarnya bisa sampai ke 5 persen.
Selama ini perbankan syariah hanya mengandalkan pertumbuhan secara organik. Kontribusi pemerintah baru sebatas regulasi formal seperti mewujudkan UU Perbankan Syariah, UU Sukuk (SBSN), dan peraturan tentang pajak ganda untuk pembiayaan mudharabah. Padahal jika pemerintah mau membuat terobosan kebijakan, seperti mengakuisisi salah satu bank BUMN menjadi bank syariah, aset syariah bisa langsung terdongkrak melampaui 5 persen.
Pelaku perbankan syariah menginginkan dukungan dari pemerintah seperti yang terjadi pada perbankan syariah di Malaysia. Seperti yang diketahui, peran pemerintah Malaysia terhadap perbankan syariah sangat signifikan yang membuat industri syariah tumbuh pesat.
Halim Alamsyah mengatakan perkembangan yang pesat pada perbankan syariah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. “Karena aktivitas perbankan syariah tidak diatur berdasarkan mekanisme pasar seperti yang terjadi di AS, dan pemerintah memiliki keterlibatan dalam menjaga kemashlatan umat,” ujarnya.
Selain itu perkembangan pesat itu sekaligus juga menghilangkan beban psikologis yang ada di pundak bankir-bankir syariah dan juga bank sentral. SP